Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Darurat Pasir di Negeri Singa

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSOALAN pasir membuat Philip ketar-ketir. Tak sampai satu pekan setelah Indonesia menyetop ekspor pasir ke Singapura, kantong kontraktor asal negeri jiran itu langsung ”terbakar”.

Pengusaha 43 tahun itu harus membayar lebih mahal Sin$ 100 ribu (Rp 590 juta) untuk membeli 2.500 meter kubik beton. Maklum, gara-gara pasokan pasir dari Indonesia terhenti, harga beton di Negeri Singa itu melejit. Dulu seorang kontraktor cukup mengeluarkan Sin$ 75 untuk satu meter kubik beton, sedangkan kini harga per meter kubik beton dibanderol Sin$ 115.

Masalahnya, Philip tak punya pilihan. Proyek konstruksi yang tengah dikerjakannya mesti rampung akhir tahun ini. ”Sedangkan adanya perubahan harga tidak diatur dalam klausul kontrak,” katanya meradang.

Sejak Indonesia menerbitkan larangan ekspor, akhir Januari lalu, harga pasir di Singapura langsung melonjak. Pasir yang dulunya dibanderol Sin$ 20 per metrikton menjadi Sin$ 50 per metrikton.

Padahal hampir 90 persen industri konstruksi di Singapura bergantung pada beton. Sedangkan untuk membuat satu meter kubik beton dibutuhkan 0,8 ton pasir. Itu sebabnya Singapura mengimpor 6-8 juta ton pasir setiap tahun.

Duit yang digelontorkan Singapura untuk memenuhi kebutuhan pasir mencapai Sin$ 120-160 juta. Tapi, pada 2005, Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor pasir ke negeri jiran itu hanya masuk ke kantong Indonesia US$ 9,5 juta (sekitar Sin$ 14,5 juta). Selisih ini menguatkan dugaan bahwa pasir yang diboyong ke Singapura merupakan hasil selundupan.

Terlepas dari dugaan penyelundupan itu, Singapura memang menyimpan rencana besar. Tahun lalu, penandatanganan nilai kontrak di sektor konstruksi mencapai Sin$ 16 miliar (Rp 94,4 triliun)—naik 41 persen dari tahun sebelumnya. Tahun ini, angkanya ditaksir menembus Sin$ 19 miliar.

Salah satu proyek ambisiusnya adalah pembangunan kompleks olahraga termegah di Singapura. Menempati area seluas 35 hektare, pusat olahraga itu akan dilengkapi stadion berkapasitas 55 ribu penonton dan kolam renang indoor. Sejauh ini, tiga konsorsium bersaing memperebutkan proyek tersebut. Ketiganya adalah Dragages Singapore, yang dipimpin grup Bouygues—perusahaan konstruksi asal Prancis—Alpine Mayreder Bau GmbH asal Austria, dan konsorsium Singapore Gold, yang dipimpin Macquarie Bank. Mereka harus mengajukan proposal sebelum tender ditutup, 28 Februari.

Semula, pemerintah Singapura menaksir pembangunan kompleks olahraga itu bakal menelan biaya Sin$ 800 juta. Tapi sumber yang paham seluk-beluk tender itu mengatakan, gara-gara harga pasir naik hampir tiga kali lipat, para perusahaan konstruksi yang tengah bersaing itu akan menaikkan tawaran hingga Sin$ 1 miliar.

Membengkaknya nilai proyek juga terjadi pada pembangunan kasino di Teluk Marina (Marina Bay Sands) dan Pulau Sentosa (Resort World) serta pusat keuangan dan bisnis di jantung Kota Singapura. Proyek-proyek itu semula ditaksir akan menelan biaya konstruksi Sin$ 10 miliar. Tapi, gara-gara seretnya pasir, biayanya membengkak jadi Sin$ 11-12 miliar!

Nilai proyek itu melar karena pasir merupakan dasar dari mata rantai material konstruksi. Akibatnya, ”Melejitnya harga pasir memberikan efek domino bagi harga dan ketersediaan bahan material lain,” kata Jackson Yap, Chief Executive Officer United Engineers, perusahaan papan atas di Singapura. Kalangan arsitek Singapura menilai penyetopan ekspor pasir itu membangunkan negeri mereka yang selama ini terlena oleh pasir Indonesia.

Meski begitu, John Downs, Direktur Proyek Marina Bay Sands, mengatakan penyetopan pasokan pasir dari Indonesia tidak akan membuat jadwal konstruksi molor. ”Semoga ini hanya berlangsung sementara karena kami tidak punya ekstrabujet untuk pengadaan pasir,” katanya awal bulan lalu. Rencananya, tempat tetirah yang dibangun oleh Las Vegas Sands Corporation itu kelar pada 2009.

Sikap optimistis juga dilontarkan Resort Word. ”Kami masih memiliki cadangan pasir yang cukup banyak,” kata Jackson Loy, Direktur Komunikasi Resort World. Ia yakin pemerintah Singapura akan menjamin pasokan pasir.

Singapura memang sudah mendatangkan 400 ribu ton pasir dari Cina serta akan membuka keran impor dari Vietnam dan Kamboja. Negeri jiran itu juga sudah menggelontorkan cadangan pasirnya untuk kebutuhan industri konstruksi. ”Upaya itu diharapkan dapat menjaga stabilitas harga dan pasokan pasir hingga beberapa bulan ke depan,” kata Mah Bow Tan, Menteri Pembangunan Nasional Singapura.

Namun salah seorang kontraktor yang tak mau disebut namanya mengatakan langkah yang ditempuh pemerintahnya hanya menyelesaikan masalah jangka pendek ”Padahal banyak proyek baru rampung tiga-empat tahun ke depan,” katanya.

Yandhrie Arvian (Business Times, Channel News Asia, Today Online)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus