Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kotak-kotak suara itu tertumpuk rapi. Begitu banyak. Ujung tumpukan hampir menyentuh atap kantor Kecamatan Tiro, Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Padahal hari itu, Rabu 31 Maret, atau kurang dari seminggu sebelum pemilu, seluruh kotak mestinya sudah terkirim ke tempat-tempat pemungutan suara. Tapi, karena situasi masih rawan, panitia pemungutan suara kecamatan belum berani mengantarkan barang-barang logistik pemilu itu ke desa-desa. "Kemungkinan baru dikirim sehari menjelang pemilu," kata Zulfikar, sekretaris Camat Tiro.
Tiro adalah kota kecamatan terpencil di Kabupaten Pidie. Jaraknya lebih dari 140 kilometer arah timur Banda Aceh, dan sekitar 8 kilometer dari Bireuen, kota kecil di pinggir jalan lintas Banda Aceh-Medan. Untuk ke sini, angkutan yang tersedia hanya ojek dan "labi-labi", sejenis minibus kecil. Kecamatan di pegunungan ini memiliki 19 desa yang dibagi dalam empat kemukiman. Di sini, sebagian besar penduduk bertani atau peladang.
Kecamatan ini juga sering diidentikkan dengan Hasan Tiro, pemimpin Gerakan Aceh Merdeka yang bermukim di Swedia. Memang di sinilah 28 tahun lalu Hasan Tiro memproklamasikan gerakan perlawanannya. Banyaknya simpatisan GAM pula yang membuat Pemilu 1999 tak bisa berlangsung di sini.
Sekarang, pejabat setempat tak ingin kecolongan lagi. Saat TEMPO datang Rabu 31 Maret lalu, Muspida setempat tengah rapat membahas pengamanan pemilu. Agenda penting yang mereka bahas adalah soal keamanan yang masih rawan. Hingga dua pekan lalu, tembak-menembak antara GAM dan TNI masih terjadi di salah satu desa di kaki bukit. "Tapi pemilu harus tetap dilaksanakan," ujar Kapten Infanteri Nuryadi Eko W., komandan rayon militer setempat, sambil menunjukkan rencana strategi pengamanan.
Untuk menjamin pencoblosan tetap aman, TNI membuat enam titik lokasi pemungutan suara dengan 20 tempat pemungutan suara (TPS). Penjagaan ekstra akan dilakukan di Daya Tengoh dan Blang Rikui, dua desa yang dianggap paling rawan. Di sini, pasukan TNI akan mengawal lingkar luar lokasi pemungutan suara. Nuryadi buru-buru menolak saat TEMPO hendak melihat TPS di kedua desa rawan itu. "Karena darurat militer, harus seizin Kodim Pidie," ujarnya.
Kalaupun soal keamanan beres, masalah logistik juga masih jadi persoalan. Sampai pekan lalu, belum seluruh surat suara dapat dikirim ke sini. "Kami belum menerima surat suara DPRD provinsi," kata Zulfikar. Tak mengherankan, pekerjaan melipat surat suara bagi 3.747 pemilih belum bisa dilakukan. Soal lain adalah belum adanya petugas yang bertanggung jawab memasukkan data hasil pemilu ke komputer. Seharusnya, kata Zulfikar, ada dua petugas dikirim ke Tiro, "Tapi orangnya belum tiba."
Jangankan kesiapan petugas, warga setempat pun ternyata banyak yang belum paham pernak-pernik pemilu. "Ah, kon tinggai cuok mantong (kan tinggal mencoblos saja)," kata Ismail, 45 tahun, sambil tertawa. Mukanya berubah serius ketika diberi tahu bahwa cara pencoblosan dalam pemilu kali ini berbeda dengan lima tahun lalu. "Wah, kalau itu saya tidak tahu," kata dia.
Lain lagi ucapan Suryani, 35 tahun. Ia mengaku tak tahu-menahu soal teknis pencoblosan. Namun, ia bangga karena kerap didatangi sejumlah tokoh partai yang merayunya agar memilih partai mereka. "Ada tiga partai memberi saya baju. Nanti saya coblos ketiga-tiganya," ujarnya polos. Ia juga mengaku belum menerima kartu pemilih.
Sayang, belum puas berkeliling, Kapten Nuryadi meminta TEMPO segera pergi. "Anda diminta ke Kodim dulu. Ini perintah dari sana," ujarnya. Padahal, sebelum masuk Tiro, TEMPO sempat menyambangi Kodim.
Di luar Tiro, sejumlah daerah lain juga didera kendala. Di Bireuen, seribu dari 979 ribu kertas suara DPRD II, DPRD NAD, DPR RI, serta DPD sudah bolong-bolong. KPU Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Nagan Raya hingga Senin 29 Maret sore belum menerima surat suara DPRD provinsi dan kabupaten.
Itu belum seberapa. Ternyata, sampai lima hari menjelang pemilu, 200 ribu orang belum terdaftar sebagai pemilih. Jelas mereka tak bisa ikut mencoblos. Toh, anggota DPR dari Fraksi Reformasi, A. Farhan Hamid, tak terlalu risau melihat fakta-fakta itu. "Ada 60 persen saja warga Aceh ikut pemilu, itu sudah sangat bagus," kata dia.
Hanibal W.Y. Wijayanta dan Yuswardi A. Suud (Tiro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo