Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi akan membuat SMA Unggulan Garuda.
Presiden Prabowo Subianto ingin setiap anak mendapatkan akses ekosistem sains dan teknologi yang berkualitas.
Pegiat meminta pemerintah membuat peta jalan sekolah unggulan agar tidak menimbulkan kesenjangan antarsiswa di masyarakat.
KEMENTERIAN Pendidian Tinggi, Riset, dan Teknologi berencana membangun SMA Unggulan Garuda pada tahun ini. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie mengatakan sekolah ini akan mendatangkan guru dari luar negeri untuk mengajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Stella, guru dari luar negeri itu hanya akan memberikan wawasan bagi siswa agar bisa menempuh pendidikan di universitas top dunia. “Mayoritas pengajar SMA Unggulan Garuda juga guru nasional,” ujar Stella di Jakarta pada Rabu, 8 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stella mengatakan Presiden Prabowo Subianto ingin setiap anak mendapatkan akses ekosistem sains dan teknologi yang berkualitas. Tujuannya untuk memberikan peluang lebih besar bagi setiap peserta didik agar bisa masuk ke universitas unggulan, termasuk ke kampus-kampus top dunia.
Pemerintah ingin ada 40 sekolah unggulan hingga 2029. Sekolah unggulan itu terdiri atas 20 SMA Unggulan Garuda dengan gedung baru dan 20 SMA eksisting yang akan ditingkatkan menjadi sekolah unggulan. Pada 2025, pemerintah menargetkan membangun empat SMA Unggulan Garuda baru di empat wilayah, yakni Ibu Kota Nusantara, Nusa Tenggara Timur, Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara. Setelah itu, pemerintah akan mulai membangun gedung-gedung lain di sejumlah wilayah.
Pemilihan wilayah tersebut berdasarkan sejumlah pertimbangan. Stella menjelaskan, pertimbangannya antara lain jauh dari kota provinsi dan tidak ada sekolah unggulan. “Ini agar ada akses pemerataan,” tutur Stella.
Stella menjelaskan, SMA Unggulan Garuda ini akan menggunakan kurikulum International Baccalaureate (IB). Dia mengklaim kurikulum ini memberikan 30 persen peluang lebih besar dibanding kurikulum lain bagi siswa untuk masuk ke universitas top dunia. Kurikulum IB berfokus pada siswa usia 3-19 tahun melalui cara belajar, kekuatan, dan tantangan.
Kurikulum Indonesia, menurut dia, secara konten memang memiliki banyak kelebihan. Namun kurikulum Indonesia tidak dikenal oleh universitas-universitas ternama dunia. "Kurikulum IB kami pertimbangkan secara mendalam dan akan dipakai. Sekali lagi, ini bukan karena soal luar negeri. Tapi ini untuk mencapai tujuan," ujar Stella. Dia mengatakan kurikulum IB juga akan memasukkan muatan lokal, misalnya mata pelajaran agama dan ekstrakurikuler lokal. "Jadi, menggabungkan kurikulum IB dan nasional."
Tempo memperoleh salinan dokumen presentasi mengenai konsep SMA Unggulan Garuda. Menurut isi dua dokumen tersebut, setiap satu SMA Unggulan Garuda akan memiliki total 480 siswa. Sekolah ini menerapkan tiga jalur penerimaan, yaitu jalur afirmasi, jalur reguler, dan jalur paralel.
Jalur afirmasi diberikan untuk keluarga prasejahtera dengan kuota 30 persen dari total jumlah siswa. Jalur reguler memberikan beasiswa kepada murid berprestasi. Anak yang lolos jalur ini juga akan mendapatkan beasiswa studi. Kuotanya sebesar 50 persen. Jalur terakhir yaitu paralel yang merupakan jalur mandiri. Jalur ini khusus untuk anak dari keluarga mampu. Mereka akan membayar biaya sekolah, asrama, dan keperluan lainnya. Kuotanya 20 persen.
Dokumen itu juga menunjukkan rencana anggaran untuk membangun satu gedung SMA Unggulan Garuda. Perkiraan anggaran sebesar Rp 200 miliar. Menurut isi dokumen itu pula, terdapat alokasi anggaran untuk menggaji guru asing hingga guru lokal. Kementerian Pendidikan Tinggi belum mengkonfirmasi dokumen ini.
Rencana pemerintah itu mendapat tanggapan berbeda dari para guru. Eka, Ketua Ikatan Guru Sertifikasi Swasta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), mengatakan tidak sepakat pemerintah mengundang guru dari luar negeri untuk mengajar di SMA Unggulan Garuda. “Kompetensi guru swasta sama dengan guru-guru pegawai negeri sipil,” ujar guru di salah satu sekolah swasta di Banten ini pada Senin, 13 Januari 2025.
Eka mengatakan guru swasta lokal bisa lebih berkompeten dan kreatif untuk mengajar murid-murid. Masalahnya, pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan guru swasta. Menurut dia, pemerintah lebih memperhatikan guru PNS. “Ironis, sekarang ini justru ingin mendatangkan guru asing,” ujarnya.
Eka adalah salah satu guru yang mengikuti PLPG pada 2008-2017. Berdasarkan data Ikatan Guru Sertifikasi Swasta, jumlah guru yang mengikuti PLPG mencapai 1.000 orang. PLPG merupakan program sertifikasi guru sebelum ada program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
PLPG memberikan kesempatan kepada guru swasta untuk mendapatkan sertifikasi. Mereka mendapatkan pelatihan selama 10 hari dengan materi pedagogi (ilmu pendidikan) dan pembelajaran. Syarat mengikuti PLPG adalah berpengalaman mengajar minimal tujuh tahun.
Setelah berganti nama menjadi PPG, mereka malah kesulitan mendapatkan akses kesejahteraan. Eka mengatakan istilah PLPG kadang tidak dianggap sebagai syarat mendaftar calon pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Walhasil, kata Eka, banyak lulusan PLPG tidak bisa mendaftar. “Padahal, yang ikut PLPG itu sudah mengabdi puluhan tahun. Bahkan sudah ada yang mau pensiun tapi tak bisa mendaftar,” kata Eka.
Eka menilai, ketimbang membuat sekolah unggulan, lebih baik memperhatikan kesejahteraan para guru. “Banyak guru swasta yang belum mendapatkan kesejahteraan sampai saat ini,” kata Eka.
Dekan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan mengapresiasi rencana pemerintah membangun sekolah unggulan. Dia berharap pembentukan sekolah unggulan demi menciptakan standardisasi pendidikan sehingga semua sekolah menjadi unggulan.
Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, Cecep Darmawan. Dok. cecepdarmawan.com
Menurut dia, membangun sekolah unggulan bisa dari segi sarana-prasarana hingga guru. "Standar pendidikan itu harus unggul semua, sehingga tidak terjadi disparitas satu sekolah dengan sekolah lain,” ujar Cecep saat dihubungi pada Senin, 13 Januari 2025.
Untuk mencapai hal itu, kata Cecep, pemerintah perlu membuat perencanaan matang. Pemerintah harus membuat road map atau peta jalan pendidikan, sehingga semua SMA menjadi unggulan. Pemerintah juga perlu memberikan definisi unggulan dalam peta jalan tersebut. Penyusunan peta jalan berdasarkan kebijakan yang berbasis pada riset dan melibatkan ahli.
Cecep menuturkan, pemerintah perlu membuat standardisasi pendidikan agar semua sekolah menjadi unggul. Standardisasi itu bisa dimulai dari pendanaan, guru, hingga sarana-prasarana. “Hal ini supaya tidak terjadi disparitas antara satu sekolah dan sekolah lain,” ujarnya.
Ihwal penerapan kurikulum IB dalam SMA Unggulan Garuda, Cecep tak mempermasalahkan. Dia mengingatkan bahwa kurikulum nasional tetap harus dirujuk. Sebab, tujuan pendidikan bukan hanya mencerdaskan siswa, tapi juga mengembangkan karakter.
Kendati begitu, Cecep mengkritik rencana SMA Unggulan Garuda mengundang tenaga pendidik asing untuk mengajar. Menurut dia, masih banyak guru nasional yang memiliki kemampuan unggul sehingga tidak perlu mendatangkan guru asing. “Kecuali tidak ada guru nasional yang bermutu, mungkin bisa mendatangkan guru asing,” kata Cecep.
Cecep menjelaskan, Kementerian Pendidkan Tinggi tidak berwenang membangun sekolah menengah. Pembangunan SMA menjadi kewenangan pemerintah provinsi. “Kalau pemerintah pusat memberi bantuan, silakan,” ujarnya.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru Iman Zanatul Haeri menilai SMA Unggulan Garuda memiliki kelebihan untuk memberikan fasilitas bagi anak cerdas istimewa berbakat istimewa (CIBI). Menurut dia, kemampuan anak CIBI selama ini kurang bisa difasilitasi sekolah umum. “Kelebihan sekolah unggulan ini bisa memberikan akses bagi anak CIBI,” ujar Iman saat dihubungi pada Senin, 13 Januari 2025.
Namun, Iman mempertanyakan kompetensi sekolah ini dalam menerima peserta didik. Menurut dia, kuota jalur afirmasi perlu dipertegas agar sekolah tersebut dapat dijangkau oleh anak dari kelompok ekonomi menengah bawah. Dia menilai sistem penerimaan peserta didik baru sekolah unggulan harus lebih transparan dan akuntabel. "Jangan sampai hanya bisa dijangkau anak dengan ekonomi istimewa.”
Iman menegaskan, program unggulan ini harus memperhitungkan keberlanjutan. Bila program ini selesai dalam waktu lima tahun, pemerintah tidak boleh lepas tangan dalam pembiayaan. Sebab, tanpa peran negara, sekolah unggul ini akan menjadi mahal. “Karena unggul dari segi fasilitas, pembiayaan pasti tinggi,” kata Iman.
Dosen kurikulum dan teknologi pendidikan di Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengatakan program SMA Unggulan Garuda perlu dikaji ulang. Menurut dia, ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan, dari dasar pemikiran, konsep program, hingga pertimbangan kondisi di lapangan yang berhubungan dengan SMA negeri. "Jika yang diinginkan adalah menghasilkan siswa yang mampu masuk ke kampus-kampus bereputasi dunia di luar negeri, apakah tidak lebih efisien jika bertumpu pada SMA-SMA yang ada sekarang?" ujar Edi.
Dosen kurikulum dan teknologi pendidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan. Dok. Unnes
Edi menyoroti keberadaan sekolah unggulan yang dinilai lebih banyak mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang sekolah lainnya. Dia mencontohkan ketika masih ada program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) pada 2006. Belakangan, RSBI dihapus pada 8 Januari 2013. Pembubaran ini diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kala itu, RSBI dihentikan karena adanya ketidakadilan dan ketimpangan.
Menurut Edi, saat itu RSBI justru memperoleh dukungan dari sisi pendanaan dibanding sekolah biasa. Padahal siswanya sama-sama warga negara Indonesia yang membutuhkan dukungan dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Jika secara teknis SMA unggulan itu nanti sama dengan RSBI, kata Edi, hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sehingga harus batal demi hukum.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menilai rencana pembentukan SMA Unggulan Garuda akan menciptakan masalah baru. Menurut dia, program tersebut akan menimbulkan kesenjangan antara siswa unggulan dan siswa bukan unggulan. Ia menilai akan ada stigma kelas dengan anak-anak bodoh, kelas dengan anak-anak orang kaya, atau kelas dengan anak-anak orang miskin. "Ini kita kayak kembali sekolah di era kolonial,” ujar Ubaid saat dihubungi, Senin, 13 Januari 2025.
Menurut Ubaid, keadaan itu akan memperparah kondisi kesenjangan kualitas pendidikan, terutama antara siswa di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Akibatnya, rencana program itu malah akan menguatkan kesan diskriminatif. Padahal, kata Ubaid, menurut amanat konstitusi, setiap anak punya kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Dia menegaskan, sudah menjadi tugas pemerintah menyediakan pendidikan yang berkualitas. “Kalau ada sekolah yang belum berkualitas, tugas pemerintah adalah mendampingi, meningkatkan, mengembangkan, dan menguatkan agar mutunya terus meningkat dari tahun ke tahun,” kata Ubaid.
Ubaid menilai pendirian SMA Unggulan Garuda perlu dikaji ulang. Sebab, hal itu hanya menguatkan diskriminasi serta stigmatisasi antara sekolah unggulan dan tidak. “Kehadirannya justru memperparah kesenjangan kualitas antarsekolah,” kata Ubaid.
Adapun Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan ia membuka peluang bagi pengajar dari luar maupun dalam negeri untuk menjadi guru di SMA Unggulan Garuda. Ia mengatakan Kementerian Pendidikan Tinggi masih akan mempertimbangkan lebih lanjut sebelum menentukan opsi terbaik. “Tergantung mana yang terbaik saja. Luar (negeri) bisa, dalam (negeri) bisa,” ujarnya saat ditemui di kantor BKKBN, Jakarta Timur, pada Senin, 13 Januari 2025. ●
M. Rizki Yusrial dan Hanin Marwah berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo