LURAH desa Cibangkong -- Mahdum Sutan Nataningpraja -- adalah
seorang lurah yang menyambut datangnya Pemilu 1982 dengan
semangat berkobar-kobar, mata berpendar-pendar, sehingga sanak
keluarga cemas salah-salah bulatan bola matanya bisa terlompat
dari rongga. Rasanya, kalau dia seorang gergasi, ingin memilih
as bumi agar berputar lebih cepat dari biasa, supaya hari lebih
deras lari, kalau perlu sampai ngos-ngosan.
Apa pasal?! Kisahnya begini. Terhitung sejak dari tahap
pencalonannya jadi lurah, semua berjalan licin belaka. Tak ada
bau uang baik logam maupun kertas. Formulir-formulir diisi
dengan lancar sambil mata terpejam. Tak ada yang ganjil-ganjil
-- katakanlah dia mesti sokong PDI saat Pemilu dan itu berhasil
renggut suara sekian persen dari penduduk di wilayahnya demi
kontestan itu. Ada memang dia dengar lurah-lurah lain disodori
kertas di kolong meja supaya berjanji begini dan begini, tapi
akalnya (serta akal bininya yang dipinjamnya sementara) tidak
bisa terima. Itu mustahil! Itu desas-desus! Itu bual si
Kabayan! Kepada oroknya yang berumur 2 bulan pun dia tegaskan
itu setegas-tegasnya. Fitnah keji, habis perkara. Dan sang orok
pun mengangguk-angguk.
Dan begitu roda panitia Pemilu 1982 bergerak, dia pun
merenung-renung di bawah pokok kemboja. Alangkah bahagianya
hari-hari itu nanti. Siapa saja yang herkampanye di kampungnya,
dijamin tiada aral melintang suatu apa. Monyet pun bila
berselera, dipersilakan naik mimbar. Hansip? Apalagi kalau bukan
berdiri di tengah-tengah, bagaikan kota Pontianak di
Khattulistiwa, tidak condong ke sana tidak miring ke sini.
Senyum dilempar sama rata, memancar rasa cinta yang tak
terucapkan, seperti baru ketemu famili yang bertahun pindah
berladang di tanah Deli.
Hari pencoblosan? Jangan dibilang lagi hari pencoblosan.
Kegembiraan Lurah Desa Cibangkong Mahdum Stan Nataningpraja
mencapai puncaknya, nyaris menerobos atmosfir bumi. Lewat
pengeras suara dia menjerit: begitu habis penduduk keluar dari
kamar TPS -- yang dari jauh tampak seperti kakus umum --
langsung dipersilakan naik ke rumahnya, kenduri bersama.
Hidangan spesial, pepes lele dan lalap jengkol. Saat itu, ya
saat itu, angin demokrasi meniup dengan ramahnya, mengelus
pengawas, mengusap pencoblos, membelai panitia, dan mencium
petugas keamanan.
Sejalan dengan hukum peradaban, sesudah itu semua suara dihitung
teliti, seperti orang Martapura menghitung biji intan. Tidak
boleh ada yang terselip di bawah tikar atau tergelincir ke sela
kopiah. Para saksi, bahkan burung-burung gereja di atas genting
meneliti tanpa berkedip, sehingga siapa saja punya niat main
selingkuh kontan disambar petir yang spesial dikirim dari
langit. Menghitung intan namanya, mana pula ada yang meleset.
Dan sesudah itu, segera sesudah itu, alam pun hening, dan pepes
ikan lele yang malang berikut lalap jengkol meluncur masuk
tenggorokan semua pihak yang terlibat kegiatan demokratis.
Renungan Lurah Cibangkong Mahdum Sutan Nataningpraja di bawah
pokok kemboja itu tidaklah sampai di situ melainkan berlanjut
terus hingga larut malam hari penyoblosan. Disimaknya siaran
radio yang umumkan hasil Pemilu seraya daun kupingnya menempel
rapat di pesawat dengan bantuan lem. Hakkul yakinlah ia, segala
sesuatu berjalan sebagaimana mestinya, baik di kelurahannya
maupun di ribuan kelurahan yang tersebar di seluruh persada
Pertiwi. Seberapa pun pencoblos, begitu pula jumlah hasilnya.
Seberapa jumlah tanda gambar yang dicoblos. begitu pula angka
perhitungannya. Tiada tipu tiada muslihat. Dua kali dua jua
adalah empat. Anak kambing berinduk kambing. Bola disundul
jatuhnya ke tanah jua. Pokoknya, jujur tujuh turunan dan lempang
seperti mistar. Ini baru Pemilu, kalau mau tahu.
Tiba-tiba renungan yang mengasyikkan itu rusak berantakan karena
dalam bayangannya bininya yang gemar selidik (sampai-sampai
berapa kali dia buang ingus selama penataran) mengajukan
pertanyaan "tandagambar apa yang sampeyan coblos." Dapat
dimengerti Lurah,Cibangkong Mahdun Sutan Nataningpraja
terperanjat mendengar pertanyaan mendasar itu, tapi lurah
namanya, dia cepat bisa kendalikan diri. "Lho kok tanya?
Bukankah kau sudah maklum sendiri?" Maka renungan di bawah pokok
kemboja itu berakhir dengan adegan keduanya naik ke peraduan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini