Tak lama lagi langit Indonesia akan dihiasi burung besi baru, namanya Sukhoi. Pesawat tempur supersonik asal Rusia ini sudah 85 persen rampung dari pabriknya. Kepada Kompas, Deputy General Director Sukhoi Aircraft Unitary Enterprise, Sergey A. Sergeev, menjamin pesawat akan diserahkan tepat pada waktunya. "Sehingga bisa ikut memeriahkan peringatan Hari TNI, 5 Oktober mendatang," katanya.
Begitu selesai, menurut Sergeev, empat pesawat tempur jenis Su-27SK dan Su-30MK akan dikirim ke Lapangan Udara Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, dalam bentuk kepingan-kepingan, dengan pesawat angkut raksasa Antonov. Di Madiun dirakit kembali oleh teknisi pesawat Sukhoi asal Rusia. Selain itu, pabrik Sukhoi juga mengirimkan 30 tenaga pelatih untuk para penerbang dan teknisi TNI AU agar bisa mengoperasikan dan merawat pesawat tersebut.
Rabu pekan lalu, di Moskow, Rusia, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani pembelian pesawat tempur itu. Proses pembelian 4 pesawat tempur dan dua helikopter MI35 senilai US$ 500 juta, atau setara dengan Rp 4,5 triliun, cukup mengagetkan, setidaknya bagi anggota Komisi Pertahanan DPR, Djoko Susilo. "Selama ini tidak ada pembicaraan antara pemerintah dan DPR tentang pembelian pesawat itu dalam rapat-rapat kerja," ujar Djoko.
Bahkan, menurut Wakil Sekretaris Fraksi Reformasi itu, dalam rapat kerja dengan Kepala Staf AU, Marsekal Chappy Hakim, pada 28 November tahun lalu, Chappy menilai kualitas pesawat Sukhoi tidak bagus. "Kami tidak akan membeli barang yang kualitasnya tidak bagus," kata Djoko menirukan ucapan Chappy waktu itu.
Djoko curiga, motivasi TNI AU membeli pesawat Sukhoi secara mendadak untuk digunakan dalam operasi militer di Aceh. Apalagi dalam APBN tahun 2003 yang sudah ditetapkan, anggaran pembelian pesawat tempur tidak ada. "Dibicarakan juga tidak," ujar Djoko. Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga, juga mengakui belum ada alokasi dana untuk membeli peralatan militer dari Rusia.
Begitu juga di Direktorat Jenderal Perencanaan Sistem Pertahanan Departemen Pertahanan, pengadaan pesawat tempur sebesar itu tak masuk dalam rencana anggarannya. "Anggaran yang paling tinggi dalam rencana itu adalah pembelian radar seharga US$ 23 juta," kata Djoko.
Dari prosesnya, Djoko menilai pembelian pesawat itu tidak wajar, karena dari harga pembelian satu pesawat tempur itu pemerintah harus mengeluarkan dana US$ 35 juta atau senilai Rp 315 miliar. "Itu terlalu mahal. Menurut hasil penelitian saya, harga sebuah pesawat Sukhoi adalah US$ 15-20 juta atau Rp 135-180 miliar," katanya.
Namun tudingan Djoko tentang harga pesawat terlalu mahal dibantah Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi. Pesawat yang akan dikirim pada akhir September 2003 itu hanya dibayar cash 12,5 persen dari total harga kontrak pembelian. Sisanya 87,5 persen dibayar dengan komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan karet.
Memang, Menteri Rini yang menjadi mak comblang pembelian pesawat itu. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, Mayor Jenderal Sudrajat, mendukung rencana pembelian pesawat tempur asal Rusia itu. "Untuk mengimbangi agar kita tidak hanya bergantung pada Barat (Amerika Serikat dan sekutunya)," kata Sudrajat.
Sejak Presiden Sukarno tumbang pada 1966, kiblat peralatan militer Indonesia dipasok Amerika Serikat dan Inggris. Pembelian peralatan tempur mencapai puncaknya pada tahun 1980-an, yang menghabiskan dana US$ 400 juta. Dalam soal pesawat tempur, Indonesia memiliki 10 pesawat F-16 Falcon dan 24 F-5E Tiger. Belakangan hanya separuh yang beroperasi, sisanya tak bisa dijalankan karena kehabisan dana untuk perawatan. Sejak peristiwa pembantaian rakyat sipil di Santa Cruz, Timor Timur, tahun 1991, Kongres AS menekan pemerintahnya agar menghentikan bantuan militer untuk Indonesia. Penghentian bantuan berlanjut karena Indonesia dianggap membantu milisi Timor Timur pro-Jakarta membumihanguskan tanah Timor Loro Sa'e pada 1999, pascajajak pendapat.
Djoko Susilo tak mempermasalahkan kekuatan Angkatan Udara. Apalagi, kabarnya, pesawat Sukhoi itu bisa menempuh jarak jauh dari ujung Papua sampai Aceh, dengan hanya sekali berhenti. Masalahnya, itu tadi, pembelian senjata itu tak masuk dalam APBN maupun anggaran belanja tambahan pemerintah.
Ahmad Taufik, Budi Riza, dan D.A. Candraningrum (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini