SEKITAR sepuluh pria berseragam mengendap di seputar rumah di RT 01, RW 04, Dusun Batu Bulan, Kelurahan Batu Gajah, Sirimau, Ambon. Malam baru saja turun, Sabtu dua pekan lalu itu. Begitu pintu rumah yang diketuk terkuak, satu di antara pria berseragam itu menodongkan pistol seraya menyergah: "Anda sudah dikepung polisi!" John Rea, yang sedang rapat mempersiapkan peringatan gerakan Republik Maluku Selatan ke-53, pada 25 April, tak berkutik.
Delapan kawannya peserta rapat juga diringkus. Dua di antara mereka mencoba kabur lewat pintu belakang. Gagal: di sana dua polisi sudah siap mengacungkan pistol. Polisi menduga John sebagai Panglima Perang RMS, gerakan yang masuk daftar separatis. Apalagi dalam penggerebekan itu polisi menemukan "Surat Panglima Perang RMS" dengan nomor 01/APRMS/KEP/2002, tertanggal 20 Mei 2002, yang ditandatangani John sebagai "Kepala Pemerintahan Darurat di Tanah Air" sekaligus "Panglima Angkatan Perang RMS".
Menurut Kapolres Pulau Ambon, AKBP Teguh Budi Prasojo, di rumah itu polisi juga menemukan kertas berisi struktur organisasi RMS, buku Pemerintahan Darurat RMS di Tanah Air Amboina, satu buku Undang-Undang Dasar Sementara RMS, selembar kertas berisi lagu kebangsaan RMS, dan satu lembar struktur Badan Pemerintahan Darurat Republik Maluku di Tanah Air Amboina. Ada juga stempel dan kertas berkop surat RMS, serta mesin ketik.
"Selaku penguasa darurat sipil di Maluku, saya menyatakan tidak sedikit pun memberi ruang gerak pada gerakan separatis tersebut," kata penjabat Gubernur Maluku, Sarundajang, mengomentari penangkapan yang bermula dari informasi masyarakat kepada polisi ini. Menurut kabar yang diterima, rapat semacam itu sering dilakukan. Agenda rapat Sabtu itu adalah evaluasi dan pemantapan semua sektor yang akan melakukan upacara pengibaran "Benang Raja"—sebutan untuk bendera RMS.
Malamnya, polisi mengirim dua intel untuk memastikan adanya pertemuan. Setelah dinyatakan positif, satu regu polisi bersenjata mulai menelikung, dan berakhir dengan penangkapan. Dari penyisiran lanjutan, Rabu sampai Kamis pekan lalu polisi menangkap setidaknya 23 anggota RMS. Tujuh orang ditangkap di Karang Panjang, Sirimau, 16 di Desa Alang, Maluku Tengah.
Dua di antara mereka pegawai kantor Wali Kota Ambon, dan dua anggota Polda Maluku berpangkat komisaris polisi dan inspektur satu. Menurut informasi John, satu pegawai itu adalah Edo Latihin, yang menjabat sekretaris RMS. Wakil Kepala Polda Maluku, Kombes Bambang Suedi, saat dimintai konfirmasi oleh Mochtar dari Tempo News Room, membenarkan dugaan keterlibatan anak buahnya dalam gerakan separatis ini.
Mencegah pengibaran bendera, satu kompi tentara dari Kodam Udayana mengisolasi markas komando Front Kedaulatan Maluku (FKM) di lorong Palang Merah, Kuda Mati, Ambon, sejak Kamis pukul 22.00 WIT. Sekitar 100 anggota FKM, yang saat itu ada di markas, hanya bisa duduk-duduk sambil sesekali membaca doa. Satu pos penjagaan keamanan di dekat markas dibongkar aparat, dan dua tiang bendera di halamannya digergaji. Tiang ini tahun lalu dipakai mengibarkan bendera RMS, yang berbuntut penangkapan Ketua FKM, Alex Manuputty, yang kini kasusnya sedang diadili di Jakarta.
Penggerebekan dan penangkapan itu tak membuat bendera RMS lantas hilang. Jumat pagi, beberapa bendera sempat berkibar, sekalipun sekejap, di Kota Ambon, Kecamatan Sirimau, Nusaniwe, dan Baguala. Sedikitnya 74 orang ditahan di Polres Pulau Ambon akibat peristiwa ini. Sekitar 250 pendukung RMS dari Desa Aboru, Haruku, Maluku Tengah, ditahan aparat keamanan di desa tersebut, dan rencananya akan dievakuasi ke Ambon.
Pada sekitar pukul 11.00 WIT, eh, selembar bendera RMS dinaikkan dengan balon gas di atas Gunung Nona di Pulau Ambon. Aparat kaget dan segera men-sweeping ruas-ruas jalan di pusat Kota Ambon. Tapi tak sampai geger. Aktivitas perkantoran, pasar, dan sekolah-sekolah tetap berjalan normal. Cuma balon, kok.
Abdul Manan, Friets Kerlely
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini