Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemilu 1982

Lurah desa cibangkong menyambut pemilu 1982, termasuk lurah yang tidak mau memenangkan salah satu partai. semua orang terlibat kegiatan demokratis. semua hanya renungan, ia maklum apa yang harus ditoblos.

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LURAH desa Cibangkong -- Mahdum Sutan Nataningpraja -- adalah seorang lurah yang menyambut datangnya Pemilu 1982 dengan semangat berkobar-kobar, mata berpendar-pendar, sehingga sanak keluarga cemas salah-salah bulatan bola matanya bisa terlompat dari rongga. Rasanya, kalau dia seorang gergasi, ingin memilih as bumi agar berputar lebih cepat dari biasa, supaya hari lebih deras lari, kalau perlu sampai ngos-ngosan. Apa pasal?! Kisahnya begini. Terhitung sejak dari tahap pencalonannya jadi lurah, semua berjalan licin belaka. Tak ada bau uang baik logam maupun kertas. Formulir-formulir diisi dengan lancar sambil mata terpejam. Tak ada yang ganjil-ganjil -- katakanlah dia mesti sokong PDI saat Pemilu dan itu berhasil renggut suara sekian persen dari penduduk di wilayahnya demi kontestan itu. Ada memang dia dengar lurah-lurah lain disodori kertas di kolong meja supaya berjanji begini dan begini, tapi akalnya (serta akal bininya yang dipinjamnya sementara) tidak bisa terima. Itu mustahil! Itu desas-desus! Itu bual si Kabayan! Kepada oroknya yang berumur 2 bulan pun dia tegaskan itu setegas-tegasnya. Fitnah keji, habis perkara. Dan sang orok pun mengangguk-angguk. Dan begitu roda panitia Pemilu 1982 bergerak, dia pun merenung-renung di bawah pokok kemboja. Alangkah bahagianya hari-hari itu nanti. Siapa saja yang herkampanye di kampungnya, dijamin tiada aral melintang suatu apa. Monyet pun bila berselera, dipersilakan naik mimbar. Hansip? Apalagi kalau bukan berdiri di tengah-tengah, bagaikan kota Pontianak di Khattulistiwa, tidak condong ke sana tidak miring ke sini. Senyum dilempar sama rata, memancar rasa cinta yang tak terucapkan, seperti baru ketemu famili yang bertahun pindah berladang di tanah Deli. Hari pencoblosan? Jangan dibilang lagi hari pencoblosan. Kegembiraan Lurah Desa Cibangkong Mahdum Stan Nataningpraja mencapai puncaknya, nyaris menerobos atmosfir bumi. Lewat pengeras suara dia menjerit: begitu habis penduduk keluar dari kamar TPS -- yang dari jauh tampak seperti kakus umum -- langsung dipersilakan naik ke rumahnya, kenduri bersama. Hidangan spesial, pepes lele dan lalap jengkol. Saat itu, ya saat itu, angin demokrasi meniup dengan ramahnya, mengelus pengawas, mengusap pencoblos, membelai panitia, dan mencium petugas keamanan. Sejalan dengan hukum peradaban, sesudah itu semua suara dihitung teliti, seperti orang Martapura menghitung biji intan. Tidak boleh ada yang terselip di bawah tikar atau tergelincir ke sela kopiah. Para saksi, bahkan burung-burung gereja di atas genting meneliti tanpa berkedip, sehingga siapa saja punya niat main selingkuh kontan disambar petir yang spesial dikirim dari langit. Menghitung intan namanya, mana pula ada yang meleset. Dan sesudah itu, segera sesudah itu, alam pun hening, dan pepes ikan lele yang malang berikut lalap jengkol meluncur masuk tenggorokan semua pihak yang terlibat kegiatan demokratis. Renungan Lurah Cibangkong Mahdum Sutan Nataningpraja di bawah pokok kemboja itu tidaklah sampai di situ melainkan berlanjut terus hingga larut malam hari penyoblosan. Disimaknya siaran radio yang umumkan hasil Pemilu seraya daun kupingnya menempel rapat di pesawat dengan bantuan lem. Hakkul yakinlah ia, segala sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, baik di kelurahannya maupun di ribuan kelurahan yang tersebar di seluruh persada Pertiwi. Seberapa pun pencoblos, begitu pula jumlah hasilnya. Seberapa jumlah tanda gambar yang dicoblos. begitu pula angka perhitungannya. Tiada tipu tiada muslihat. Dua kali dua jua adalah empat. Anak kambing berinduk kambing. Bola disundul jatuhnya ke tanah jua. Pokoknya, jujur tujuh turunan dan lempang seperti mistar. Ini baru Pemilu, kalau mau tahu. Tiba-tiba renungan yang mengasyikkan itu rusak berantakan karena dalam bayangannya bininya yang gemar selidik (sampai-sampai berapa kali dia buang ingus selama penataran) mengajukan pertanyaan "tandagambar apa yang sampeyan coblos." Dapat dimengerti Lurah,Cibangkong Mahdun Sutan Nataningpraja terperanjat mendengar pertanyaan mendasar itu, tapi lurah namanya, dia cepat bisa kendalikan diri. "Lho kok tanya? Bukankah kau sudah maklum sendiri?" Maka renungan di bawah pokok kemboja itu berakhir dengan adegan keduanya naik ke peraduan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus