Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menyaring Masa Lalu

Menko Polkam Sudomo menegaskan, "bersih lingkungan" hanya berlaku bagi calon dan anggota ABRI. Masih terdapat sekitar 9 ribu pegawai negeri sipil bekas anggota PKI tahun 1988. Screening tetap berjalan.

17 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR seperempat abad lalu Partai Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan tapi kehadirannya hingga kini masih terus dirasakan. Selain peringatan untuk tetap waspada terhadap bahaya laten PKI, belakangan ini semakin santer isu yang menyatakan adanya eks anota PKI dikantor pemerintah. Benarkah ? Ternyata, benar. Menurut catatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo, masih terdapat sekitar sembilan ribu pegawai negeri sipil eks anggota PKI tahun ini. Namun, bukan berarti aparat keamanan tak mengetahuinya. Sebab, eks anggota PKI golongan C-2 dan C-3 memang diperkenankan tetap menjadi pegawai negeri. Golongan C-2 dan C-3 berarti pernah menjadi anggota biasa bekas organisasi massa terlarang yang seasas atau bernaung di bawah PKI, atau bersimpati pada G-30-S/PKI. Mereka ini, menurut Keppres 028/1975, masih diperbolehkan mempertahankan status pegawai negerinya hingga masa pensiun dan terdapat gantinya. Ini berarti, pada 1974, sekitar 175 ribu kelompok C-2 dan C-3 selamat dari PHK. "Tapi mereka tak boleh ditaruh di tempat strategis, tetap diawasi, dan diadakan persiapan-persiapan untuk menggantinya," kata Sudomo yang pernah menjabat sebagai Panglima Kopkamtib itu. Yang dianggap strategis itu bukan cuma jabatan di pegawai negeri. Bagi yang pernah menjadi anggota PKI tertutup kemungkinan untuk menjadi dalang, wartawan, pendeta, guru, lurah, lembaga bantuan hukum, perusahaan swasta yang vital, BUMN dan tentu saja -- masuk ABRI. Bahkan untuk masuk ABRI tak hanya harus bebas dari keterlibatan dengan PKI melainkan juga tidak boleh memiliki anggota keluarga dan lingkungan yang terlibat G-30S/PKI. Persyaratan ini, di masyarakat, berkembang menjadi istilah "bersih lingkungan". Padahal, seperti dikatakan Jenderal L.B.Moerdani, "Kopkamtib tak pernah mengenal istilah itu." Anehnya, istilah ini justru sangat populer di masyarakat. Terutama karena beredarnya berbagai cerita tentang mereka yang terpaksa dicopot dari jabatan atau posisinya karena "tidak bersih lingkungan". Artinya, ada anggota keluarganya yang terlibat dalam G-30-S/PKI. Syarat "bersih lingkungan" ini makin memasyarakat terutama menjelang Pemilu 1987, saat para calon anggota DPR dan DPRD diteliti "kebersihan diri serta lingkungannya". Malah juga loyalitasnya. Selama ini memang banyak cerita tentang terungkapnya mereka yang dianggap tidak "bersih lingkungan". Misalnya ada lurah atau camat yang dipecat karena tidak "bersih lingkungan". Juga taruna Akabri yang terpaksa dikeluarkan karena terungkap bahwa ia mempunyai keluarga yang terlibat G-30 S/PKI. Malah kabarnya beberapa tahun silam ada juga sejumlah perwira menengah lulusan Akabri yang diberhentikan dari dinas aktif karena sebab yang sama. Munculnya berbagai cerita ini bukan tak ada-dasarnya. Tak kurang dari 100 surat masyarakat, menurut Sudomo, dilayangkan ke pemerintah berisi laporan tentang bekas anggota PKI yang menduduki jabatan strategis. Beberapa laporan terbukti benar hingga beberapa lurah diberhentikan dan juga seorang anggota DPRD Payakumbuh. Celakanya, kemudian terjadi ketidakjelasan jabatan apa yang membutuhkan persyaratan "bersih diri" dan mana yang membutuhkan "bersih lingkungan". Akibatnya banyak laporan salah sasaran. Antara lain, menurut Sudomo, yang melaporkan keterlibatan Gubernur Bali. "Setelah diteliti ternyata tak ada bukti," katanya. Maka, sang Menko Polkam pun, akhirnya, terpaksa turun tangan untuk menjernihkan suasana. Setelah mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Administrasi Kepegawaian Negara, dan Kopkamtib, laksamana purnawirawan ini memberikan penjelasan kepada media massa tentang bersih lingkungan, Kamis pekan lalu. Secara tegas dikatakannya bahwa bersih lingkungan hanya berlaku bagi calon dan anggota ABRI. Walhasil, bagi instansi atau profesi di luar ABRI prasyarat "bersih lingkungan" yang berat ini tak diperlukan. Hanya saja untuk jabatan dan profesi strategis diharuskan lolos screening (penyaringan) mental ideologis. Penjelasan resmi ini tampaknya membuat banyak orang bernapas lega. Terutama yang sempat khawatir akan terkena akibat dari dosa orangtua atau mertua. "Yang penting bukan apakah bapaknya PKI atau bukan, tetapi kita kebobolan atau tidak," kata Sudomo tegas. Dan dengan screening ini diharapkan dapat diketahui seberapa jauh seseorang anti-Pancasila dan UUD 1945 ataupun tak setia pada pemerintah dan negara. Diakui oleh Sudomo, sistem ini memang tak menjamin seratus persen. "Soalnya, belum ada satu alat yang tinggal kita taruh di kepala seseorang dan langsung mengetahui apakah dia komunis atau tidak," kata Sudomo sambil tersenyum. Bahaya komunis memang perlu terus diwaspadai, tapi itu tidak berarti bahwa kita perlu selalu memasang kuda-kuda dan menoleh sekeliling dengan mata curiga. Dengan mempercepat pembangunan (dan pencapaian kemakmuran rakyat), dengan memperkuat mental ideologi masyarakat, dengan mengetahui taktik dan strategi PKI, usaha sisa PKI untuk menerobos masuk bisa dipatahkan. Sisa PKI memang lihai dan pintar menyusup ke mana-mana. Apalagi, seperti dikatakan Menteri Pertahanan Jenderal L.B. Moerdani dalam ceramah di depan para diplomat ASEAN, awal bulan lalu, di Indonesia, tiga kali pemberontakan partai komunis dapat digagalkan, yaitu tahun 1926, 1948, dan 1965. Dari pengalaman itu, menurut Jenderal Moerdani, "Terungkap pula bahwa persiapan untuk muncul kembali bagi partai komunis di Indonesia memerlukan waktu kurang lebih 20 tahun." Jika kesimpulan itu benar, berarti pada saat-saat sekarang kita memang perlu lebih waspada. Namun, kita boleh lega dengan penegasan Pangab Jenderal Try Surisno dan Menhankam L.B. Moerdani belum lama ini bahwa saat ini stabilitas nasional kita mantap sekali. Bambang Harymurti & Diah Purnomowati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus