UPACARA pernikahan berjalan terus, sementara itu di luar sekitar 100 mahasiswa menyanyikan Halo-Halo, Bandung. Adakah Prof. Dr. Amudi Pasaribu, Rektor Universitas HKBP Nommensen, menikahkan putri sulungnya dengan upacara lain daripada yang lain, Jumat pekan lalu itu? Tentu saja tidak. Lihat saja di tangan mahasiswa belasan spanduk bernada protes atas kepemimpinan Amudi. Maka, upacara adat terpaksa diringkas. Kedua mempelai buru-buru diboyong ke Gereja HKBP, sekitar 5 km dari rumah Rektor, untuk diberkati dengan kawalan belasan polisi bersenjata. Sementara sejumlah petugas polisi yang lain menggiring mahasiswa yang semula bergerombol di depan rumah Rektor masuk ke dalam kampus -- rumah Rektor memang bersebelahan dengan kampus. Di kampus mahasiswa memajang spanduk di pagar dan dinding gedung. Isi protes memang keras. Salah satunya: Go to hell, Amudi! Ini memang cetusan rasa ketidakpuasan. Tampaknya, aksi ini kelanjutan aksi-aksi sebelumnya, yang meletus pertama kali di awal Juli lalu, ketika mahasiswa memprotes kenaikan uang kuliah (TEMPO 11 Juli). Kini topik protes bertambah, antara lain mahasiswa dongkol karena Amudi lebih banyak memberi beasiswa kepada anak-anak non-HKBP. Begitu juga untuk program pascasarjana. Padahal, dulu, 1954, universitas swasta keagamaan ini didirikan terutama untuk menampung anak-anak jemaat Gereja HKBP yang kurang mampu. "Anak jemaat kini seperti dianaktirikan," kata Simarmata, salah seorang mahasiswa yang aktif mengkritik kampusnya. Esoknya, protes berlanjut. Mereka menyoroti Rektor dianggap kerap melakukan tindakan berlebihan. Misalnya, ia membatalkan ujian 54 mahasiswa Fakultas Ekonomi pada periode 1 Juli sampai dengan 19 Agustus lalu. Pasalnya, Rektor menganggap ujian itu sudah melampaui batas waktu yang ditentukan, yakni Juni. Selain itu, mahasiswa kembali menuduh ada korupsi di kampus. Mereka menuding Amudi telah menyelewengkan pembelian tanah senilai Rp 356 juta. Mahasiswa mengaku punya bukti harga tanah sebenarnya hanya Rp 300 juta. "Sisanya, ke mana?" tanya Parlin, alumnus Fakultas Teknik. Sementara itu, Amudi merasa tak menyimpang dari misi HKBP. Menurut dia, yang mutlak harus anggota HKBP hanyalah jabatan rektor. Lainnya, tidak. "Lho, perguruan ini 'kan bersimbol Pro Deo et Pro Patria," kata ayah tiga anak itu. Itulah semboyan Universitas HKBP yang artinya "bagi Tuhan dan Ibu Pertiwi". Dan tambah Amudi, "Walau milik HKBP, universitas ini dibangun untuk masyarakat umum." Balik Rektor mengkritik aksi mahasiswa sebagai "bukan etik Kristen," katanya. Apa kata mahasiswa? Mereka bertekad untuk terus protes sampai ada perbaikan di kampus. "Jika perlu kami akan mogok makan," kata seorang tokoh pengunjuk rasa itu. Ephorus (Pengetua) HKBP, Dr. S.A.E. Nababan, tak bersedia menanggapi aksi mahasiswa. "Jangan tanya sekarang. Jangan," katanya, seraya meletakkan gagang telepon. Tampaknya, Pengetua HKBP yang suaranya harus didengar oleh lembaga-lembaga di bawah naungan Gereja ini belum bisa memberikan saran. Dewan Pengurus Yayasan Universitas yang mengadakan pertemuan dengan Rektor juga belum memberikan komentar. A.E. Manihuruk, Ketua Dewan, kepada TEMPO hanya mengatakan, korupsi yang dituduhkan oleh mahasiswa tidak benar. Universitas yang berangkat dengan tiga fakultas (Theologia, Ekonomi, dan Hukum) dengan hanya 36 mahasiswa kini memang berkembang: ada tujuh fakultas dengan 12.000 mahasiswa. Dan, termasuk salah satu yang favorit di Medan. Bersihar Lubis & Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini