Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ombudsman menduga Undang-Undang KPK cacat hukum.
Penyebabnya: pembahasan revisi tidak melibatkan partisipasi publik.
Sejak awal, revisi sarat kejanggalan dan dilakukan sangat cepat.
OMBUDSMAN Republik Indonesia menduga Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hasil revisi cacat hukum. Kesimpulan awal itu dikuatkan bukti bahwa pembahasan hingga pengesahan rancangan undang-undang ditengarai tidak melibatkan partisipasi publik. "Perlu ada partisipasi masyarakat, yaitu pelibatan publik, dalam rangka proses politik sebelum RUU digolkan. Asumsi kami, proses itu tidak ada," kata anggota Ombudsman, Adrianus Meliala, pada Rabu, 1 Januari lalu.
Menurut dia, Ombudsman sudah meminta berita acara pertemuan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat untuk mengklarifikasi dugaan tersebut sejak pertengahan Desember 2019. Namun Ombudsman tak kunjung mendapat jawaban. Tim Ombudsman juga mendatangi Komisi Hukum DPR, yang membahas revisi undang-undang. Tapi, ujar Adrianus, tak ada satu pun anggota Komisi Hukum yang mau menemui tim.
Ombudsman menyelidiki dugaan kejanggalan dalam pembahasan dan revisi Undang-Undang KPK ini setelah menerima laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi pada Desember 2019. Koalisi juga mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Mahkamah Konstitusi. Proses uji materi ini masih berlangsung di Mahkamah.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dari Indonesian Parliamentary Center, Sulastio, mengatakan setiap penyusunan peraturan perundang-undangan harus melalui tahap partisipasi publik. “Ketiadaan aspirasi publik dalam pembahasan undang-undang membuat masyarakat seakan-akan dipaksa menaati regulasi,” ucapnya.
Adapun anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengklaim sudah menjaring usul masyarakat saat pembahasan revisi Undang-Undang KPK. Ia berdalih rencana revisi itu tidak serta-merta muncul pada September 2019. Menurut dia, rencana revisi dibahas sejak 2012.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Video capture KRI Tjiptadi-381 yang beroperasi di bawah kendali Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmada I menghalau kapal Coast Guard China saat melakukan patroli di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, 30 Desember 2019. ANTARA/Dispen Koarmada I
Kapal Cina Masuk Natuna
SEJUMLAH kapal asal Cina terdeteksi masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kawasan utara Natuna, Kepulauan Riau, sejak Desember 2019. Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman mengatakan, hingga Jumat pagi, 3 Januari lalu, masih ada 30 kapal berlayar di ZEE Indonesia.
Menurut Achmad, pada Selasa, 10 Desember 2019, kapal penjaga pantai milik Cina masuk ke perairan utara Natuna. Pada 23 Desember, kapal itu masuk lagi bersama kapal ikan asal Cina. "Kami melihat ada dua kapal coast guard dan satu fregat, jadi kami hanya membayangi ," kata Direktur Operasi Laut Bakamla Nursyawal Embun seusai rapat koordinasi membahas manuver Cina tersebut, Jumat, 3 Januari lalu.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan pemerintah Indonesia menolak mengakui klaim Cina atas perairan Natuna Utara. Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, mengatakan negaranya memiliki hak historis di Laut Cina Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus PDIP Didakwa Terima Suap
ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, I Nyoman Dhamantra, didakwa menerima suap Rp 2 miliar. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Takdir Suhan, mengatakan suap itu diduga diberikan pengusaha Chandry Suanda, Dody Wahyudi, dan Zulfikar agar Nyoman mengupayakan pengurusan surat persetujuan impor di Kementerian Perdagangan dan rekomendasi impor produk hortikultura di Kementerian Pertanian.
Menurut Takdir, tujuan suap itu Nyoman memuluskan rencana Chandry mengimpor bawang putih. Sebagai komisi, Nyoman dan dua terdakwa lain, yaitu Mirawati dan Elviyanto, bakal menerima Rp 3,5 miliar.
Nyoman menyatakan akan mengajukan eksepsi. “Banyak hal yang menurut saya informasinya tidak sesuai dengan fakta yang ada,” katanya.
Mahasiswa Kendari Dibacok Diduga Terkait dengan Demo
DUA orang tak dikenal membacok kepala Muhammad Iksan, mahasiswa Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo, Kendari, dengan parang di depan halaman gedung kampusnya pada Kamis siang, 2 Januari lalu. Meski mendapat 15 jahitan di kepala kanannya, Iksan selamat.
Sebelum kejadian itu, pada hari yang sama Iksan ikut dalam unjuk rasa Ikatan Mahasiswa Kehutanan Se-Indonesia (Sylva) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara. Demonstrasi itu memprotes penambangan suatu perusahaan nikel yang beroperasi di Morombo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, yang diduga melanggar aturan karena dilakukan di kawasan hutan.
Koordinator Lapangan Sylva, Muhammad Adriansyah, mengungkapkan, sebelumnya, sejumlah orang dari perusahaan mendatanginya dan memintanya tidak berdemonstrasi. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Yati Andriyani meminta polisi mengusut tuntas kasus ini. "Pelaku harus diungkap sampai aktor penanggungjawabnya, siapa yang menyuruh, siapa yang membiayai," tutur Yati.
Emirsyah Satar. TEMPO/Imam Sukamto
Bekas Bos Garuda Didakwa Pencucian Uang
BEKAS Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Emirsyah Satar, didakwa menerima suap sebesar Rp 46 miliar dari pendiri PT Mukti Rekso Abadi, Soetikno Soedarjo. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Wawan Yunawarto mengatakan duit itu diberikan agar Emirsyah membantu Soetikno merealisasi proyek perawatan dan pengadaan pesawat.
“Sejumlah proyek pengadaan dan perawatan itu terjadi saat Emirsyah menjabat Direktur Utama pada 2005-2014,” ujar Wawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 30 Desember 2019. KPK juga menjerat Emir dengan pasal pencucian uang. Pencucian uang diduga dilakukan Emir antara lain dengan menitipkan US$ 1,458 juta ke rekening atas nama Soetikno Soedarjo di Standard Chartered Bank.
Emir mengatakan dakwaan itu tak sepenuhnya benar. "Saya minta maaf, persahabatan saya memicu perbuatan yang khilaf," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo