DI Pulau Jawa, 1918, didirikanlah Tentara Kangjeng Nabi
Muhammad. Tak ada perang yang terjadi. Yang diserang hanyalah
sebuah koran berbahasa Jawa terbitan Surakarta, Djawi Hiswot.
Koraul ini memuat tulisan yang dianggap menghina Nabi Muhammad.
Protes mengalir dalam bentuk surat. Bahkan di Surabaya diadakan
rapat akbar. Orang Islam menghimbau pemerintah Hindia Belanda
untuk menghukum mereka yang bikin gara-gara. Himbauan ini tak
dipenuhi.
Sebenarnya Martadaisana, pemimpin redaksi Djawi Hisworo, ada
menambahkan catatan untuk artikel yang menghebohkan itu, bahwa
orang yang tak faham memang bisa tersingguug oleh isinya. Sebab
di sana dikesankan seolah-olah Nabi berhubungan dengan arak dan
candu. Padahal, kata Martadarsana, kalimat semacam itu jelas
tidak bermaksud menghina jika ditafsirkan tidak secara harfial
dan jika orang kenal baik sastra Jawa.
Dalam karya sastra Jawa seperti Sutuk Catoloco, keadaan fly oleh
sebab candu memang hanya suatu metafora untuk menggambarkan
kenikmatul jiwa dan terungkapnya secara terang-benderang
kenyataan yang lebih luhur. Namun artikel Djawi Hisworo
betapa pun sudah salah posisi. Ini terutama nampak ketika Ketua
Sarekat Islam waktu itu. R. Umar Said Cokroaminoto tampil
memimpin protes. Martadarsana adalah pendukung Sarekat Islam
cabang Surakarta yang masih dipimpin Haji Samanhudi yang
menentang Cokroaminoto. Dan pada saat itu Coklo sedang harus
menghadapi sayap kiri SI yang dipimpin Semaun.
Akhir dari Tentara Kangjeng Nabi Muhammad tak jelas betul.
Pokoknya kemarahan kemudian mereka: Sarekat Islam tahun itu
sibuk berkongres. di mana Semaun ternyata tak dapat digeser.
Tapi setidaknya tahun 1918 menunjukan tanda-tanda pertama
ketegangan antara golongan Islam dengan mereka yang
berkecenderungan kejawen. Ketika Suluk Gatoloco terbit dalam
bentuk buku di Surabaya tahun 1889. waktu itu tak ada protes.
Agaknya benar juga kata Prof. G.W.J. Drewes dalam The Struggle
Between Javanism and Islam yang dimuat dalam majalah ilmiah
Bijdragen Kon. Inst. No. 122 (1966): "Apa yang bisa lewat
tanpa diacuhkan di tahun 1889 tak dapat lagi demikian di tahun
1918."
Kesadaran Islam makin kuat di kalangan muslimin Indonesia,
peran media massa makin efektif dan hidupnya gerakan politik
kian jelas. Ketika penerbit Buning milik orang Belanda di Yogya
di tahun 19 menerbitkan sebuah almanak Jawa protes terjadi lagi
Sebabnya dalam almanak itu dimuat bagian akhir dari Serat
Darmagandul.
Sebenarnya almanak ini hanya memuat kembali dengan sedikit
perubahan - hal yang di tahun 1921 sudah diterbitkan oleh
penerbit Kediri tersohor itu Tan Khoen Stwie. Tapi rupanya
kalangan Islam baru mengetahuinya empat tahun kemudian.
Mungkin karena kali ini perasaan tersinggung itu didahului
perasaan tersinggung penduduk keturunan Tionghwa Kalangan
penduduk ini di Jawa Timur dan Tengah sudah hidup beberapa
generasi dan bercampur begitu rupa dengan orang Jawa asli hingga
jadi bagian dari masyarakat yang kenal betul dengan bacaan
berbahasa Jawa. Dan tatkala mereka membaca bagi tertentu
almanak Buning itu mereka terkejut sang Penulis Darmagandul
melukiskan mereka sebagai bangsa berkucir yang serakah dan
pelit.
Dalam hal itu mereka diserang sebagaimana para santri dan
haji. Bahkan kejamnya hukum di zaman kerajaan. Demak yang
Islam itu, menurut penulis Darmagandul, berasal dari ajaran ibu
Raja Demak - seorang wanita Cina - yang bercerai dari Raja
Majapahit.
Singkatnya, orang keturunan Tionghwa dan orang Islam sama-sama
diburuk-burukan. Dan mereka pun sama-sama protes. Bersamaan
dengan Kongres Muhammadiyah pertengahan Maret 1925 di Yogya.
rapat akbar diadakan. Sementara itu penduduk keturunan
Tionghwa memboikot penerbit Buning dan juga Tan Khoen Swie yang
rupanya sangat menggemari sastra Jawa.
Siapa sebenarnya penulis Darmagandul? Tak diketahui. Menurut
kesimpulan Prof. Drewes sangat mungkin ia seorang priyayi yang
mengenal betul tradisi lokal di daerah Kediri dan terdidik dalam
pengetahuan kesusastraan Jawa. Karya ini ditulis sekitar 1879.
Penulisnya nampaknya penuh pengharapan sebagaimana kaum priyayi
tinggi lain waktu itu, bahwa sekolah itu bukan saja akan memberi
pengetahuan pemerintahan bagi anak-anak bangsawan, tapi juga
mendidik mereka jadi "orang Jawa benar" ajar dadi Jawa.
Dan menjadi Jawa bagi sang pengarang adalah kembali ingat kepada
agama budi Ian Kawruh "agama dan budi pengetahuan". Prof Drewes
menafsirkan ini sebagai tanda bahwa sang pengarang menyambut
baik zaman baru yang dibawa Belanda yang Kristen karena dianggap
itu mengakhiri zaman Islam dalam sejarah Jawa.
Bukan karena ia ingin Jawa menjadi barat sebab ia toh yakin akan
keluhuran adat Jawa. Ia menyambut datangnya Belanda karena
dengan itu Islam akan habis dan semangat Jawa lama akan hidup
lagi. Menurut pengarang Darmagandul waktu Raja Majapahit
terakhir masuk Islam dua pelayannya yang tak setuju meninggalkan
tanah Jawa. Kedua pelayan itu Sabdapalon dan Nayagenggong yang
memegang teguh ke-Jawa-an. baru akan kembali untuk melayani
penguasa yang baru - pemerintah Belanda.
Darmagandul memang mengandung suara anti-Islam yang dipertegas.
Sunan Bonang salah satu dari para wali yang menyebarkan agama
Islam di Jawa digambarkan sebagai orang Arab yang sakti tapi
sewenang-wenang. Ia berhasil menghasut Raden Patah menyatakan
perang ke Majapahit Padahal Raden Patah adalah putera raja
Majapahit sendiri, meskipun ia berasal dari ibu Cina dan
dibenarkan di Palembang dalam agama Islam.
Tapi yang agaknya membikin maral orang Islam dalam karya ini
ialah penafsiran beberapa kata kunci dalam Islam dengan cara
yang "asal cocok bunyinya Muhammad misalnya ditafsirkan sebagai
makanan artinya kubur, sedang rasul ditafsirkan sebagai rasa.
Yang menarik ialah bahwa dengan cara penafsiran yang aneh ini
Sunan Kalijaga berhasil meng-Islam-kan raja Majapahit. Raja yang
kalah itu diyakinkan oleh sang wali, bahwa dengan membaca
kalimat syahadat tak berarti ia mengagungkan Nabi orang Arab,
melainkan memuliakan tubuhnya sendiri sebagai bayangan hakikat
Tuhan. Hanya secara lahiriah kiblat itu menghadap ke Mekah:
baitu'llah yang sebenarnya ada dalam dirinya.
Memang ada sesuatu yang kedengaran seperti ajaran mistik di
situ. Tapi salah kiranya untuk mengatakan bahwa Darmagandul
adalah pegangan bagi penganut kebathinan Jawa Betapa pun, karya
ini mencerminkan semacam "nasionalisme" Jawa menghadapi unsur
dari luar - baik itu Arab, ina atau pulau seberang Bahkan dalam
satu bagian Darmagandul menyebutkan tak pentingnya Hindu, di
daerah sekitar Kali Brantas, tempat Sunan Bonang datang pertama
kali ke daerah Kediri untuk menyebarkan agama Agama yang hidup
di situ nampaknya asli Kediri nabinya Bandung Bandawasa.
Yang menarik ialah kenyataan bahwa "nasionalisme Jawa ini tidak
menentang Belanda - bahkan menyambutnya Agaknya dari sini bisa
diterangkan kedudukan pengarangnya. Sebagai priyayi yang hidup
dalam bagian kedua abad ke-19. ia tentu menikmati kenyataan
bahwa pemerintah Hindia-Belanda adalah pelindung dan pemberi
hidup para bangsawan pribumi Untuk berhubungan dengan rakyat,
Belanda meggunakan mereka.
Dan sebagai priyayi tinggi pula. sulit baginya untuk mengelak
dari prasangka kepada kelas yang agresif di bawl kelas kaum
saudagar. Kelas saudagar ini banyak terdiri-dari orang Islam.
orang keturunan Arab dan Cina Maka apa yang juga tertapat dalam
Serat Wedatama karya Mangkunegara IV (1857-1881) juga tersirat
di situ. Dalam Wedatama, penulisnya menyatakan bahwa akhirnya
ia terpaksa tak memilih jadi kaum, karena seorarang putera
priyayi tak layak jadi demikian:
rehne' tak suta priyayi
yen muriha dadi kaum temah nistha
Adanya perbedaan kelas sosial, yang sekaligus menempatkan kaum
priyayi di atas dan kaum saudagar di bawah, sekaligus diperkeras
oleh kenyataan sejarah lain: bahwa para ulama dalam sejarah Jawa
selalu berada dalam posisi sebagai "pemimpin tandingan" - atau
counter elite, kata rrof. Sartono Kartodirdjo yang cenderung
untuk berhadapan dengan kepemimpinan para bangsawan. Mungkin
itulah sebabnya Amangkurat I ( 1646-77) menyembelih 5 sampai 6
ribu ulama beserta isteri dan anak-anaknya, konon sekaligus
dalam waktu setengah jam. Ia memang mau membersihkan setiap
saingan, antara lain adiknya sendiri dan ia ingin menguasai
perdagangan didaerah pesisir.
Pertentangan semacam itu menemukan bentuknya yang baru ketika
Belanda mulai lebih masuk ke dalam kancah kekuasaan Jawa.
Demikianlah Pangeran Dipanegara yang melawan Belanda dan kraton
Yogya mempergunakan lambang-lambang Islam. sementara Bupati
Purwareja. Raden Adipati Cakranegara (1830-1862) yang
menentangnya melihat pamrih pada diri Pangeran itu serta
mengecam campur-tangannya kaum santri dalam kehidupan kraton
Surakarta. Bagi Cakranegara dalam karyanya Buku Kedhung
Kebo, para santri itu tak bisa mengatur pemerintahan:
semu santri tan saged oleh praja
punika santri Wateke
mung mbujeng awakipun
mboten saged mengku prajadi
Para santri memang dalam sejarah Jawa belum pernah membuktikan
kebolehannya mengatur pemerintahan - karena memang tak pernah
berhasil dapat kesempatan. Namun agaknya kekuatan dan daya
tarik mereka justru terletak sebagai pihak oposisi, sebagaimana
terbukti pengaruh mereka dalam perlawanan melawan "kafiir"
Belanda. Bisa dimengerti jika pengaruhnya ke kalangan priyayi
Jawa sangat terbatas. Sampai kini pun orang Jawa yang perlu
merasa terhormat untuk sedikit ningrat cenderung memandang
santri dengan sikap merendahkan.
Itu tidak berarti bahwa Islam dengan sendirinya telah tertanam
di kalangan jelata Jawa dalam bentuk yang "murni" dan ortodoks.
Perlawanan rakyat yang dipimpin kiyai-kiyai lazimnya disertai
dengan jimat dan takhayul. Bahkan pemimpin DI Kartosuwiryo yang
memberontak terhadap Republik Indonesia dengan semboyan "Negara
Islam" tetap percaya pada keris sakti dan manfaat supernatural
dari bertapa.
Juga tak berarti bahwa di kalangan cendekiawan atau literati
Jawa abad lampau - yang berada di dekat kraton tak ada pertalian
sedikitpun dengan khasanah pemikiran Islam. Dr. Soebardi,
misalnya, dalam sebuah tulisan tentang pujangga besar Jawa
Jasadipura I, menunjukkan pertalian itu. Jasadipura I adalah
pujangga kraton di masa Paku Buwana III (1749-88) dan Paku
Buwana IV (1788-1820). Ia menterjemahkan karya-karya sastra
Jawa kuno dari masa Hindu ke dalam bahasa Jawa modern. Narnun
dalam buku seperti Serat Cabolek, kata Soebardi, "Jasadipura
menunjukkan kecenderungan untuk menggabungkan diri dengan cara
ulama yang memandang syari'ah sebagai suatu petunjuk lahir bagi
kehidupan religius orang Jawa."
Bahkan tak cuma ttu Serat Centini, yang oleh ulama Islanl
seperti K.H. Moh. Rosyidi dan Hamka dikecam sebagai anti-Islam,
oleh Soebardi ditunjukkan tidak seluruhnya demikian.
Bagian-bagian pertama dari ensiklopedia lawa yang disusun oleh
banyak penulis ini bukan saja menunjukkan banyaknya sumber Islam
yang dipakai tapi juga menunjukkan bahwa Centini pun dekat
dengan ajaran Islam yang font lengkap dengan anjuran agar patuh
pada syari'at.
Dengan kata lain dalam suatu periode agaknya pernah Islam jadi
penting dalam perasaan orang Jawa tentang identitas
kebudayaannya Dalam periode lain. keasingan atau setidaknya
kerenggaran memang terjadi. Namun agaknya jelas bahwa
masalahnya tidak semata-mata soal doktrin yang berbeda.
Masalahnya sering berlatar sosial dan politik, yang mungkin tak
sepenuhnya disadari baik oleh kaum ulama Islam ataupun kebatinan
sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini