Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kelilipan Politik Pasir

Singapura menuduh Indonesia menggunakan larangan ekspor pasir sebagai senjata diplomasi.

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengalaman hari itu agaknya bakal sukar dilupakan Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo, dan Menteri Pembangunan Nasional Mah Bow Tan. Senin dua pekan lalu, mereka digasak di sidang parlemen gara-gara beleid Departemen Perdagangan Indonesia yang melarang ekspor pasir, tanah, serta humus.

Efektif berlaku sejak 5 Februari lalu, beleid itu membikin sejumlah wakil rakyat Singapura naik darah. Indonesia menjadi bulan-bulanan pada sidang parlemen itu. Ho Geok Choo, anggota parlemen dari kelompok pemilihan West Coast, menuduh larangan ekspor itu dilatarbelakangi ”politik iri hati”. Dia menyarankan Singapura untuk memperlambat laju pertumbuhan ekonomi demi ”menyelamatkan muka negara-negara tetangga kita”.

Anggota parlemen dari kelompok pemilihan Tampines, Sin Boon Ann, lebih sinis. ”Kalau benar Indonesia peduli pada lingkungannya yang rusak akibat penggalian pasir, bisakah kita membuat mereka juga peduli pada isu asap kebakaran hutan,” ujar dia.

Sejatinya, biang kisruh sidang hari itu adalah sepotong berita dari Indonesia pada pekan sebelumnya. Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut, Laksamana Madya Djoko Sumaryono, mengatakan, pelarangan ekspor pasir ini punya maksud lain. ”Ini respons kita atas lambannya perundingan soal perbatasan dengan Singapura,” katanya di depan sejumlah eksportir pasir di Batam, Kepulauan Riau, seperti dikutip The Jakarta Post.

Segera saja Singapura bagai kelilipan. ”Mengaitkan larangan ekspor pasir dengan perundingan soal perbatasan laut adalah kontraproduktif,” kata Menteri Yeo dengan sengit. Bukannya memadamkan api, Jakarta malah menyiramkan bensin.

Tak sampai sepekan, muncul balasan dari Jakarta. Bukannya meralat pernyataan Djoko, Direktur Jenderal Asia, Pasifik, dan Afrika, Departemen Luar Negeri, Primo Alui Joelianto, justru terkesan menegaskan kembali relasi antara larangan ekspor itu dan perundingan perbatasan kedua negara. Kemarahan Singapura berkobar lagi.

Setelah isu ini diramaikan media sepanjang dua pekan terakhir, barulah para petinggi Departemen Luar Negeri di Pejambon bergegas memadamkan kebakaran. ”Semua akibat salah paham saja,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri, Desra Percaya, pekan lalu.

Menurut Desra, ucapan pejabat Indonesia tidak dikutip media sesuai dengan konteksnya. Namun, dia juga menyesalkan sumbu pendek diplomat Singapura. ”Sebelum bereaksi, mereka seharusnya bisa meminta klarifikasi dulu kepada kami,” ujarnya.

l l l

KETEGANGAN diplomatik Indonesia-Singapura ini berawal dari sebuah rapat koordinasi para menteri bidang politik, hukum, dan keamanan pada pertengahan Januari lalu. Bertempat di Jalan Medan Merdeka Barat, rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Widodo Adi Sutjipto itu membahas soal kondisi pulau-pulau di tepian Nusantara.

Dua topik penting mencuat dalam pertemuan ini. Pertama, soal rusaknya lingkungan di pulau-pulau Kecamatan Moro, Karimun, dan Kundur di Riau. Akibat penggalian pasir yang membabi buta, pulau-pulau itu kini seperti habis dibombardir—lubang di mana-mana. ”Soal penting berikutnya adalah banyaknya laporan penyelundupan pasir,” kata Saut Hutagalung, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Statistik menunjukkan penyelundupan ini terjadi besar-besaran. Singapura diyakini berbelanja sebagian besar pasir dari Indonesia. Namun, dari total belanja negara itu yang hampir mencapai sekitar Rp 1 triliun, hanya sekitar Sin$ 14,5 juta (Rp 85,55 miliar) yang masuk ke kantong pemerintah Indonesia.

Setiap tahun, negeri kecil itu mengimpor 6–8 juta ton pasir senilai Sin$ 120–160 juta (Rp 708–944 miliar). Saat ini mereka sedang membangun sebuah kompleks olahraga megah seluas 35 hektare. Semula pemerintah Singapura menaksir kompleks olahraga itu bakal menelan biaya Sin$ 800 juta (Rp 4,72 triliun). Gara-gara ekspor pasir dari Indonesia terhenti, harga material ini melambung. Biaya pembangunan diperkirakan terkerek ke angka Rp 5,9 triliun (lihat Tertohok Butiran Pasir).

Kapal-kapal tongkang pengangkut pasir darat juga kerap mencampur muatannya dengan pasir laut. Padahal, ekspor pasir laut sudah dilarang sejak empat tahun lalu. Karena dicampur seperti itu, kata Saut, ”Kita kewalahan mengawasi.”

Berdasarkan pertimbangan rapat interdepartemen itulah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu merilis peraturan anyar: segala ekspor pasir dan tanah dilarang total. ”Ada kerusakan lingkungan yang amat parah yang harus disikapi,” kata Mari.

Namun, Mari tak menyebut soal lingkungan sebagai pemicu tunggal kelahiran beleid itu. Ia menunjuk isu perbatasan. ”Perubahan konfigurasi pulau di Riau berpengaruh pada keamanan perbatasan negara,” ujarnya.

Indonesia dan Singapura memang belum sepakat soal perbatasan di sisi barat dan timur. Perundingan untuk membahas garis batas di sektor barat—antara Pulau Nipah (Indonesia) dan Teluk Tuas (Singapura)—sudah diagendakan pada Maret depan di Singapura. Untuk garis batas timur, antara Batam dan Changi, masih harus menunggu selesainya sengketa wilayah antara Singapura dan Malaysia.

Namun, sebelum duduk semeja, dasar hukum penentuan garis perbatasan harus lebih dulu dijernihkan. Pemerintah Indonesia ingin perundingan mengacu pada Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982.

Menurut konvensi itu, penentuan batas maritim dua negara harus diukur dari garis pantai asli, sebelum ada reklamasi pantai. ”Posisi Indonesia saat ini adalah meminta penegasan dari Singapura soal dasar hukum perundingan perbatasan ini,” kata Desra.

Politik pasir tak hanya dikait-kaitkan dengan diplomasi perbatasan negeri. Ada isu lain yang sedang ditarik-ulur oleh kedua negara: ekstradisi.

Soal ekstradisi adalah kerikil hubungan kedua negara selama satu dekade terakhir. Indonesia mengidam-idamkan benar pakta ekstradisi dengan Singapura, karena sejumlah buron kakap sudah sukses kabur dan memilih berdiam di Singapura sembari membawa serta dana gelap berukuran jumbo yang tengah diburu pemerintah Indonesia.

Sementara itu, politikus negeri tetangga itu tampaknya berpikir seribu kali sebelum memutuskan soal pelik ini. Maklum, duit gelap orang Indonesia tertanam dalam-dalam di Negeri Singa.

Juru runding ekstradisi kedua negara terakhir kali bertemu pada akhir tahun lalu. Hasilnya tak menggembirakan, bahkan terdengar kabar perundingan terancam membentur jalan buntu. Namun, menurut Desra, ini cuma ”dinamika dalam sebuah perundingan”.

Isu lain dalam hubungan Indonesia-Singapura adalah perjanjian kerja sama pertahanan. Mayor Jenderal Dadi Susanto, ketua tim perunding Indonesia, mengatakan, sejumlah ganjalan krusial—di antaranya keterlibatan pasukan negara ketiga dalam latihan perang Singapura di perairan Indonesia—hampir diselesaikan. ”Asal hukum yang digunakan tetap hukum negara kita,” katanya.

Ada yang mencemaskan bahwa perseteruan singkat di atas bisa membuat permufakatan dalam isu-isu krusial yang masih mengganjal di antara kedua jiran makin terjal. Walau begitu, Desra tampaknya optimistis. Kata dia: ”Kami tidak pernah berniat menekan mereka.”

Wahyu Dhyatmika, Titis Setianingtyas, RR Ariyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus