DI Kepulauan Karimunjawa, tak ada rumah sakit. Tidak ada
koperasi. Tidak ada jalan beraspal. Tak ada Bimas. Bahkan karena
tidak ada seorang dokter pun yang mau bertugas di sana, belum
lama ini seorang dokter muda menawarkan kesanggupannya.
Karena itu hari depan kepulauan itu dianggap suram. Sehingga
Camat Karimunjawa, Sumaryo berpendapat, "kalau keadaannya begini
terus, pasti penduduk akan frustrasi." "Sekarang," tambah
Sumaryo, "tanah-tanah di sini tidak produktif lagi, penghasilan
penduduk semakin mundur." Rata-rata sekarang, penghasilan
penduduk kepulauan ini di bawah Rp 500.
Dahulu, kepulauan ini terkenal karena hasil kopra dan hasil laut
berupa teripang. Tapi ketenarannya kini seakan pudar tiba-tiba.
Padahal dari luas daratannya yang 7.000 ha lebih, hampir 2.000
ha terdiri dari perkebunan kelapa.
Kepulauan Karimunjawa mempunyai 27 pulau besar dan kecil. Tapi
cuma 6 pulau saja yang dihuni. Masuk kawasan Jawa Tengah, di
wilayah Kabupaten Jepara, posisi Karimunjawa ini memang unik.
Dari Jepara, jaraknya cuma 45 mil. Dan jarak ini hanya bisa
dicapai dengan kapal.
Pertambahan penduduknya, bisa dikatakan rendah sekali. Tahun
1915, pemerintah Belanda mencatat kepulauan itu berpenduduk
4.000 jiwa lebih. Tahun 1980 tercatat 6.863 orang.
Hasil pertanian dan perkebunan terus merosot. Diduga karena
sampai sekarang bimas belum menyeberang ke kepulauan ini. Hal
ini diakui oleh Sumaryo. Dia mengambil contoh produksi kopra
pada 1960, yang masih mencapai 60 ton/bulan. "Sekarang merosot
tinggal 3 sampai 4 ton saja," tambah Sumaryo.
Sumaryo mengakui, "di bidang pertanian, belum ada pembinaan."
Mungkin karena mengalirnya benda-benda orang kota seperti teve,
sepeda motor dan materi lainnya, orang menjadi segan turun ke
sawah. Dan ladang pun penuh dengan alang-alang. Sementara itu,
peremajaan pohon kelapa, tidak ada. Tetapi pohon cengkih sudah
mengeluarkan bunga. Di pulau ini ada 23 pesawat tv, digerakkan
oleh diesel listrik 32 KVA milik kantor camat.
Sebagian besar penduduk, harus menyeling menu makanannya antara
beras dan ketela. Keperluan beras untuk kawasan ini sekitar 5
ton/hari. Tinggi rendahnya harga kebutuhan pokok, tergantung
banyak sedikitnya persediaan bahan makanan itu di pulau
tersebut. Meskipun persediaan cukup, harga tetap lebih mahal
ketimbang yang ada di Pulau Jawa.
Misalnya, harga beras di Semarang Rp 220/kilo di Karimunjawa
menjadi Rp 250/kilo. Minyak tanah di pulau ini Rp 75/liter.
Bensin Rp 400/liter dan solar Rp 80/liter! Harga ini akan
berlipat kalau musim barat tiba, antara Desember sampai
Februari. Ini berarti tidak ada sebuah kapal pun yang sanggup
mensuplai bahan-bahan kebutuhan pokok untuk pulau ini (lihat
box: Larashati yang sempoyongan).
"Tetapi keadaan sekarang jauh lebih baik," ujar Nyonya Sukesi,
"dibanding waktu pertama kali saya datang. "Nyoman Sukesi adalah
bidan yang telah menetap di Pulau Karimun 17 tahun lamanya. Dia
menikah dengan Gerald Marlen seorang Indo-Jerman yang kini
menjadi pedagang di sana. Sekarang, kata Sukesi, banyak wanita
di sini mengenakan perhiasan emas -- satu pemandangan yang tak
terlihat ketika suami istri itu mula-mula bertugas di sini.
Sebagai satu-satunya tenaga paramedis, Sukesi harus merangkap
semua pekerjaan. Menolong orang melahirkan (meskipun ada 25
orang dukun beranak), sampai menduga penyakit yang seharusnya
dikerjakan oleh seorang tenaga medis.
Uang-Terpencil
"Ada 68 orang yang berpenyakit TBC," kata Sukesi, untuk
menyebutkan penyakit saluran pernapasan. Penyakit endemis
lainnya ialah malaria dan penyakit kulit. Kabarnya, baru mulai
bulan ini ada seorang dokter yang menyediakan diri untuk
ditempatkan di sana. Kesediaan dokter ini bertugas di sana
kabarnya karena ia belum mendapat penempatan. "Yang susah, kalau
harus pergi ke pulau lain," ujar Sukesi yang baru saja mendapat
sepeda motor dari BPKKN. Dari DKK Jepara, kawasan ini pernah
mendapat tawaran sebuah perahu motor untuk pengganti mobil
Puskesmas keliling. Tawaran di tahun 1979 tersebut hingga kini
belum terwujud.
Di pusat kotanya, Karimunjawa, ada 47 rumah tembok dan 566 rumah
kayu. Ada 9 Sekolah Dasar dengan murid 1.065 orang dan 65 guru.
Taman Kanak-kanak ada dua, madrasah Ibtidaiyah 8 buah, dengan 29
guru dan 875 murid.
"Tetapi pembangunan di sini berjalan lambat," tambah Sumaryo
lagi. Misalnya gedung sekolah Inpres, atau rumah dokter. Karena
dana yang serba terbatas, "tidak ada pemborong yang berani
mengerjakan proyek di sini." Tambahnya: "Tentu pemborong bakal
rugi, karena ongkos angkut bahan bangunan yang mahal." Ongkos
muat/bongkar barang saja sudah Rp 3000 tiap tonnya.
Meskipun begitu, pembangunan toh tetap ada. "Iya, itu baru saya
kerjakan, setelah pemborong lain tak berani. Ada untung, tapi
sedikit," ujar Sumaryo yang rupanya bertindak juga sebagai
pemborong. Di samping itu, kepada beberapa nelayan, Sumaryo juga
memberikan kredit pribadinya untuk mesin motor tempel.
Bertindak sebagai orang bisnis, tak hanya dilakukan Sumaryo.
Pemilik sekitar 30 buah toko di Kota Karimun adalah bidan,
polisi, camat atau awak kapal. "Sebab kalau menggantungkan nasib
pada jabatan saja, pasti ddak cukup, " kata Alimun, 60 tahun.
Sejak 1942, Alimun menjabat sebagai kepala desa, meskipun
seorang pamong mendapat tunjangan "uang daerah terpencil" --
untuk camat tunjangan ini cuma Rp 25.000/tahun.
Meskipun masalah pulau ini juga dimiliki oleh beberapa daerah
lain, "kami tidak mempunyai sekolah lanjutan," keluh Sumaryo.
Karena itu, anak-anak yang ingin melanjutkan sekolah, harus
pergi ke Pulau Jawa, ke Jepara atau Semarang. Dan ini tentu
terbatas bagi mereka yang mampu saja. "Celakanya," kata Lurah
Alimun, "anak saya yang sekolah di Undip, menyuruh saya menjual
tanah dan bikin rumah saja di Jawa." Alimun memang memiliki
sebuah pulau penuh pohon kelapa.
Kabarnya, Sekolah Menengah Perikanan akan didirikan di Karimun.
"Saya setuju," kata Bupati Jepara Sudikto SH, "pihak P & K juga
sudah berkonsultasi dengan saya." Dan kapan? "Wah, itu urusan P
& K," jawab Sudikto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini