Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengatakan pandangan subsidi silang dalam Uang Kuliah Tunggal (UKT), tidak tepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam pandangan subsidi silang, mahasiswa yang mampu secara ekonomi akan membayar biaya UKT lebih tinggi ketimbang masyarakat kurang mampu. Ini supaya kelebihan tarifnya akan membantu masyarakat kurang mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sehingga, UKT mahasiswa kurang mampu bisa mencapai Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditetapkan pemerintah. BKT merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri. BKT ini yang menjadi dasar pertimbangan kampus menentukan UKT.
Namun, Tjitjik mengatakan, pandangan itu kurang tepat. Mahasiswa mampu yang mendapatkan UKT kelompok terakhir artinya membiayai biaya secara mandiri. Ia tak membantu mahasiswa kurang mampu.
"Mahasiswa kaya mensubsidi mahasiwa kurang mampu ya tidak juga. Karena apa? Ini BKT, kebutuhan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu tahun. Kalau mahasiswa mendapatkan UKT tertinggi, artinya dia mandiri. Dia tak disubsidi dari pemerintah," kata Tjitjik saat ditemui di ruang kerjanya, gedung Kemendikbudristek, Senin, 13 Mei 2024..
Tjitjik mengatakan, pembiayaan perguruan tinggi menganut sistem gotong royong. Artinya, pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk membiayai perguruan tinggi. Dalam hal ini, mahasiswa ikut membantu dengan membayar UKT.
Sistem gotong royong ini karena pemerintah memiliki dana terbatas untuk memberikan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN adalah bantuan biaya dari pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri untuk dapat membiayai kekurangan biaya operasional pendidikan.
Ia mengatakan, BOPTN tidak mampu menutupi semua BKT. Tjitjik mencontohkan, program studi sejarah memiliki BKT sebesar 14 juta per tahun. Pemerintah hanya bisa memberikan BOPTN sebesar 28 persen. Untuk menutupi bantuan dari pemerintah, kampus mencari sumber dana dari mahasiswa.
“Sekarang kalau kemudian pemerintah itu mampu BOPTN mengcover 28 persen dari BKT, yang 72 persen siapa? Tentunya kita perlu gotong royong dari masyarakat. Yaitu masyarakat yang mampu secara ekonomi,” kata Tjitjik.