TENTANG DELAPAN ORANG
Kumpulan cerita pendek Satyagraha Hoerip
Pustaka Jaya, 1980
200 halaman
DI pasaran, kumpulan cerpen seorang pengarang -- dalam bentuk
buku -- rata-rata seret. Yang laris kumpulan cerpen dalam bentuk
majalah, yang "ngepop" dan banyak diterbitkan dalam 2-3 tahun
terakhir ini. Konsumennya: remaja.
Buku kumpulan delapan cerpen Satyagraha Hoerip, 46 tahun,
Tentang Delapan Orang, barangkali termasuk yang seret itu.
Meski ada satu segi yang menonjol -- dan menarik -- yang
memungkinkannya laris: lukisan pribadi tokoh wanita selalu
terasa hidup dan meyakinkan.
Misalnya dalam Wanita Sepanjang Langit (sebuah judul yang aneh),
tentang seorang pelukis perempuan asing yang juga aneh. Ia
beberapa kali kawin-cerai suaminya tak bisa menerima
kegelisahannya sebagai seniman. Keluhannya itu disampaikan
kepada tokoh Aku, yang duduk di sampingnya dalam pesawat menuju
Singapura.
Di akhir cerita, sang pelukis ditangkap polisi begitu mendarat.
Dan Aku bertanya-tanya perempuan itu pelacurkah, penipukah atau
orang gila?
Dalam Salju Kapas Putih, pelacur cantik Umiko menggugat. dosanya
sebagai pelacur lebih ringan dibanding dosa para koruptor. Tapi
kenyataannya "Foto mereka, pidato mereka, selalu kalian muat di
tempat yang istimewa. Sedangkan dalam resepsi-resepsi penting
pun orang-orang berdosa itu selalu kalian dudukkan dalam deretan
VIP. Kalian harus rela mengakui, bahwa kalian sebenarnya
menyebarkan racun ke dalam tubuh masyarakat," ujar pelacur itu
kepada wartawan Satyagraha Hoerip, si Aku.
Saartje dan Irwan
Dan wartawan itu merasa "Kebanggaanku kepada kewartawananku
tiba-tiba terdengar rubuh bergemuruh di telinga batinku,"
katanya. (hal. 4849). Bukan masalah baru. Tapi bagaimana penulis
menyusun percakapan Umiko dengan Aku, atau melukiskan tingkah
lakunya, membuat cerita ini asyik dibaca.
Itu berarti kekayaan deskripsi -- hal yang tampak pada semua
cerpen dalam kumpulan ini, dan yang membangun dan menghidupkan
para tokoh. Maka cerita Tawanan, yang bertemakan kepahlawanan
yang tak menyajikan masalah baru malahan cenderung cengeng, toh
masih enak dibaca. Irwan, orang Jawa yang menjadi tentara
Belanda karena desakan ekonomi, kemudian sadar dan mengkhianati
Belanda. Ia ditangkap, disiksa dan dicoba dikorek keterangannya
tentang sarang gerilya oleh Saartje, perempuan Indo. Dan Saartje
ternyata telanjur hamil. Ia mengandun, anak Irwan.
Dalam Seorang Bapak, Kusnadi, gembong maling, sesudah masa
Penyerahan Kedaulatan memperoleh penghargaan dari TNI atas
jasanya mencuri senjata Belanda untuk para pejuang. Sejak itu ia
bertobat dan ingin hidup sebagai orang baik-baik.
Tapi, sesudah belasan tahun, ternyata masyarakat tetap
memandangnya setengah jijik. Ketika hendak mengawinkan anak
perempuannya, ia mencoba berutang ke sana ke mari. Tak satu pun
rela mengutanginya.
Kusnadi marah. Akhirnya memutuskan untuk menggunakan ketrampilan
lamanya: mencuri. Sial, ia tertangkap dan dihajar sampai remuk.
Di saat terakhir ia masih berusaha menyelamatkan kehormatan
keluarganya: ia menjerit, menyatakan Kustiyah bukan anaknya.
Memang terasa pengarang hendak memprotes sikap masyarakatnya.
Dalam cerpen ini ada tokoh bekas inspektur polisi Hardoyo yang
korup dan pernah dipenjarakan, tapi hidup makmur dan tetap
dihormati. Bahkan banyak pengusaha minta bantuannya, kalau
hendak berurusan dengan para pejabat. Pada titik kulminasi
adalah cerita dengan latar belakang peristiwa G 30S PKI. Tokoh
Aku mengalami konflik batin serius, ketika diminta
kawan-kawannya untuk membunuh Kuslan, tokoh Lekra. Soalnya
Kuslan adalah adik iparnya.
Kuslan akhirnya dibunuh kawan-kawan Aku. Terasa sederhana
penyelesaian ini, kalau diingat suasana sesungguhnya waktu itu:
betapa orang bisa saja dituduh PKI karena menolak membunuh tokoh
PKI, misalnya.
Tapi mungkin Satyagraha, wartawan harian KAMI (1966-1967) dan
kemudian menjadi redaktur kebudayaan di harian Sinar Harapan,
ingin menampilkan hal lain: bahwa ia masih percaya adanya napas
kemanusiaan dalam peristiwa sekejam apa pun, dalam diri orang
seperti apa pun. Dan itu memang terasa dalam semua cerita
pendeknya dalam kumpulan ini.
Yudhistira A.N.M. Massardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini