Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Karimunjawa, tak jauh dari jawa

Potret kepulauan karimunjawa, serba terpencil dan suram, penghasilan penduduk semakin mundur, dan pembinaan di bidang pertanian belum ada. (dh)

18 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kepulauan Karimunjawa, tak ada rumah sakit. Tidak ada koperasi. Tidak ada jalan beraspal. Tak ada Bimas. Bahkan karena tidak ada seorang dokter pun yang mau bertugas di sana, belum lama ini seorang dokter muda menawarkan kesanggupannya. Karena itu hari depan kepulauan itu dianggap suram. Sehingga Camat Karimunjawa, Sumaryo berpendapat, "kalau keadaannya begini terus, pasti penduduk akan frustrasi." "Sekarang," tambah Sumaryo, "tanah-tanah di sini tidak produktif lagi, penghasilan penduduk semakin mundur." Rata-rata sekarang, penghasilan penduduk kepulauan ini di bawah Rp 500. Dahulu, kepulauan ini terkenal karena hasil kopra dan hasil laut berupa teripang. Tapi ketenarannya kini seakan pudar tiba-tiba. Padahal dari luas daratannya yang 7.000 ha lebih, hampir 2.000 ha terdiri dari perkebunan kelapa. Kepulauan Karimunjawa mempunyai 27 pulau besar dan kecil. Tapi cuma 6 pulau saja yang dihuni. Masuk kawasan Jawa Tengah, di wilayah Kabupaten Jepara, posisi Karimunjawa ini memang unik. Dari Jepara, jaraknya cuma 45 mil. Dan jarak ini hanya bisa dicapai dengan kapal. Pertambahan penduduknya, bisa dikatakan rendah sekali. Tahun 1915, pemerintah Belanda mencatat kepulauan itu berpenduduk 4.000 jiwa lebih. Tahun 1980 tercatat 6.863 orang. Hasil pertanian dan perkebunan terus merosot. Diduga karena sampai sekarang bimas belum menyeberang ke kepulauan ini. Hal ini diakui oleh Sumaryo. Dia mengambil contoh produksi kopra pada 1960, yang masih mencapai 60 ton/bulan. "Sekarang merosot tinggal 3 sampai 4 ton saja," tambah Sumaryo. Sumaryo mengakui, "di bidang pertanian, belum ada pembinaan." Mungkin karena mengalirnya benda-benda orang kota seperti teve, sepeda motor dan materi lainnya, orang menjadi segan turun ke sawah. Dan ladang pun penuh dengan alang-alang. Sementara itu, peremajaan pohon kelapa, tidak ada. Tetapi pohon cengkih sudah mengeluarkan bunga. Di pulau ini ada 23 pesawat tv, digerakkan oleh diesel listrik 32 KVA milik kantor camat. Sebagian besar penduduk, harus menyeling menu makanannya antara beras dan ketela. Keperluan beras untuk kawasan ini sekitar 5 ton/hari. Tinggi rendahnya harga kebutuhan pokok, tergantung banyak sedikitnya persediaan bahan makanan itu di pulau tersebut. Meskipun persediaan cukup, harga tetap lebih mahal ketimbang yang ada di Pulau Jawa. Misalnya, harga beras di Semarang Rp 220/kilo di Karimunjawa menjadi Rp 250/kilo. Minyak tanah di pulau ini Rp 75/liter. Bensin Rp 400/liter dan solar Rp 80/liter! Harga ini akan berlipat kalau musim barat tiba, antara Desember sampai Februari. Ini berarti tidak ada sebuah kapal pun yang sanggup mensuplai bahan-bahan kebutuhan pokok untuk pulau ini (lihat box: Larashati yang sempoyongan). "Tetapi keadaan sekarang jauh lebih baik," ujar Nyonya Sukesi, "dibanding waktu pertama kali saya datang. "Nyoman Sukesi adalah bidan yang telah menetap di Pulau Karimun 17 tahun lamanya. Dia menikah dengan Gerald Marlen seorang Indo-Jerman yang kini menjadi pedagang di sana. Sekarang, kata Sukesi, banyak wanita di sini mengenakan perhiasan emas -- satu pemandangan yang tak terlihat ketika suami istri itu mula-mula bertugas di sini. Sebagai satu-satunya tenaga paramedis, Sukesi harus merangkap semua pekerjaan. Menolong orang melahirkan (meskipun ada 25 orang dukun beranak), sampai menduga penyakit yang seharusnya dikerjakan oleh seorang tenaga medis. Uang-Terpencil "Ada 68 orang yang berpenyakit TBC," kata Sukesi, untuk menyebutkan penyakit saluran pernapasan. Penyakit endemis lainnya ialah malaria dan penyakit kulit. Kabarnya, baru mulai bulan ini ada seorang dokter yang menyediakan diri untuk ditempatkan di sana. Kesediaan dokter ini bertugas di sana kabarnya karena ia belum mendapat penempatan. "Yang susah, kalau harus pergi ke pulau lain," ujar Sukesi yang baru saja mendapat sepeda motor dari BPKKN. Dari DKK Jepara, kawasan ini pernah mendapat tawaran sebuah perahu motor untuk pengganti mobil Puskesmas keliling. Tawaran di tahun 1979 tersebut hingga kini belum terwujud. Di pusat kotanya, Karimunjawa, ada 47 rumah tembok dan 566 rumah kayu. Ada 9 Sekolah Dasar dengan murid 1.065 orang dan 65 guru. Taman Kanak-kanak ada dua, madrasah Ibtidaiyah 8 buah, dengan 29 guru dan 875 murid. "Tetapi pembangunan di sini berjalan lambat," tambah Sumaryo lagi. Misalnya gedung sekolah Inpres, atau rumah dokter. Karena dana yang serba terbatas, "tidak ada pemborong yang berani mengerjakan proyek di sini." Tambahnya: "Tentu pemborong bakal rugi, karena ongkos angkut bahan bangunan yang mahal." Ongkos muat/bongkar barang saja sudah Rp 3000 tiap tonnya. Meskipun begitu, pembangunan toh tetap ada. "Iya, itu baru saya kerjakan, setelah pemborong lain tak berani. Ada untung, tapi sedikit," ujar Sumaryo yang rupanya bertindak juga sebagai pemborong. Di samping itu, kepada beberapa nelayan, Sumaryo juga memberikan kredit pribadinya untuk mesin motor tempel. Bertindak sebagai orang bisnis, tak hanya dilakukan Sumaryo. Pemilik sekitar 30 buah toko di Kota Karimun adalah bidan, polisi, camat atau awak kapal. "Sebab kalau menggantungkan nasib pada jabatan saja, pasti ddak cukup, " kata Alimun, 60 tahun. Sejak 1942, Alimun menjabat sebagai kepala desa, meskipun seorang pamong mendapat tunjangan "uang daerah terpencil" -- untuk camat tunjangan ini cuma Rp 25.000/tahun. Meskipun masalah pulau ini juga dimiliki oleh beberapa daerah lain, "kami tidak mempunyai sekolah lanjutan," keluh Sumaryo. Karena itu, anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah, harus pergi ke Pulau Jawa, ke Jepara atau Semarang. Dan ini tentu terbatas bagi mereka yang mampu saja. "Celakanya," kata Lurah Alimun, "anak saya yang sekolah di Undip, menyuruh saya menjual tanah dan bikin rumah saja di Jawa." Alimun memang memiliki sebuah pulau penuh pohon kelapa. Kabarnya, Sekolah Menengah Perikanan akan didirikan di Karimun. "Saya setuju," kata Bupati Jepara Sudikto SH, "pihak P & K juga sudah berkonsultasi dengan saya." Dan kapan? "Wah, itu urusan P & K," jawab Sudikto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus