MASALAH kepercayaan pada umumnya memang terbatas pada
masyarakat Jawa Tengah dan Timur. Tidak mungkinkah semangat
kepercayaan akan bangkit di Minang - meminta untuk dimerdekakan?
Sebagai perbandingan sekali lagi Dr. Taufik Abdullah dari
Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LIPI)
memberikan wawancara dan berikut ini ringkasan:
Tonggak terpenting dalam sejarah Minangkabau adalah Perang
Padri. Orang sering salah sangka: mengira Perang Padri perang
antara kaum Islam dengan kaum adat. Yang benar ialah: perang
antara Islam lawan Islam, dan di sini antara faham Islam yang
baru dengan yang lebih baru. Baru dalam arti murni orthodox.
Inilah bedanya Minang dari Jawa: di Minang masalah aqidah
(keimanan) mendasari krisis sosial, dan diselesaikan dengan
perang. Di Jawa tidak.
Sebenarnya orthodoxi pemurnian agama sudah ada menjelang akhir
abab 18 di Minangkabau. Tuanku Nan Tuo ini, guru sendiri
membereskan tarekat-tarekat Syattariah dan sebagainya ke arah
yang lebih mengikuti syara. Lalu datanglah Imam Bon ol dan
tokoh-tokoh yang baru pulang dari Mekah dan mendapat pengaruh
gerakan Wahabi yang keras itu.
Yang mereka tuju pertama kali-justru surau Tuanlku Nan Tuo ini,
guru sendiri. Mereka misalnya menuntut dilarangnya kebiasaan
makan sirih atau merokok. Dan Tuanku sendiri akhirnya dituduh
kafir. Lalu sebagai simbul mereka membakar rumah adat. Lalu
mulai perang desa dengan desa, negari dengan negari.
Perang berlangsung 20 tahun. Pada satu titik kemenangan.
penghulu-penghulu adat mereka ganti dengan kadi dan imam. Dengan
ini mereka merobah sistim sosial adat. Tapi ini hanya
berlangsung 3 tahun. Sesudah itu imam tetap ada tapi penghulu
yang berkuasa ketika di tahun 1827 Belanda mulai ikut-ikutan
campur tangan. Imam Bonjol mengajak para penghulu untuk
menentukan sikap. Tapi para penghulu berdebat sama sendiri: ada
yang mau perang, ada yang mau menyerah. Imam Bonjol akhirnya
pergi - dia tidak kuasa....
Proses orthogenetik dalam hal Islam (menganggap Islam sebagai
budaya sendiri) sebenarnya sudah ada sebelum para pembaharu itu.
Kosmogoni adat Minang sendiri sangat bersifat tarekat: ketika
belum berbelum, adat sudah ada juga . . . Adat ini identik
dengan Nur Muhammad, lewat mana Tuhan berkata: Kun! -- fa yakun
(Adalah! --maka adalah). Konsep ini bisa dicari hubungannya
dengan tarekat Syattariah atau yang semacam yang juga berkembang
di Jawa.
Definisi Minang terhadap dirinya adalah: negeri yang beradat dan
beragama. Dalam kata adat sendiri sudah masuk pengertian agama.
Beberapa waktu yang lalu semboyannya adalah: Adat bersendi
syara, syara bersendi adat . Kemudian berobah menjadi. Adat
bersendi syara, syara bersendi Kitabullah . Sekarang ini, lebih
mungkin seorang Minang tidak tahu adatnya daripada tidak tahu
Islam. Definisi diri seorang Minang: pertama-tama dia adalah
Islam. Jadi tak mungkin terjadi kasus seperti di Jawa.
Satu faktor yang sangat menentukan adalah sistim politiknya. Di
Jawa berkembang dengan baik sistim kerajaan patrimonial:
penguasa daerah ditentukan legitimasinya oleh pusat, apa yang
terjadi di daerah dipertanggungjawabkan ke pusat, dan raja
adalah pusat dunia. Di Minang raja hanya simbul. Tiap negeri
hakikatnya independen: bisa orientasi apa saja, tak ada yang
kontrol. Karena itu tak ada pusat pautan seperti di Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini