Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kami ini demokrat sampai ke sumsum

Beberapa cuplikan surat kartini yang dihilangkan sebagian atau seluruhnya dari buku door duisternistot licht a.l.: tentang mengapa kartini dan roekmini tak jadi ke belanda dan tentang perkawinannya.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU saja J.H. Abendanon, yang dianggap seakan orangtua oleh Kartini dan adik-adiknya masih hidup, rahasia ini akan tetap rahasia. Abendanon-lah yang menyelamatkan surat-surat Kartini, dengan menerbitkan Door Duisternis tot Licht. Tapi seleksi dan suntingan yang dilakukannya menyebabkan profil pendekar wanita itu tak utuh. Di bawah ini berbagai cuplikan surat Kartini yang dihilangkan sebagian atau seluruhnya dari Door Duisternis tot Licht: Mengapa Kartini dan Roekmini tak jadi ke Negeri Belanda. Petikan surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902 Ibu kemarin memanggil saya ke kamarnya dan menunjukkan surat Kakak (mungkin R.M. Slamet Sosroningrat atau Pangeran Ario Sosroboesono -- Red.). Isinya penuh keluhan terhadap kami berdua. Kakak menceritakan bahwa dia bingung oleh ulah kami. Tuan Asisten Residen pada suatu hari mengatakan padanya bahwa telah dua kali ia mengajukan usul agar Kakak diangkat menjadi wedana, tapi kedua kali usul itu ditolak. Karena tuan-tuan besar di B (mungkin Batavia atau Buitenzorg - Red.) yang berwenang memberi keputusan tidak senang oleh maksud kami untuk pergi ke Belanda. Tuan besar itu tidak senang. Jadi, kalau kami pergi ke Belanada, Kakak harus tahu sendiri bagaimana ia akan dapat maju. Kakak kalang kabut. (Ia menuduh) kami berdua akhirnya akan menjatuhkan seluruh keluarga. Bahwa tuan-tuan besar tidak senang akan cita-cita kami, dapat kami pahami benar. Karena bukankah yang membela cita-cita kami di parlemen Belanda itu adalah Van Kol, seorang sosial demokrat, musuh bebuyutan kaum kapitalis. Maka itu, sudah dapat kami perhitungkan sebelumnya. Dan prasangka kami pasti tidak akan berkurang, kalaupun mereka berkenalan dengan kami secara pribadi, sebab meskipun kami berasal dari kaum ningrat tinggi, kami ini demokrat sampai ke tulang sumsum, jauh sebelum kami berkenalan dengan Van Kol. Tentang perkawinannya Dalam Surat-Surat Kartini terjemahan Sulastin Sutrisno, halaman 334, ada surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 7 Juli 1903. Surat itu panjangnya cuma empat baris. Surat selanjutnya bertanggal 24 Juli 1903. Di antara tanggal itu menurut catatan yang dibuat penyusun buku ada surat-surat yang tak boleh diumumkan. Surat itu tentang keputusan Kartini dan Roekmini menggagalkan rencananya belajar dengan beasiswa ke Batavia. Petikan surat pendek Kartini pada keluarga Abendanon, 9 Juli 1903 Teman-teman yang kusayangi dan sangat setia. Bagaimana perasaan kami waktu menerima telegram Anda tadi pagi, dapat Anda bayangkan. Berita tentang kebebasan kami yang sudah sedemikian -- lama diharap-harapkan telah datang -- satu hari terlambat. Kemarin surat sudah dikirimkan, dan hari ini telah diterima oleh si penerima. Surat mana memberitahukan kepada Bupati Rembang bahwa kami menerima lamarannya .... Itulah cobaan berat yang kami terima pagi tadi. Bagaimana keadaan kami tentu dapat Anda bayangkan. Saya tidak dapat banyak menulis pada Anda. Perasaan saya jenuh, dan pikiran saya bingung. Surat ke alamat sama keluarga Abendanon, 14 Juli 1903. Teman-teman tersayang yang setia. Hati saya mengatakan bahwa Anda menunggu-nunggu surat saya dengan penuh kecemasan. Saya sudah menangguhkan penulisan saya hingga pemikiran tenang kembali. Terimalah berita sedih dengan segera, makin lekas makin baik. Kami telah kalah. Apa yang membuat Adik tidak berdaya juga membuat saya tidak berdaya. Masih saja berlaku saran dokter: emosional harus dihindarkan. Kami mengetahui itu. Saya telah berjuang mati-matian, menderita, dan saya tidak dapat menjadi nasib jelek Ayah. Dan dengan demikian membawa petaka kepada semua yang saya cintai .... Tahukah Anda kini besarnya kebahagiaan saya, penghinaan saya, nista saya: saya adalah tunangan Bupati Rembang, seorang duda dengan enam anak dan tiga istri. Saya tak usah bercerita lebih, bukan? Anda telah mengenal saya dengan baik .... Makota telah jatuh dari kepalaku, ilusi-ilusi emasku mengenai kesucian diinjak-injak di pasir .... Kini saya tidak lain daripada semuanya seperti beribu-ribu orang lain yang ingin saya tolong. Tetapi saya malah memperbanyak jumlah mereka. Oh, Tuhan, Tuhanku, ampunilah aku. Beri aku kekuatan untuk memikul salibku. Bolehkah saya tetap menjadi anakmu tanpa makota, tanpa ilusi emas? Oh, Tuhan, haruskah ini terjadi? Benarkah ini kehendak-Mu, Tuhan? Semua datang bersamaan: saya sakit, lamaran, adik-adik sakit, Roekmini dan Mama. Saya sedang sakit waktu utusan Bupati Rembang dengan suratnya datang. Waktu saya curiga, saya segera menyuruh R menulis surat untuk Anda. Keputusan pemerintah adalah satu-satunya pertolongan. Memang keputusan datang, tetapi terlambat. Pada hari yang sama, Bupati Rembang telah menerima jawaban orangtua saya. Hari-hari sebelumnya saya tetap tenang, sedangkan yang lain sangat beremosi. Tapi waktu telegram datang, aku pun tidak dapat menguasai diriku. Saya menerima telegram ketika sedang mengajar, saya meninggalkan anak-anak, saya tak bisa lagi memberi pelajaran. Saya telah mengajukan persyaratan: saya boleh terus mengajar, membuat ujian, membuka sekolah, dan selanjutnya melakukan pekerjaan yang saya senangi dan saya lakukan kini. Orangtua saya menganggap persyaratan saya wajar dan benar. Lalu saya meminta untuk masih bisa pergi ke Batavia, mengikuti kursus setahun, untuk coba menyelesaikannya dalam setahun. Tetapi Tuhan memutuskan lain. Telah datang lagi utusan-utusan malam Minggu, dan Minggu pagi saya membaca sebuah surat yang membuat bulu kudukku berdiri. Memang surat itu sebuah lamaran, tetapi bahasanya, oh, Tuhan, lelaki itu sudah menganggap saya separuh miliknya. Saya sangat ketakutan, begitu ketakutan sehingga saya menggigil. Mungkin, Anda akan menertawakan saya, akan tetapi kami telah sering melihat bahwa guna-guna itu bukan dongeng. Dan perlahan-lahan dapat kami bayangkan bahwa pada waktu ini tidak mungkin untuk seorang gadis pribumi untuk berdiri sendiri bekerja di masyarakat. Bahaya yang besar mengancam sari sisi lelaki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus