Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Riset Indonesian Parliamentary Center (IPC) menemukan banyak rapat pengawasan DPR terhadap pemerintah dilakukan secara tertutup. Dari 11 komisi yang ada di DPR, IPC mencatat Komisi I dan Komisi VI paling sering menggelar rapat yang bersifat tertutup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan riset IPC, dari 315 rapat Komisi I bersama pemerintah, 250 rapat bersifat tertutup. Sedangkan di Komisi VI, rapat yang bersifat tertutup berlangsung sebanyak 200 kali, dan rapat terbuka sebanyak 148 kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kepala Bidang Advokasi IPC, Arif Adiputro, banyaknya rapat yang digelar secara tertutup menunjukkan rendahnya transparansi DPR sebagai lembaga publik. Khususnya Komisi I yang membidangi pertahanan dan keamanan. Rapat tertutup Komisi I, kata Arif, justru terjadi saat pembahasan anggaran.
"Kami rasa itu tidak menjadi isu pertahanan melainkan lebih mengenai anggaran terkait APBN dan rapatnya bersifat tertutup," kata Arif saat memaparkan hasil risetnya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin, 30 September 2024.
Arif juga menyoroti masifnya rapat tertutup yang digelar di Komisi VI. Sebab, kata dia, keterbukaan rapat di Komisi VI penting diketahui publik karena salah satu mitra kerjanya adalah BUMN. "Di komisi VI banyak tertutup daripada terbuka, mereka mengawasi isu BUMN," ujarnya.
Selain itu, kata dia, rapat-rapat di komisi lainnya banyak bersifat tertutup ketika mengadakan rapat kerja atau rapat dengar pendapat terkait dengan Peraturan Pemerintah. "Kami masih melihat rapat pembahasan mengenai Peraturan Pemerintah, itu juga tidak di gedung di DPR, tapi banyak di hotel dan sifatnya tertutup," katanya.
Dari 11 komisi di DPR, Arif mengatakan Komisi IX adalah komisi yang paling sedikit menggelar rapat tertutup, yakni hanya 20 kali. Kemudian disusul oleh Komisi V dengan 27 kali rapat tertutup, Komisi XI sebanyak 78 kali dan Komisi VII sebanyak 99 kali. "Sisanya menggelar rapat tertutup di atas 100 kali," katanya.
Meskipun berlangsung tertutup, Arif menyebutkan publik juga tidak bisa mengakses dokumen rapat tersebut. "Oke kalau misalkan tertutup, tapi dokumennya untuk pertanggungjawaban publik harus terbuka dan bisa diakses publik," katanya.
Arif menilai sikap DPR periode 2019-2024 tersebut bertolak belakang dengan semangat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Sebab, ujar dia, tidak semua kategori rapat yang berlangsung tertutup itu sesuai dengan ketentuan informasi yang tidak bisa diakses berdasarkan UU KIP.
"Kalau kita mengacu pada UU Keterbukaan informasi publik, rapat-rapat ini harusnya terbuka. Padahal UU ini merupakan regulasi yang menjadi inisiatif DPR sendiri," katanya.