Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Konflik aku dan gugatan umiko

Jakarta: pustaka jaya, 1980 resensi oleh: yudhistira anm massardi. (bk)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTANG DELAPAN ORANG Kumpulan cerita pendek Satyagraha Hoerip Pustaka Jaya, 1980 200 halaman DI pasaran, kumpulan cerpen seorang pengarang -- dalam bentuk buku -- rata-rata seret. Yang laris kumpulan cerpen dalam bentuk majalah, yang "ngepop" dan banyak diterbitkan dalam 2-3 tahun terakhir ini. Konsumennya: remaja. Buku kumpulan delapan cerpen Satyagraha Hoerip, 46 tahun, Tentang Delapan Orang, barangkali termasuk yang seret itu. Meski ada satu segi yang menonjol -- dan menarik -- yang memungkinkannya laris: lukisan pribadi tokoh wanita selalu terasa hidup dan meyakinkan. Misalnya dalam Wanita Sepanjang Langit (sebuah judul yang aneh), tentang seorang pelukis perempuan asing yang juga aneh. Ia beberapa kali kawin-cerai suaminya tak bisa menerima kegelisahannya sebagai seniman. Keluhannya itu disampaikan kepada tokoh Aku, yang duduk di sampingnya dalam pesawat menuju Singapura. Di akhir cerita, sang pelukis ditangkap polisi begitu mendarat. Dan Aku bertanya-tanya perempuan itu pelacurkah, penipukah atau orang gila? Dalam Salju Kapas Putih, pelacur cantik Umiko menggugat. dosanya sebagai pelacur lebih ringan dibanding dosa para koruptor. Tapi kenyataannya "Foto mereka, pidato mereka, selalu kalian muat di tempat yang istimewa. Sedangkan dalam resepsi-resepsi penting pun orang-orang berdosa itu selalu kalian dudukkan dalam deretan VIP. Kalian harus rela mengakui, bahwa kalian sebenarnya menyebarkan racun ke dalam tubuh masyarakat," ujar pelacur itu kepada wartawan Satyagraha Hoerip, si Aku. Saartje dan Irwan Dan wartawan itu merasa "Kebanggaanku kepada kewartawananku tiba-tiba terdengar rubuh bergemuruh di telinga batinku," katanya. (hal. 4849). Bukan masalah baru. Tapi bagaimana penulis menyusun percakapan Umiko dengan Aku, atau melukiskan tingkah lakunya, membuat cerita ini asyik dibaca. Itu berarti kekayaan deskripsi -- hal yang tampak pada semua cerpen dalam kumpulan ini, dan yang membangun dan menghidupkan para tokoh. Maka cerita Tawanan, yang bertemakan kepahlawanan yang tak menyajikan masalah baru malahan cenderung cengeng, toh masih enak dibaca. Irwan, orang Jawa yang menjadi tentara Belanda karena desakan ekonomi, kemudian sadar dan mengkhianati Belanda. Ia ditangkap, disiksa dan dicoba dikorek keterangannya tentang sarang gerilya oleh Saartje, perempuan Indo. Dan Saartje ternyata telanjur hamil. Ia mengandun, anak Irwan. Dalam Seorang Bapak, Kusnadi, gembong maling, sesudah masa Penyerahan Kedaulatan memperoleh penghargaan dari TNI atas jasanya mencuri senjata Belanda untuk para pejuang. Sejak itu ia bertobat dan ingin hidup sebagai orang baik-baik. Tapi, sesudah belasan tahun, ternyata masyarakat tetap memandangnya setengah jijik. Ketika hendak mengawinkan anak perempuannya, ia mencoba berutang ke sana ke mari. Tak satu pun rela mengutanginya. Kusnadi marah. Akhirnya memutuskan untuk menggunakan ketrampilan lamanya: mencuri. Sial, ia tertangkap dan dihajar sampai remuk. Di saat terakhir ia masih berusaha menyelamatkan kehormatan keluarganya: ia menjerit, menyatakan Kustiyah bukan anaknya. Memang terasa pengarang hendak memprotes sikap masyarakatnya. Dalam cerpen ini ada tokoh bekas inspektur polisi Hardoyo yang korup dan pernah dipenjarakan, tapi hidup makmur dan tetap dihormati. Bahkan banyak pengusaha minta bantuannya, kalau hendak berurusan dengan para pejabat. Pada titik kulminasi adalah cerita dengan latar belakang peristiwa G 30S PKI. Tokoh Aku mengalami konflik batin serius, ketika diminta kawan-kawannya untuk membunuh Kuslan, tokoh Lekra. Soalnya Kuslan adalah adik iparnya. Kuslan akhirnya dibunuh kawan-kawan Aku. Terasa sederhana penyelesaian ini, kalau diingat suasana sesungguhnya waktu itu: betapa orang bisa saja dituduh PKI karena menolak membunuh tokoh PKI, misalnya. Tapi mungkin Satyagraha, wartawan harian KAMI (1966-1967) dan kemudian menjadi redaktur kebudayaan di harian Sinar Harapan, ingin menampilkan hal lain: bahwa ia masih percaya adanya napas kemanusiaan dalam peristiwa sekejam apa pun, dalam diri orang seperti apa pun. Dan itu memang terasa dalam semua cerita pendeknya dalam kumpulan ini. Yudhistira A.N.M. Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus