"SAYA kepingin jadi psikolog anak," kata Mira Damayanti. Nanti kepingin kawin tidak ? "Ya, dong," kata siswa sebuah SMA di Jakarta itu. Dialog tersebut mengawali seminar sehari yang diselenggarakan oleh OSIS SMAK Sang Timur, Jakarta, Selasa pekan lalu. Lebih dari 500 siswa mewakili 60 SMA di Jakarta dengan antusias mengikuti seminar di Gedung Granada milik Veteran RI itu. Inilah seminar dengan niat yang jarang: mencoba meluaskan horison pemikiran siswa SMA bahwa perguruan tinggi bukan satu-satunya yang menentukan masa depan. Wawancara dengan Mira bukan cuma upaya agar suasana seminar segar. Sarlito Wirawan, doktor psikologi yang suka membahas masalah remaja dan pendidikan, pembicara utama dalam seminar itu, rupanya ingin membuktikan bahwa cita-cita para remaja umumnya senada: ingin jadi sarjana, lalu bekerja, kawin, dan punya anak. Dilengkapi data-data yang disorotkan ke layar, psikolog ini menyimpulkan kecilnya kemungkinan seorang lulusan SMA diterima di perguruan tinggi. Sebab, kursi di perguruan tinggi tak bisa lagi menampung semua lulusan SMA. "Dulu rapor SMA saya banyak merahnya, tapi saya diterima di tiga perguruan tinggi," kata Sarlito, kini 43 tahun, yang lulus SMA di awal 1960-an, ketika ledakan lulusan SMA belum seperti sekarang. Sampai awal 1970-an lulusan SMA hanya sekitar 70.000. Tahun ini, peserta tes masuk perguruan tinggi negeri hampir 700.000, sementara daya tampung perguruan tinggi itu hanya sekitar 10%. Memang ada swasta, tapi uang kuliah mahal. "Jangan ngotot untuk menjadi dokter, jika kemampuan untuk itu tidak ada. Jadilah pengusaha atau petenis profesional, misalnya," kata Sarlito. "Untuk menjadi orang terkenal tak harus menjadi ahli hukum, karena bisa dicapai lewat penyanyi atau penulis buku." Yang menarik, usai ceramah, Sarlito mengedarkan angket. Pertanyaan antara lain, apa yang ingin dicapai dalam hidup ini, bagaimana mencapai tujuan itu. Sayang sekali, waktu yang diberikan 30 menit untuk mengisi angket itu tak terpenuhi oleh peserta seminar. TEMPO mencoba menyebarkan angket Sarlito secara acak di Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, sekadar mendapatkan data dari tangan pertama. Menarik, dari lima belas remaja SMA yang mengisi angket, cuma satu yang bercita-cita menjadi penyanyi dan menyebarkan agama yakni Widodo, siswa SMA Sejahtera, Surabaya. Bila hampir semua yang mengisl angket menyebut-nyebut universitas sebagai tempat studi, siswa satu ini mengatakan pentingnya mempelajari biografi para rocker. Tampaknya, Widodo pengagum Rhoma Irama. Satu lagi yang menyebal dari kecenderungan umum, seorang Dyah Wikantyasih dari Yogyakarta. Ia tak menyebut universitas, tapi belajar sendiri ditambah berbagai kursus adalah jalan menimba ilmu bagi Dyah. Lalu, hampir semuanya memandang kepandaian dan berguna bagi orang lain sebagai cita-cita mulia. Seorang siswa, Ria dari SMAN V Surabaya, memang bercita-cita kaya-raya, tapi itu "untuk menolong sesama." Mungkin ini kebetulan, 15 siswa itu punya kesadaran sosial tinggi. Empat tahun lalu TEMPO menyebarkan angket, dan lebih dari 80 responden, siswa SMA, menyebut perguruan tinggi sebagai cita-cita utama. Untuk apa? Lebih dari 60% menjawab demi status. Ini tentu bukan hal yang menggembirakan. Karena itu, upaya yang dimotori oleh SMA swasta ini, Sarlito, dan Alex Paat, pastor yang ahli pendidikan, perlu dan menarik. Dan Sarlito sudah merencanakan acara serupa di SMAN I Bogor, bulan depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini