AL Hilal Hamdi baru saja tiba di Kota Magelang, Jawa Tengah, Selasa malam lalu. Di tengah malam, ketika Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu beristirahat, seorang aktivis Partai Kebangkitan Bangsa tergopoh-gopoh datang melapor kepadanya. Ada yang "gawat" rupanya. Pada lembar daftar calon anggota legislatif untuk daerah pemilihan Jawa Tengah VI, daerah tempat Hilal terdaftar sebagai calon anggota legislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa, foto Hilal tertukar. Seharusnya yang dipasang di nomor urut tiga adalah foto lelaki berkacamata itu, tapi yang terpasang adalah foto perempuan cantik berambut pendek. Celakanya, di dalam surat suara, di bawah nama perempuan itu tertulis "H. Al Hilal Hamdi".
Betapa gundahnya Hilal. Padahal esok harinya Al Hilal—yang seratus persen lelaki tulen—akan berkampanye di Magelang, Purworejo, Temanggung, dan Wonosobo. Betapa gundahnya Al Hilal dengan kekonyolan ini. "Saya tidak kenal wanita di foto itu," katanya. Toh aktivis mahasiswa 1978 asal ITB itu masih bisa guyon. "Mengapa bisa lucu begini? Nama saya sama sekali tidak feminin," katanya. Al Hilal menunjuk Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang teledor. Ia pun melayangkan surat protes ke KPU di Jakarta.
Protes saja rupanya belum cukup. Ia juga mengadu kepada para petinggi di partainya, termasuk kepada Abdurrahman Wahid, Ketua Dewan Syuro.
Toh kerepotan tak terelakkan. Al Hilal harus tambah kerja dengan menjelaskan urusan salah pasang foto itu kepada para calon pemilihnya. Ini yang repot. Ada sekitar 16 ribu tempat pemungutan suara di daerah pemilihannya. Apa akalnya untuk menjangkau calon pemilihnya? Rabu malam, sambil menahan dinginnya udara Pegunungan Dieng di Wonosobo, pengusaha perminyakan ini terpaksa "cuap-cuap" di radio lokal untuk menjelaskan mengapa tiba-tiba fotonya "berubah" menjadi perempuan.
Ini benar-benar kerja ekstra yang tak perlu, tapi harus dilakukan. Sebab, bekas pengurus Partai Amanat Nasional ini sebelumnya sudah menyebar ribuan kaus dengan gambar dirinya dan nomor 15—nomor urut PKB. Hilal juga sudah menebar 700 ribu kartu nama lengkap dengan fotonya. Semua bisa sia-sia gara-gara salah pasang foto itu. "Calon pemilih bisa menafsirkan macam-macam. Saya bisa dianggap menipu mereka," ujar Hilal waswas. Ia kecewa dengan hasil kerja KPU itu.
Jawaban KPU? Mulyana W. Kusumah, anggota KPU, berjanji segera mencarikan jalan keluar. Tapi belum jelas apa jalan keluar itu. Sedangkan Hilal, dengan waktu yang mepet, hanya bisa pasrah. Ia tahu bahwa menurut aturan ia tak bisa mengganti foto yang akan dipasang di 16 ribu tempat pemungutan suara itu. Hanya KPU yang boleh mengubah foto tersebut.
Cerita Didi Supriyanto lain lagi. Politisi PDI Perjuangan yang dicalonkan melalui daerah pemilihan Bandung itu sedang tancap gas untuk berkampanye pada hari-hari terakhir ini. Didi sedang apes. Ia terkena wabah demam berdarah pada hari-hari menjelang kampanye. Ia hanya sempat kampanye sekali pada hari pertama, selebihnya ambruk 15 hari di rumah sakit MMC Kuningan, Jakarta. "Fisik saya habis digenjot untuk konsolidasi sebelum kampanye," kata lelaki 42 tahun itu.
Walaupun belum fit benar, Didi nekat keluar dari rumah sakit dan meluncur ke Bandung. Senin dan Selasa lalu ia hadir dalam kampanye tertutup di kawasan Majalaya dan di daerah Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung. Pengacara ini dalam kampanye di dua kawasan industri tekstil itu lebih banyak mendengarkan keluhan para buruh. Didi mengaku masih sempoyongan.
Walhasil, Didi pun harus "memanfaatkan" minggu tenang untuk menemui calon pemilihnya. Ia mengumpulkan saksi untuk tempat pemungutan suara nanti. "Kalau minggu tenang saya hanya bisa melakukan konsolidasi internal," katanya. Itu pun terpaksa dilakukan sambil bolak-balik Jakarta-Bandung, karena ia masih berstatus di bawah pengawasan dokter.
Didi dan Hilal akhirnya memang harus memeras tenaga pada saat para calon anggota parlemen seharusnya tinggal duduk manis mengamati apakah "jualan" mereka dalam kampanye "dibeli" rakyat atau tidak. Calon yang lain melewati masa tenang dengan menyepi di rumah orang tuanya, seperti Ade Komaruddin dari Partai Golkar. Ada yang menggelar zikir seperti yang dilakukan Endin A.J. Soefihara, asal Partai Persatuan Pembangunan, yang kebagian nomor jadi daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. "Ritual agama seperti zikir membuat batin tenang, terutama menghadapi penghitungan suara yang mendebarkan," katanya.
Edy Budiyarso (Jakarta), Heru C. Nugroho (Yogyakarta), Dwi Wiyana (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini