SELURUH penduduk kampung itu penjahit. Dari pagi hingga malam
suara mesin jahit terdengar seolah tanpa henti. Itulah Kampung
Dalangan di Kelurahan Kalitengah, Kecamatan Wedi, Klaten
(Ja-Teng). Delapan kampung lainnya di kelurahan itu sebagian
besar penduduknya juga hidup dari menjahit.
Kecamatan Wedi memang telah terkenal sebagai daerah konveksi.
Tapi hanya Kampung Dalangan yang bisa disebut sebagai desa
konveksi, karena "seratus persen penduduknya terlibat dalam
kegiatan konveksi," kata Ketua RK Dalangan, Suharno.
Dalangan yang luasnya 2.000 meter persegi, dihuni 50 kk. Desa
ini terletak 5 km di selatan Kota Klaten. Dari jalan raya
Sala-Yogya desa itu dihubungkan oleh jalan beraspal sepanjang 3
km. Udaranya cukup sejuk, barangkali karena masih banyak
pepohonan yang tumbuh merimbun.
Di sana tak kurang dari 15 pengusaha konveksi mempekerjakan
sekitar 150 penjahit. Para penjahit umumnya mcngerjakan jahitan
di rumah masingmasing. Untuk setiap potong mereka mendapat upah
Rp 60.
Ada yang menjahit hem, jaket atau celana. Di musim paceklik
seperti Januari-Maret, tiap penjahit sehari rata-rata hanya bisa
menyelesaikan 15 potong. Tapi menjelang Puasa dan Lebaran -- ini
musim panen -- seorang penjahit bisa merampungkan 20-24 potong
sehari.
Jahitan Rapuh
Membedakan pengusaha konveksi dari penjahitnya, mudah. Pengusaha
biasanya tinggal di rumah gedung dengan arsitektur mutakhir,
sementara penjahit berumah sederhana -- berlantai tanah, meski
dindingnya sudah tembok. Toh ada penjahit yang memiliki 8 mesin
jahit, seperti Kartowihardjo, 65 tahun.
Istri, anak, menantu dan cucu Pak Karto, semuanya hidup dari
menjahit. Anaknya yang masih duduk di kelas 2 SD, pulang sekolah
membantu memasang kancing baju. Pak Karto yang hanya tamat
pemberantasan buta huruf ini sudah menjahit sejak 1927. Ia tak
pernah mengikuti kursus menjahit, "hanya belajar dari
teman-teman saja," katanya.
Konveksi dari Dalangan biasanya dipasarkan di kota-kota Ja-Teng
seperti Wonosobo, Purwodadi, Karanganyar, Salatiga. Banyak pula
pengusaha dari Dalangan atau Kecamatan Wedi yang mcmbuka kios di
Pasar Klewer, Sala. Sekitar 35% konveksi di bursa tekstil
terbesar di Ja-Teng itu bikinan para pengrajin Wedi.
Sejak tahun lalu angin segar bertiup di Kecamatan Wedi Sebuah
departemen memesan 4.500 stel pakaian untuk warga Korpri di
instansi tersebut. Pesanan itu dapat dipenuhi dalam waktu 25
hari. Setelah itu datang lagi pesanan dari akarta: 900 stel
pakaian ABRI.
Industri rumah tangga di Dalangan berkembang sejak 1952. Para
pengusaha kini sudah belajar bagaimana menghadapi saingan.
Bahkan mereka juga sudah berani mengikuti mode mutakhir dari
luar negeri. Label-labelnya pun, yang dapat dibeli di pasar
bebas, sudah menyerupai label made in negeri sana.
Tapi menghadapi kebijaksanaan baru Departemen Perdagangan dan
Koperasi, para pengusaha dan pengrajin agak khawatir juga.
Sejak awal bulan lalu Menperdagkop Radius Prawiro menurunkan
rangsangan ekspor bagi pakaian jadi. Akibatnya ekspor pakaian
jadi bikinan Indonesia ke luar ngeri menjadi lesu.
"Dengan lesunya ekspor itu, konveksi yang diusahakan pengusaha
besar di dalam negeri jangan-jangan akan merebut pasaran kami,"
ungkap Suharno, yang juga mengetuai Asvek (asosiasi konveksi)
Kampung Dalangan. Salah satu jalan untuk menghadapinya, menurut
Suharno, meningkatkan kualitas dan memperbanyak promosi.
Kecemasan seperti itu juga menghinggapi para pengusah dan
pengrajin pakaian jadi di Desa Pasir, Empat Angkat, di Sungai
Puar, Kabupaten Agam (Sum-Bar). Pengaruh langsung dari kelesuan
ekspor itu memang belum terasa. "Tapi bulan-bulan mendatang
sudah bisa diduga, Lampung yang dekat dengan Jawa misalnya, akan
sulit kami masuki," kata Bustaman, pengusaha dari Batagak, Agam.
Baik Ka Kanwil Perdagangan Sum-Bar, Drs. Bondan, maupun Ketua
Kadin Sum-Bar, Drs. Hasdan Den Has menyatakan produksi konveksi
dari Agam belum ada yang diekspor. Tapi keduanya melihat,
lama-kelamaan perebutan kawasan pemasaran antara pengusaha dari
Jawa dan Sum-Bar, tak mungkin dielakkan. "Karena itu kualitas
produksi perlu ditingkatkan," tambah Den Has.
Menurut dia, selama ini ada kecenderungan sementara pengusaha di
Agam memburu produksi tanpa memperhitungkan akibat sampingan.
Karena itu sejak akhir tahun lalu Kadin cabang Agam sudah
menatar para pengusaha kecil dengan prioritas pengusaha
konveksi.
"Selama ini ada kesan konveksi dari Empat Angkat, terutama Desa
Pasir, dibuat asal jadi. Jahitannya rapuh, dipakai sekali-dua,
benangnya sudah rantas," tambah Den Has.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini