Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Terseok Data Pemilih

Banyak kendala menghambat pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan. Baru tercapai 65 persen dari target.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROSES pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk di Indonesia—antara lain untuk persiapan Pemilihan Umum 2004—tampak terseok-seok. Hingga pekan lalu, pencacah data baru bisa menjaring 65 persen dari keseluruhan blok sensus, padahal tenggat untuk hajat nasional itu akhir April ini. Kendalanya beragam, satu di antaranya cerita mengenaskan dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, wilayah Indonesia yang digerogoti ancaman separatisme. Di Serambi Mekah itu, hingga pekan lalu pendataan belum mencapai 50 persen. Di Aceh Utara, misalnya, pendataan baru menjaring 5 persen dari jumlah total penduduk 478 ribu jiwa—berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2002—yang tersebar di 22 kecamatan. Ditangani 14 pencacah, mereka harus bekerja keras menyiasati kondisi rawan keamanan. Maklum, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang menuntut pemilihan lokal semacam referendum, mencoba menghambat pemilu nasional berlangsung di Aceh. Cuma, sayangnya, beberapa pendata yang ditemui TEMPO enggan bercerita tentang kendala mereka di Aceh. "Tugas kami luar biasa berat," kata Musrihat—bukan nama sebenarnya. "Kadang kami sampai tidak bisa tidur kalau mengingat apa yang kami alami," pria 36 tahun itu menambahkan. Pendata di suatu kecamatan di Aceh Utara itu belum berani bercerita, karena takut penyamaran dan taktik yang mereka lakukan bocor. Dia pernah melihat temannya dikunjungi seorang peneror yang melarangnya mendata penduduk. "Memang belum ada di antara kami yang disandera, tapi kami takut," katanya. Untuk pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa itu, dia mendapat asuransi jiwa dan honor Rp 500 untuk setiap kepala yang didata. Soal teror ini pun diakui Valina Singka Subekti. Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu menyatakan, ada tiga kabupaten—antara lain Pidie dan Aceh Besar—yang belum bisa dijamah petugas. "Mereka tidak berani masuk ke sana karena diteror dan diancam jiwanya," kata Valina kepada Tomy Lebang dari TEMPO. Cerita sedih lain datang dari Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Di wilayah konflik berbau agama sejak beberapa tahun lalu itu, kecurigaan terhadap orang lain, apalagi pendatang, luar biasa besarnya. Akibatnya, sebagian masyarakat cenderung menolak kedatangan pendata ke rumah mereka. Simaklah pengalaman Syahruddin Ace, pendata di Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir, wilayah paling parah dalam konflik Poso. Sebelum bisa mendata, selama tiga hari pertama mereka harus berjuang untuk menjelaskan pentingnya pendataan. "Waktu saya habis untuk menjelaskan pentingnya pemilu," kata Syahruddin. Kendala lokasi juga ditemui Syahruddin. Terpaksa bekerja sore hingga malam—karena warga pergi ke kebun di siang hari—Syahruddin harus siap menghadapi berbagai risiko. Maklum, untuk sampai ke rumah penduduk, ia harus melewati daerah yang penuh semak belukar dan hutan-hutan kecil. Dalam kondisi yang masih dilanda konflik, para penembak misterius masih bergentayangan. Banyaknya kendala itu membuat Syahruddin pesimistis bisa menyelesaikan tugasnya pada akhir April. Kini ia baru berhasil menjaring 60 persen warga Toini. Jalan tak mudah itu juga disaksikan Selfy. Kepala Seksi Statistik Sosial Kapupaten Poso ini mengaku, dalam bertugas ada pendata yang masih harus dikawal aparat keamanan, karena masih tersisanya kecurigaan antarwarga yang bertikai. Lagi pula, sebagian masyarakat Poso bersikap acuh tak acuh terhadap pemilu. Sebabnya, menurut Selfy, sebagian masyarakat Poso masih traumatis pada politik lokal. Karena banyaknya kendala itu, pihaknya baru bisa menjaring 59 persen dari keseluruhan penduduk Poso. Kalau di Poso saja masalah lokasi sudah jadi kendala, apalagi di Papua, provinsi paling timur Indonesia. Kucuran dana Rp 5 miliar, menurut Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Mudjiandoko, sebetulnya tak memadai. Luas wilayah Papua yang tiga setengah kali Pulau Jawa itu sering memaksa mereka mengunjungi desa yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang atawa helikopter. Ranahnya yang bergunung-gunung juga menyulitkan petugas. "Ada petugas lapangan yang rela jalan kaki naik-turun gunung selama empat hari tanpa ongkos transportasi," kata Mudjiandoko. Padahal honor untuk satu kepala yang didata tetap cuma Rp 500. Yang lebih mengenaskan adalah pengalaman seorang petugas di Kecamatan Sarmi, Kabupaten Jayapura, yang terkenal sebagai sarang Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seorang penduduk yang mengaku anggota kelompok separatis itu tak mau didata. Tak hanya itu, dia bahkan melecehkan sang petugas dengan memaksanya memakan sepuluh lembar kertas formulir dan merampas uang Rp 200 ribu. "Saya sangat prihatin," kata Martinus, pendata di Kabupaten Jayapura, menceritakan nasib malang temannya. Ada juga cerita kendala mentalitas petugas. Di Kabupaten Jayapura, puluhan petugas tiba-tiba mengundurkan diri karena merasa honornya cekak. "Saya cukup pusing dibuatnya," ujar Mudjiandoko. Dengan kendala seperti itu, ada kabupaten yang hingga kini baru berhasil menjaring 40 persen dari jumlah penduduk. Cerita-cerita mengenaskan dari daerah itu hanya sebagian dari kendala petugas hajat nasional yang disebut Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Hasil kerja bersama KPU, BPS, dan Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri itu akan menjadi pusat data kependudukan nasional bagi 210 juta penduduk Indonesia. Gunanya, selain untuk keperluan pemilihan umum, juga untuk pembuatan nomor dan kode penduduk dalam pembuatan paspor, surat izin mengemudi, dan lain-lain. Kamis pekan lalu mereka menggelar jumpa pers di Kantor KPU di Jakarta Pusat, untuk mengungkapkan evaluasi kinerja mereka. Toto E. Sastrasuanda, Deputi Statistik Sosial BPS yang mendampingi Ketua KPU, Nazaruddin Sjamsuddin, menyatakan hasil pendataan secara nasional memang 65 persen. Cuma, hasilnya di tiap wilayah bervariasi. Pencapaian target tertinggi terjadi di wilayah pedesaan, yakni 60 persen hingga 80 persen, bahkan ada yang 90 persen. Di wilayah perkotaan, hasil pencacahan baru mencapai target antara 27 dan 65 persen. Contohnya, Jakarta Timur sudah mencapai 75 persen, sedangkan Jakarta Selatan baru mencapai 37 persen. Kesulitan mendata di kota-kota besar sekilas terkesan aneh. Cuma, pengalaman pendataan di perumahan-perumahan elite seperti Pantai Indah Kapuk, Green Garden, dan Cemara Indah—ketiganya di Kota Tangerang—membuktikannya. Penghuni jarang di rumah. "Kalau hari biasa sibuk bekerja, pada hari libur mereka pergi berlibur," kata Toto. Bagaimana pula hasil pencacahan di perumahan para menteri Kabinet Gotong-Royong di beberapa kawasan di Jakarta Pusat? Lebih rendah lagi! Mereka baru bisa mendata sepertiga dari jumlah keseluruhan pemilih. Tapi, apakah di antara "kegagalan" tersebut, tak ada yang karena kelambanan petugas? Kelik M. Nugroho, Darlis Muhammad (Palu), Zainal Bakri (Aceh), Cunding Levi (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus