Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kecemasan tukang jahit

Kecemasan para pengusaha dan pengrajin pakaian jadi di desa dalangan karena rangsangan ekspor dikurangi. penduduk di desa tersebut seratus persen terlibat dalam kegiatan konveksi. (ds)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELURUH penduduk kampung itu penjahit. Dari pagi hingga malam suara mesin jahit terdengar seolah tanpa henti. Itulah Kampung Dalangan di Kelurahan Kalitengah, Kecamatan Wedi, Klaten (Ja-Teng). Delapan kampung lainnya di kelurahan itu sebagian besar penduduknya juga hidup dari menjahit. Kecamatan Wedi memang telah terkenal sebagai daerah konveksi. Tapi hanya Kampung Dalangan yang bisa disebut sebagai desa konveksi, karena "seratus persen penduduknya terlibat dalam kegiatan konveksi," kata Ketua RK Dalangan, Suharno. Dalangan yang luasnya 2.000 meter persegi, dihuni 50 kk. Desa ini terletak 5 km di selatan Kota Klaten. Dari jalan raya Sala-Yogya desa itu dihubungkan oleh jalan beraspal sepanjang 3 km. Udaranya cukup sejuk, barangkali karena masih banyak pepohonan yang tumbuh merimbun. Di sana tak kurang dari 15 pengusaha konveksi mempekerjakan sekitar 150 penjahit. Para penjahit umumnya mcngerjakan jahitan di rumah masingmasing. Untuk setiap potong mereka mendapat upah Rp 60. Ada yang menjahit hem, jaket atau celana. Di musim paceklik seperti Januari-Maret, tiap penjahit sehari rata-rata hanya bisa menyelesaikan 15 potong. Tapi menjelang Puasa dan Lebaran -- ini musim panen -- seorang penjahit bisa merampungkan 20-24 potong sehari. Jahitan Rapuh Membedakan pengusaha konveksi dari penjahitnya, mudah. Pengusaha biasanya tinggal di rumah gedung dengan arsitektur mutakhir, sementara penjahit berumah sederhana -- berlantai tanah, meski dindingnya sudah tembok. Toh ada penjahit yang memiliki 8 mesin jahit, seperti Kartowihardjo, 65 tahun. Istri, anak, menantu dan cucu Pak Karto, semuanya hidup dari menjahit. Anaknya yang masih duduk di kelas 2 SD, pulang sekolah membantu memasang kancing baju. Pak Karto yang hanya tamat pemberantasan buta huruf ini sudah menjahit sejak 1927. Ia tak pernah mengikuti kursus menjahit, "hanya belajar dari teman-teman saja," katanya. Konveksi dari Dalangan biasanya dipasarkan di kota-kota Ja-Teng seperti Wonosobo, Purwodadi, Karanganyar, Salatiga. Banyak pula pengusaha dari Dalangan atau Kecamatan Wedi yang mcmbuka kios di Pasar Klewer, Sala. Sekitar 35% konveksi di bursa tekstil terbesar di Ja-Teng itu bikinan para pengrajin Wedi. Sejak tahun lalu angin segar bertiup di Kecamatan Wedi Sebuah departemen memesan 4.500 stel pakaian untuk warga Korpri di instansi tersebut. Pesanan itu dapat dipenuhi dalam waktu 25 hari. Setelah itu datang lagi pesanan dari akarta: 900 stel pakaian ABRI. Industri rumah tangga di Dalangan berkembang sejak 1952. Para pengusaha kini sudah belajar bagaimana menghadapi saingan. Bahkan mereka juga sudah berani mengikuti mode mutakhir dari luar negeri. Label-labelnya pun, yang dapat dibeli di pasar bebas, sudah menyerupai label made in negeri sana. Tapi menghadapi kebijaksanaan baru Departemen Perdagangan dan Koperasi, para pengusaha dan pengrajin agak khawatir juga. Sejak awal bulan lalu Menperdagkop Radius Prawiro menurunkan rangsangan ekspor bagi pakaian jadi. Akibatnya ekspor pakaian jadi bikinan Indonesia ke luar ngeri menjadi lesu. "Dengan lesunya ekspor itu, konveksi yang diusahakan pengusaha besar di dalam negeri jangan-jangan akan merebut pasaran kami," ungkap Suharno, yang juga mengetuai Asvek (asosiasi konveksi) Kampung Dalangan. Salah satu jalan untuk menghadapinya, menurut Suharno, meningkatkan kualitas dan memperbanyak promosi. Kecemasan seperti itu juga menghinggapi para pengusah dan pengrajin pakaian jadi di Desa Pasir, Empat Angkat, di Sungai Puar, Kabupaten Agam (Sum-Bar). Pengaruh langsung dari kelesuan ekspor itu memang belum terasa. "Tapi bulan-bulan mendatang sudah bisa diduga, Lampung yang dekat dengan Jawa misalnya, akan sulit kami masuki," kata Bustaman, pengusaha dari Batagak, Agam. Baik Ka Kanwil Perdagangan Sum-Bar, Drs. Bondan, maupun Ketua Kadin Sum-Bar, Drs. Hasdan Den Has menyatakan produksi konveksi dari Agam belum ada yang diekspor. Tapi keduanya melihat, lama-kelamaan perebutan kawasan pemasaran antara pengusaha dari Jawa dan Sum-Bar, tak mungkin dielakkan. "Karena itu kualitas produksi perlu ditingkatkan," tambah Den Has. Menurut dia, selama ini ada kecenderungan sementara pengusaha di Agam memburu produksi tanpa memperhitungkan akibat sampingan. Karena itu sejak akhir tahun lalu Kadin cabang Agam sudah menatar para pengusaha kecil dengan prioritas pengusaha konveksi. "Selama ini ada kesan konveksi dari Empat Angkat, terutama Desa Pasir, dibuat asal jadi. Jahitannya rapuh, dipakai sekali-dua, benangnya sudah rantas," tambah Den Has.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus