DI tengah berita bencana-bencna yang mengawali Tahun Ayam
Jantan ini, tiba-tiba 2 pemuda dari Surabaya menjadi buah bibir.
Mereka mencatat sebuah cerita petualangan, walaupun tidak begitu
luar biasa.
Mereka, Agus dan Pantja, dengan rakit Joko Tingkir, berhasil
menempuh alur Sungai Bengawan Solo dari hulu di Desa Jurug,
Sala, Jawa Tengah hingga muaranya di Ujung Pangkah, Kabupaten
Gresik (Ja-Tim). Lalu melintasi Selat Madura, hingga pelabuhan
Tanjung Perak di Surabaya dengan selamat. Rakit kayu berukuran
210 x 180 cm yang dibuat selama 2 bulan, setiap hari meluncur 10
sampai 12 jam dengan kecepatan 2 mil tiap jam. Tiba di tujuan
dengan layar koyak, tetapi tetap kokoh, sebagaimana
pengemudinya.
"Niat ini sebenarnya sudah tumbuh dalam hati saya sejak setahun
lalu," kata Agus Widodo, 25 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi
Unair, kepada TEMPO ia terbilang cukup cerdas di kampus, tapi
entah kenapa belum naik tingkat. Barangkali karena terhambat
oleh begitu banyak aktivitas. "Hampir tak ada kegiatan yang tak
diikuti Agus. Dari Menwa sampai mendaki gunung, dicobanya.
Walhasil itu anak all-round," kata seorang rekannya sekampus.
Niat Agus mendapat dukungan dari Sutrisno, Ketua "Primus" --
perkumpulan selam di Surabaya. Tinggal cari kawan sejalan.
Kebetulan di antara anggota Primus yang baru, ada Pantja Putra
Tagap (21 tahun), mahasiswa IKIP Negeri Surabaya jurusan Bahasa
Inggris. Ia anggota klub Mahasiswa Pencinta Alam Palapa. Pernah
mendaki Gunung Batur, Agung, Semeru dan Arjuno. "Atas beberapa
pertimbangan akhirnya saya pilih Pantja sebagai partner avontur
saya," kata Agus mengenang.
Dengan dukungan biaya Rp 200 ribu dari klub dan sponsor. Agus
mulai mendesain rakit. Ia selalu berkonsultasi dengan Ir. B.
Sulastono dari Fakultas Perkapalan ITS. "Alhamdulillah dia
membenarkan desain saya," kata Agus bangga.
Dua bulan lamanya rakit itu didandani. Daya apungnya 486 kg.
Dilengkapi sebuah layar dan sebuah dayung. Diberi nama Joko
Tingkir. "Nama itu saya hubungkan dengan tokoh legendaris yang
pernah menggunakan rakit mengarungi Bengawan Solo di zaman
baheula," kata Agus. Tapi, tambah Pantja, "perjalanan kami ini
lebih banyak bersifat rekreasi."
Dengan diantar rekan-rekannya di Primus dan pengurus POSSI
Ja-Tim, 18 Januari, Joko Tingkir didorong ke kali. Hujan renyai
waktu itu membasuh kepala hampir semua orang. Di atas rakit
hanya ada perlengkapan sederhana: kompas, peta bumi, teropong
dan lampu senter. Tidak ada radio, ape recorder atau motor.
"Untuk mengesankan supaya lebih alamiah," kata Agus dengan
penuh ambisi.
Orang Mandi
arak yang hendak ditaklukkan sekitar 640 km. Target pelayaran 10
hari. Bengawan Solo yang lebarnya antara 40 sampai 60 meter
dengan kedalaman 2 sampai 5 meter memiliki pusaran-pusaran yang
berbahaya. "Namun, alhamdulillah beberapa pusaran yang berbahaya
dapat kami kuasai. Umumnya pusaran itu di arus menjelang
tikungan," kata Agus.
Perjalanan itu menjadi menyenangkan karena mereka melihat
keindahan panorama di sepanjang sungai. Mereka pernah kesepian,
karena di tepian berderet rumah penduduk, kecuali Kecamatan
Sembayat dan Kecamatan Gresik ke muara. Apalagi penduduk
rupanya sudah tahu apa yang sedang terjadi. Mereka menyambut
Agus dan Pantja dengan hangat. Kadangkala beberapa anak-anak
yang sedang bermain lari ketakutan. Mungkin salah sangka melihat
benda di kedua sisi rakit yang mirip roket. Mungkin juga karena
wajah Agus dan Pantja yang serem karena terbakar.
Sepanjang pos yang dilalui tak henti-hentinya tangan
dilambaikan. "Untuk membalas lambaian tangan mereka sampai linu
rasanya," kata Agus dan Pantja. "Sementara dapat hiburan
karena dapat meneropong orang-orang yang sedang mandi," kata
Pantja berkelakar.
Menjelang Kabupaten Ngawi, Pantja melepaskan hajat besar. "Eh,
tengah asyiknya tiba-tiba serombongan manusia menyambut dengan
gegap-gempita, kata Pantja. Terpaksa urusan tadi dihentikan.
Kalau sudah ketemu tempat sepi rakit diparkir sebentar untuk
mengentengkan perut.
Mencapai Ujung Pangkah di muara Bangawan, timbul kesulitan
karena angin bertiup dengan gila. Layar robek. Padahal alat ini
dipersiapkan untuk melayari Selat Madura yang ombaknya tersohor
besar. Robeknya juga lucu, terjadi waktu memperagakan diri di
depan kamera TVRI yang sengaja datang untuk meng-cover.
Terpaksa jas hujan dikaryakan sebagai penggantinya.
Karena ombak hebat, rakit sempar terdampar di Mengaren, Teluk
Sao, Gresik. Beberapa koran harian sempat memberitakan rakit itu
hilang. Pengurus Primus jadi kelabakan. Segala usaha dkerahkan
untuk mencari. Tanggal 28 Januari, heli Airud dan kapal Kesatuan
Polisi 909 menemukannya di Tanjung Sembilan dalam keadaan
baik-baik. Pukul 17.54 pada hari yang sama -- tepat menurut
target --Joko Tingkir bersama kedua pemuda itu merapat di
dermaga Poras Surabaya. Disambut oleh pejabat-pejabat
pemerintahan setempat.
Agus dan Pantja tampak gembira dan sehat. Hanya kulit mereka
matang dibakar matahari. Keluarga Agus tak kelihatan, tapi
keluarga Pantja datang dengan 2 mobil. Pemuda yang kurus tinggi
ini tak banyak bicara, ketika seluruh anggota keluarga
merangkulnya. Seluruh anggota keluarga baru tahu petualangannya
setelah menjadi berita koran. "Saya sempat menangis
tersedu-sedu ketika mendengar rakit itu hilang," kata Sonya,
kakak Pantja. Pada dasarnya ibu Pantja sudah melarang anaknya
main selam dan camping.
Pantja adalah putra kelima dari 9 beraudara (3 laki dan 6
wanita). Ibunya kini sedang berada di California, Amerika
Serikat. Ayahnya almarhum, pensiunan dosen Sastra Inggris di
kampus Pantja sekarang. Sejak kecil, anak muda ini terkenal
nakal. "Kalau dia pergi dan bermalam di rumah temannya tak
mau bilang lebih dulu. Hingga memusingkan orang tua," kata
Sonya.
Agus, yang bertubuh kecil biasa dipanggil letnan di kampusnya,
juga tak punya ayah kandung lagi. Waktu kecil cucu seorang
nakoda ini tinggal bersama kakaknya di Samarinda. Di sana saban
hari ia tak pernah pisah dengan Sungai Mahakam. Dari sanalah ia
memperoleh ilmu membaca gerak dan arus air. Kini ia ikut dengan
ayah tirinya. Setiap pagi ia menempuh jarak 8 kilometer ke
kampus dengan sepeda. Dialah salah satu mahasiswa yang gigih
mempertahankan sepeda di kampus, setelah hampir semua mahasiswa
mempergunakan kendaraan bermotor. Bersama Pantja, ia terkenal
sebagai tokoh yang "nyentrik" dan suka bolos.
Menurut Sutrisno, Ketua Primus, kisah Joko Tingkir tidak akan
berakhir begitu saja. Ia menilai Agus dan Pantja telah berhasil.
"Saya salut atas ketahanan mental dan tekad mereka berdua,"
katanya. Menurut rencana, program Primus selanjutnya adalah
melepaskan Joko Tingkir dari Bengawan Solo ke ujung timur
(Blambangan -- Banyuwangi). Untuk itu Agus dan Pantja
merencanakan akan mencoba sistem kapiler atau tenaga matahari
untuk mendorong perahu agar berjalan.
Pantja dan Agus memang bukan orang pertama yang menaklukkan
Bengawan Solo. Tapi mereka termasuk yang menempuh jarak paling
jauh. Menurut Komandan Polisi Airud Surabaya, Kolonel Soedjarwo,
sekitar tahun 1956 pernah ada seorang Jerman dengan perahu karet
Canoe berhasil mengarungi Bengawan itu sampai ke muara. Dari
situ ia meneruskan petualangannya ke Kupang, lantas ketemu
Soedjarwo. Agus dan Pantja sendiri banyak mendengar cerita
tentang orang Jerman itu ketika menepi di Ngawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini