Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 62 keluarga eks- Syiah masih tinggal di pengungsian Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur. Meski sudah 12 tahun tinggal di sana, proses pemulangan warga ke kampung halamannya, masih jauh dari harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rusunawa empat lantai itu, terlihat kumuh. Balkon-balkon penuh dengan pakaian yang dijemur. Sangkar burung berbagai ukuran, menggantung di sisi kiri dan kanan. Dinding yang bercat putih dan biru telah mengelupas, retak, dan lembab. Air dari kamar mandi meluber ke lantai luar hingga becek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara bangunan-bangunan itulah, sebanyak 62 keluarga telah hidup selama 12 tahun. Mereka sebelumnya adalah penganut Syiah dari Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur.
Tragedi berdarah Sunni-Syiah terjadi pada 26 Agustus 2012 di Dusun Nakernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura. Konflik tersebut bermula dari Tajul Muluk dan pengikutnya yang dituduh beraliran Syiah. Kelompok Sunni menganggap mereka beraliran sesat dan menista agama. Pelapornya adalah adik dari Tajul Muluk bernama Rosul Hukuman.
Pada hari itu, puluhan orang yang mengaku warga Sunni mendatangi wilayah mereka dan terjadi keributan yang berujung perkelahian. Mereka melempar batu, menggunakan senjata tajam, dan merusak rumah warga. Akibatnya, dua orang meninggal dan puluhan luka-luka.
Tajul Muluk juga dipolisikan dan diadili setelah konflik itu. Dia pun divonis penjara 2 tahun dan diperberat menjadi 4 tahun saat proses banding. Konflik itu sejatinya bukan yang pertama kali. Pesantren yang diasuh Tajul Muluk sempat diserang warga kelompok Sunni pada 29 Desember 2011. Tajul dan keluarganya sempat diancam akan dibunuh.
Konflik-konflik itu diperparah dengan situasi politik saat itu yang waktunya berdekatan dengan Pilkada Sampang 2012. Tajul Muluk dan Rois sama-sama memiliki basis massa yang besar.
Para pengikut Tajul Muluk kemudian dievakuasi dari kampung halamannya dan ditempatkan di rusunawa berjarak delapan kilometer dari perbatasan Surabaya-Sidoarjo itu.
“Dua anak saya pernah kena tuberkulosis (TBC) karena tinggal di bangunan lembab seperti ini,” kata Rizkiyatul Fitriyah, perempuan berusia 38 tahun yang ditemui Tempo, pada Selasa 21 Januari 2025.
Terdapat 80 ruangan masing-masing berukuran 6x6 meter di Rusunawa Jemundo. Tiap ruangan dihuni satu keluarga. Jumlahnya bermacam-macam. Ada yang empat orang, bahkan 10 orang. Fitriyah tinggal bersama suami dan tujuh anaknya, dalam ruangan yang disekat-sekat untuk dapur, kamar, dan ruang tamu.
Meski tak punya pilihan lain, Fitriyah selalu menyimpan harapan agar selekasnya bisa pulang dan membangun rumahnya kembali di Sampang.
Tempat tinggal para penyintas Tragedi Sunni-Syiah di Rusunawa Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, 21 Januari 2025. Tempo/Hanaa Septiana
Tajul Muluk yang kini menjadi koordinator pengungsi mengatakan ratusan warga Syiah pada 2020 telah berikrar memeluk Sunni demi bisa pulang ke kampung halamannya dan diterima oleh warga sekitar.
Pemulangan gelombang pertama terjadi pada 4 April 2023. Sebanyak 14 KK atau 53 jiwa pulang secara mandiri. Menurut Tajul, tidak ada bantuan uang ganti rugi bagi pengungsi yang telah kembali ke Sampang. “Mereka tinggal di rumah kerabat, karena sudah tak memiliki rumah pribadi,” kata Tajul pada Selasa, 21 Januari 2025.
Tajul melanjutkan, pemerintah mencanangkan pemulangan pengungsi tahap II pada Mei 2023 dan tahap III pada akhir 2023. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jatim dan Pemkab Sumenep berjanji memberikan bantuan uang sebesar Rp 50 juta per Kepala Keluarga agar pengungsi bisa membangun rumah mereka kembali.
Pemulangan tahap II itu dilaksanakan pada 5 Mei 2023. Sebanyak 256 pengungsi dijemput menggunakan lima bus dari Rusunawa Jemundo untuk kembali ke Sampang. Namun sesampainya di sana, bantuan uang yang dijanjikan tak pernah ada. Mereka juga tak memiliki kerabat yang bersedia menampung. Masalah lainnya, sejumlah warga di Sampang ternyata juga masih menolak Tajul, meski ia telah menganut Sunni.
Para pengungsi yang kembali itu pun menemui jalan buntu. Selang beberapa jam, pengungsi kembali ke Sidoarjo dan hidup kembali di rusun. ”Ternyata, gak ada itu pemulangan,” kata Tajul Muluk.
Yang tak pernah disangka, hidup para pengungsi setelah itu makin buruk. Status mereka sebagai pengungsi telah dicabut, berganti menjadi ‘penghuni rusunawa’.
Menurut Tajul, pencabutan status itu diikuti dengan berhentinya bantuan sosial dari Pemerintah Kabupaten Sampang dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Sebelumnya, para pengungsi menerima beragam bantuan. Dari Pemerintah Kabupaten Sampang, anak-anak pengungsi menerima bantuan biaya pendidikan di pondok pesantren. Kemudian, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggratiskan air, listrik, dan bantuan uang tunai sebesar Rp700 ribu per orang setiap bulan.
Kini, bantuan-bantuan tersebut lenyap. Setiap keluarga harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli token listrik yang besarnya sekitar Rp100 ribu per bulan.
Bahkan, pengelola rusun telah meminta warga menandatangani dokumen untuk membayar sewa per unit. Permintaan segera ditolak oleh warga. ”Dapat uang dari mana? Lha, bantuan aja sudah disetop,” ujar Tajul.
Kepala Dinas Sosial Jatim, Restu Novi Widiani, membenarkan bahwa status Tajul Muluk dan rekan-rekan bukan lagi pengungsi, melainkan penghuni. Namun, dia enggan menjelaskan alasan perubahan status mereka menjadi penghuni.
Dia juga menyerahkan urusan sewa-menyewa hunian ke UPT Cipta Karya, pengelola Rusun Jemundo. ”Warga belum menandatangani perjanjian sewa hunian rusunawa dengan pengelola sampai saat ini,” kata Kepala Dinsos Jatim, Restu Novi Widiani kepada Tempo, Jumat 24 Januari 2025.
Terus Berjuang
Tajul sebagai koordinator pengungsi telah mengadukan hal ini kepada pemerintah, namun belum ada solusi. Biasanya, dirinya langsung menghubungi pejabat berwenang lewat pesan teks. Namun, dirinya hanya dijanjikan akan diberi solusi. Setelah itu, tidak ada kejelasan.
Beruntungnya, bantuan terus datang meski bukan dari pemerintah. Sejumlah Non-Governmental Organisation (NGO) kerap memberikan dukungan moril dan materiil kepada para pengungsi.
Misalnya Save The Children yang kerap memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak pengungsi dan Aman Indonesia yang memberi bantuan pendampingan. Beberapa komunitas di Surabaya juga pernah memberikan bantuan, seperti Gusdurian. Meski bantuan itu tidak rutin diberikan, hubungan komunitas dan NGO dengan para pengungsi sangat baik. Beberapa kali mereka juga saling kontak untuk menanyakan kabar.
Perjuangan juga dilakukan kelompok perempuan, salah satunya Fitriyah. Dia mengatakan, sebanyak 10 perempuan penyintas tragedi Sunni-Syiah Sampang sempat datang ke Gedung Negara Grahadi, rumah dinas gubernur Jatim pada Maret 2020. Tak lama setelah Khofifah Indar Parawansa dilantik sebagai Gubernur Jatim pada 2019.
Para perempuan ini menganggap, Khofifah sebagai gubernur perempuan pertama di Jatim, mungkin akan lebih mendengar penderitaan yang dialami pengungsi. Namun, mereka dilarang masuk oleh satuan pengamanan. Khofifah tak pernah menemui mereka hingga saat ini. “Kami akhirnya bikin surat. Tapi sampai sekarang nggak ditanggapi,” kata Fitri.
Meski tak pernah ditemui, Fitri maupun pengungsi lainnya masih menyimpan harapan pada Khofifah-Emil, yang kembali terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim terpilih.
Saat pilgub 27 November 2024 lalu, sebagian besar pengungsi tragedi Sunni-Syiah memilih pasangan yang didukung 15 partai politik itu. Bagi penyintas, memilih petahana dinilai lebih realistis ketimbang dua gubernur perempuan lainnya. Sebab, petahana dianggap akan melanjutkan program yang sebelumnya dan diharapkan dapat lebih memperhatikan nasib mereka.
“Kalau paslon lainnya takut malah enggak diperhatikan karena dianggap kasus ini bukan terjadi di masa kepemimpinannya,” kata Fitri.
Hal yang sama juga diungkap oleh koordinator penyintas, Tajul Muluk. Dia membenarkan bahwa para korban cenderung memilih petahana, baik dalam Pemilihan Bupati maupun Gubernur.
Karenanya, para penyintas juga masih berharap akan ada kebijakan yang berpihak kepada mereka usai pelantikan gubernur Jatim terpilih pada Februari 2025. Tidak hanya berharap penghidupan yang lebih layak, tapi mereka juga berharap bisa dipulangkan ke Sampang secepatnya dengan ganti rugi setimpal.
Gubernur Jatim terpilih 2024-2029, Khofifah Indar Parawansa merespon kegelisahan para pengungsi eks-Syiah. Khofifah mengaku baru mengetahui jika sebagian pengungsi belum pulang.
”Saya cek ya, harusnya sudah pulang semua,” kata Khofifah kepada Tempo, Rabu 29 Januari 2024.
Khofifah menambahkan, Pemprov Jatim telah menyiapkan rumah bagi para penyintas di Sampang, Madura. Selain itu, pihaknya juga membantu berbagai administrasi kependudukan bagi para pengungsi.
“Rumahnya siap. Tanah mereka sdh bersertifikat semua. KTP, KK, SIM, KIP, dan KIS sudah semua,” kata Khofifah singkat.
Tempo juga berusaha menghubungi Bupati Sampang terpilih 2024-2029, Slamet Junaidi. Namun, dia tidak merespon pesan yang dikirim Tempo sejak Rabu, 29 Januari 2024.
Hidup Makin Susah Bagi Pengungsi Eks-Syiah
Masa ekonomi yang sulit juga dialami oleh para pengungsi eks-Syiah selama dua tahun terakhir. Sejumlah penyintas juga susah mencari pekerjaan dan semakin menurunnya penghasilan yang diterima. Seperti yang dialami Nur Kholis.
Nur Kholis sejatinya seorang sarjana hukum dari salah satu kampus swasta di Surabaya. Saat komunitas Syiah menjadi target kekerasan 2012 silam, Ia masih berusia 20 tahun. Bersama keluarganya, ia kemudian mengungsi ke Rusun Jemundo.
Selepas SMA, Kholis menempuh kuliah di Jurusan Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan lulus tahun 2019. Sejak saat itu, Kholis tak pernah putus asa mencari kerja. Namun, keberuntungan tak pernah berpihak kepadanya.
Walhasil, Kholis terpaksa bekerja serabutan di usaha kelapa milik rekan sesama penyintasnya sejak 2020. Sesekali, dia ditugaskan untuk mengirim kelapa yang sudah dipotong ke pabrik atau membantu karyawan lainnya memarut kelapa. Dia mendapat Rp150 ribu per hari, upah yang nilainya lebih dari cukup saat itu.
Namun, pabrik kelapa tersebut menurun selama dua tahun terakhir. Kholis tak lagi bisa bekerja setiap hari. Ia hanya datang saat pemilik pabrik membutuhkan tenaganya. “Kadang kerja dua hari atau tiga hari. Upahnya sekarang cuma Rp 70 ribu sampai Rp 90 ribu,” tuturnya.
Kholis mengaku penghasilannya kini tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Terlebih, dia telah memiliki seorang istri dan dua orang anak. Karenanya, dia juga mengandalkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah sejak pandemi COVID-19 sebesar Rp 500 ribu per tiga bulan.
Namun sejak tiga bulan lalu, nilai bantuan itu berkurang jauh yakni hanya Rp150 ribu. Kholis pun sudah mencoba untuk menanyakan hal itu, namun belum ada respon dari petugas terkait. “Mungkin karena ada pergantian pemerintah, jadi datanya belum diperbarui lagi. Bahkan ada sebagian warga di sini yang enggak dapat PKH lagi,” ucap laki-laki 32 tahun itu.
Seorang pengungsi yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, Fitriyah mengatakan Pemprov Jatim pernah memberikan bantuan uang tunai Rp709 ribu per bulan untuk setiap anggota keluarga. Termasuk juga pernah memberikan berbagai pelatihan bagi perempuan penyintas eks-Syiah di Rusunawa Jemundo beberapa kali dalam setahun. “Bantuan-bantuan ini sudah enggak ada lagi sejak pertengahan 2022,” ucap Fitri.
Saat bantuan pendidikan pondok pesantren diputus oleh Pemkab Sampang, dua anak sulung Fitri harus kembali ke rusunawa. Fitri pun tinggal bersama delapan orang anggota keluarganya dalam unit berukuran 6x6 meter itu. Terdiri dari suami dan 7 anaknya.
Dengan penghasilan yang makin tak pasti, keluarga pengungsi eks-Syiah tak hanya sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka juga sulit membiayai sekolah untuk anak-anak. Padahal Fitri harus menyekolahkan lima anaknya yang masih berusia sekolah, mulai dari SMK, SMP, SD, hingga TK.
Kepala Dinas Sosial Jatim, Restu Novi Widiani, mengatakan anak-anak pengungsi eks-Syiah tetap diberi bantuan pendidikan dari Kartu Indonesia Pintar.
Meski begitu, menurut Fitriyah, anak-anaknya tidak mendapat Kartu Indonesia Pintar (KIP) sehingga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk sekolah, seperti buku hingga seragam.
Di balik semua kesulitan ini, Fitri hanya berharap kembali ke kampung halaman dan tinggal di rumah yang sesungguhnya. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Harapan ini pun juga diutarakan oleh pengungsi eks-Syiah lainnya. Mereka hanya bisa berharap pemerintah bisa menepati janjinya untuk memulangkan kembali ke kampung halaman dengan rasa aman tanpa dibayang-bayangi ketakutan.
*Liputan ini merupakan bagian dari kegiatan Fellowship yang diselenggarakan oleh Konde.cob bb