PETI itu tampak biasa saja. Terbuat dari kayu eik, berukuran 50 x 40 cm, dengan tinggi 30 cm. Pada 11 Agustus 1986 silam, peti itu sampai di Leiden, setelah menempuh perjalanan tak sampai satu jam dengan kereta api dari Den Haag. Peti itu kemudian ditaruh di boncengan sepeda yang dikayuh menuju kantor KITLV. "Ha ... ha ... ha, saya membawa barang yang sangat berharga itu dengan sepeda saja," kata Drs. Frederick George Peter Jaquet, Kepala Dokumentasi Sejarah Indonesia di KITLV, pekan lalu kepada TEMPO. Isi peti itu memang tak ternilai. Di dalamnya tersimpan dokumen-dokumen -- termasuk surat Raden Ajeng Kartini dan saudara-saudaranya yang ditujukan kepada Tuan dan Nyonya Abendanon, Direktur Kementerian Pengajaran dan Kerajinan Hindia Belanda pada awal 1900-an, yang bersama istrinya kemudian menjadi sahabat Kartini. Jaquet menyebutkan isi peti itu dokumen, sebab bukan hanya terdiri atas surat-surat, tapi ada pula kartu pos, foto-foto, dan dokumen mengenai sekolah Kartini yang dibuat semasa Kartini masih hidup maupun setelah dia meninggal "Kadang-kadang surat panjang tidak penting artinya, tetapi adakalanya kartu pos kecil, bahkan foto, penting sekali. Karena di belakang foto ada catatan-catatan dari Kartini yang dulu belum diterbitkan oleh Abendanon," katanya. Dalam peti itu ada 246 surat, yang bila dirinci terdiri atas 115 surat dan kartu pos dari Kartini, 74 surat dari Roekmini, 19 dari Kardinah, 9 dari Kartinah, 24 dari Soematri, 1 surat dari ayah Kartini, R.M.A.A. Sosroningrat, 3 surat dari Sosrokartono, dan 1 surat dari suami Kartini, R.M.A.A. Djojoadiningrat. Selain itu, masih ada sejumlah fotoserta surat-surat dokumen tentang sekolah Kartini. Di samping itu, ada tujuh surat Kartini yang ditujukan kepada Ir. H.H. Van Kol. Yang menarik, dokumen itu banyak yang belum pernah dipublikasikan. Di antara 108 surat Kartini itu -- tak dihitung tujuh surat Kartini pada Van Kol tadi -- 53 sudah diterbitkan oleh Abendanon pada 1911, dalam buku Door Duisternis tot Licht. Sebanyak 47 surat untuk Rosa Manuela Mandri alias Ny. Abendanon, 5 surat untuk Abendanon, dan sepucuk surat kepada kedua suami-istri itu. Artinya, ada 55 surat Kartini dari peti itu yang isinya sama sekali belum pernah diketahui publik. Belum lagi banyak pula surat Kartini yang dulu dimuat dalam Door Duisternis tot Licht itu ternyata disensor Abendanon di sana-sini. Sungguh beruntung pula, meski tersimpan dalam peti yang begitu bersahaja, surat-surat yang hampir berumur satu abad itu tak satu pun yang cedera. Cuma satu surat -- satu dari dua surat Kartini yang ditulis dengan pensil -- yang sobek sedikit, tapi masih bisa dibaca. Surat-surat itu mampu bertahan lama mungkin karena kertas yang digunakan berkualitas baik. Semua surat itu ditulis dengan tinta hitam, kecuali dua surat Kartini yang ditulis dengan pensil. Foto dalam peti itu juga masih baik. Hanya warna hitam pada foto hitam-putih itu sudah berubah agak kecokelatan. Padahal, selama ini peti tersimpan saja di rumah J.H. Abendanon, 82 tahun, di Den Haag. Abendanon yang ini -- namanya memang sama -- adalah cucu Jacques Henri Abendanon, yang sahabat Kartini dan meninggal pada 1925. Abendanon yang cucu ini tahu sedikit tentang Kartini dari Door Dusteris tot Licht. Tapi selebihnya, seperti dikatakannya kepada TEMPO, "Saya tak mengerti apa-apa, karena itu urusan kakek saya." Untunglah, tahun lalu, dia berkenalan dengan Jaquet melalui Dr. H.A. Boeze, salah seorang redaktur KITLV. Jaquet menilai Abendanon tidak begitu mengerti betapa pentingnya dokumen yang disimpannya. Abendanon malah merasa mendapat beban dengan dokumen peninggalan kakeknya itu. Akhirnya, ditawarkannya pada KITLV untuk menyimpan peti kayu itu berikut isinya. Tentu diterima Jaquet dengan senang hati. Maklum, Jaquet sendiri sebagai seorang Belanda punya kesan tersendiri terhadap Indonesia, karena dia dilahirkan di Jakarta 50 tahun yang silam. Tapi pada usia 12 tahun dia sudah pulang ke negerinya. Selain itu, KITLV selama ini memang biasa menyimpan bermacam arsip serta dokumen pribadi. Setelah mengamati isi peti itu, timbul pikiran Jaquet untuk menerbitkannya dalam bentuk yang lain dengan yang dilakukan Abendanon 76 tahun yang silam. Yaitu menerbitkan surat-surat itu seutuhnya tanpa penyunatan, malah tanpa catatan kaki. "Menurut saya, dengan menerbitkan surat lengkap itu orang akan mengetahui kehidupan Kartini," kata sarjana sejarah yang sudah menulis beberapa buku itu. Pimpinan KITLV menyetujui ide itu, begitu pula keluarga Abendanon. Maka, Jaquet mulai menyeleksi dokumen itu. Akhirnya jadilah buku setebal 400 halaman yang untuk edisi pertama ini dicetak 2.000 eksemplar. Harga buku itu 40 gulden. Isi buku berupa 108 surat dan kartu pos Kartini, 29 surat dari Roekmini, 7 surat Kardinah, 3 surat Kartinah. kemudian masing-masing satu surat dari Soematri, R.M.A.A. Sosroningrat, dan R.M.A.A Djojoadiningrat. Yang tak diterbitkan adalah surat-surat kakak atau adik Kartini yang dikirimkan belakangan kepada keluarga Abendanon setelah Kartini meninggal. Yaitu 45 surat Roekmini (sampai tahun 1921), 12 surat Kardinah (hingga 1924), 6 surat Kartinah (1915), 23 dari Soematri (sampai 1936), dan tiga surat Sosrokartono (1926). Kenapa Jaquet masih menyensor? "Saya harus berhati-hati, jangan sampai menyinggung keluarga Kartini yang masih ada," jawabnya. Tapi Jaquet tak pula memberi jawaban yang jelas mengapa tujuh surat Kartmi kepada H.H. Van Kol yang ditemukan di peti itu tak pula diterbitkan. Bila diingat Van Kol adalah anggota parlemen (Tweede Kamer) yang tidak begitu sependapat dengan penjajahan Belanda malah dia pernah diadili di Belanda karena dituduh menghasut di Indonesia -- maka surat-surat Kartini kepadanya itu tentulah amat merangsang untuk diketahui isinya. "Surat-surat pada Van Kol itu, menurut saya, tidak cocok untuk diterbitkan bersama surat surat ini," jawaban Jaquet. Amran Nasution (Jakarta), Hendrix Mandagie (Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini