Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Kemendikbudristek Nilai Pandangan Subsidi Silang dalam UKT Tidak Tepat

Mahasiswa mampu yang mendapatkan UKT kelompok terakhir artinya membiayai biaya secara mandiri. Ia tak membantu mahasiswa kurang mampu.

17 Mei 2024 | 10.16 WIB

Mahasiwa Universitas Riau (Unri) kenakan almamater biru laut lakukan aksi unjuk rasa mengenai uang kuliah tunggal atau UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di depan Gedung Rektorat Unri pada Selasa, 14 Mei 2024. Foto: Karunia Putri / TEMPO
Perbesar
Mahasiwa Universitas Riau (Unri) kenakan almamater biru laut lakukan aksi unjuk rasa mengenai uang kuliah tunggal atau UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di depan Gedung Rektorat Unri pada Selasa, 14 Mei 2024. Foto: Karunia Putri / TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengatakan pandangan subsidi silang dalam Uang Kuliah Tunggal (UKT), tidak tepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dalam pandangan subsidi silang, mahasiswa yang mampu secara ekonomi akan membayar biaya UKT lebih tinggi ketimbang masyarakat kurang mampu. Ini supaya kelebihan tarifnya akan membantu masyarakat kurang mampu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehingga, UKT mahasiswa kurang mampu bisa mencapai Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditetapkan pemerintah. BKT merupakan keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi di perguruan tinggi negeri. BKT ini yang menjadi dasar pertimbangan kampus menentukan UKT.

Namun, Tjitjik mengatakan, pandangan itu kurang tepat. Mahasiswa mampu yang mendapatkan UKT kelompok terakhir artinya membiayai biaya secara mandiri. Ia tak membantu mahasiswa kurang mampu. 

"Mahasiswa kaya mensubsidi mahasiwa kurang mampu ya tidak juga. Karena apa? Ini BKT, kebutuhan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu tahun. Kalau mahasiswa mendapatkan UKT tertinggi, artinya dia mandiri. Dia tak disubsidi dari pemerintah," kata Tjitjik saat ditemui di ruang kerjanya, gedung Kemendikbudristek, Senin, 13 Mei 2024.. 

Tjitjik mengatakan, pembiayaan perguruan tinggi menganut sistem gotong royong. Artinya, pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk membiayai perguruan tinggi. Dalam hal ini, mahasiswa ikut membantu dengan membayar UKT. 

Sistem gotong royong ini karena pemerintah memiliki dana terbatas untuk memberikan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN adalah bantuan biaya dari pemerintah yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri untuk dapat membiayai kekurangan biaya operasional pendidikan.

Ia mengatakan, BOPTN tidak mampu menutupi semua BKT. Tjitjik mencontohkan, program studi sejarah memiliki BKT sebesar 14 juta per tahun. Pemerintah hanya bisa memberikan BOPTN sebesar 28 persen. Untuk menutupi bantuan dari pemerintah, kampus mencari sumber dana dari mahasiswa.

“Sekarang kalau kemudian pemerintah itu mampu BOPTN mengcover 28 persen dari BKT, yang 72 persen siapa? Tentunya kita perlu gotong royong dari masyarakat. Yaitu masyarakat yang mampu secara ekonomi,” kata Tjitjik.

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus