Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Borgol untuk Jenazah

Tiga terduga teroris di Yogyakarta tewas saat dilumpuhkan polisi. Saksi mata melihat ada kejanggalan.

14 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUDI sedang mengotak-atik telepon selulernya di depan Warung Sate Kambing Ngaglik miliknya yang terletak di Jalan Kaliurang Kilometer 10, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, ketika dua pria berboncengan tersungkur dari sepeda motor tak jauh dari tempatnya duduk. Seorang pria bertubuh gempal, berjenggot tipis, dan berambut ikal ambruk tepat di depan tempat pembakaran sate. Pria lain terkapar sekitar lima meter di belakang pria gempal dengan kepala masih terbenam dalam helm hijau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada saat itu juga, sekitar pukul 17.30, Sabtu, 14 Juli lalu, Budi langsung bangkit dari duduknya hendak menolong pria gempal yang lebih dekat ke arahnya. Semula Budi mengira kedua orang itu mengalami kecelakaan. Belum juga Budi mendekat, pistol menyalak dari kejauhan. "Polisi mengeluarkan tembakan peringatan dan berteriak agar saya segera masuk ke warung," kata Budi, Kamis pekan lalu, menceritakan kembali kejadian yang disaksikannya dua bulan lalu itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Budi, 56 tahun, si pria gempal kemudian bangkit, lalu menyabetkan parang ke petugas Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI yang mengepungnya. Dari jarak sekitar lima meter, polisi menembak pria itu. Si pria gempal langsung roboh.

Setelah diterjang timah panas, pria tersebut berusaha bangun. Dalam posisi masih duduk di aspal, ia disambar peluru lagi. Polisi memberondongnya dengan empat tembakan. "Dua peluru meleset kena kaca, dua lagi pasti kena di badan terduga teroris itu," ujar Budi.

Saksi mata lain, Abdul, petugas keamanan di sebuah kantor di dekat lokasi kejadian, menceritakan bahwa pria gempal itu hanya menenteng parang dan tak sempat mengayunkannya ke arah polisi. Tak ada polisi yang terluka, tapi petugas kontan menembaknya. "Ditembak, jatuh, bangun separuh badan, lalu ditembak lagi," ucap Abdul.

Setelah polisi melumpuhkan si pria gempal, perhatian Budi tertuju pada pria berhelm hijau. Begitu polisi mendekat, pria ini langsung bangun dan lari sekencang-kencangnya ke arah kantor Kecamatan Ngaglik, yang persis berhadapan-hadapan dengan warung sate Budi. Senjata polisi kembali meletus. Pria berhelm itu langsung ambruk.

Menurut Budi, kedua terduga teroris itu masih hidup setelah ditembak. Ia melihat kelopak mata mereka berkedut. Sesudah penembakan, polisi memborgol tangan mereka saat akan dibawa dari tempat kejadian perkara. "Kalau tewas, ngapain harus diborgol?" katanya.

Drama tak berhenti di Kilometer 10. Personel Densus 88 memburu kawan pria gempal dan pria berhelm hijau yang kabur ke arah selatan Jalan Kaliurang. Dua orang ini juga berboncengan menggunakan sepeda motor. Tak sampai satu kilometer, salah seorang dari mereka turun, lalu membajak truk berpelat nomor AB-8014-BR. Seorang lagi kabur dan menjadi buron sampai sekarang.

Terduga teroris yang membajak truk memacu kendaraan itu ke permukiman penduduk. Alih-alih menemukan jalan pintas, truk dengan bak warna putih tersebut malah dihadang jalan buntu, lalu menabrak pohon. Ia melompat dari truk, kemudian lari dan masuk ke rumah salah seorang warga tak jauh dari situ. Pemilik rumah, Sulis Khusnul Qotimah, 35 tahun, ditawan dengan dikalungi celurit.

Sulis lolos satu jam kemudian karena meronta-ronta. "Kakak saya ketakutan karena tiba-tiba dikalungi celurit di lehernya," ujar Biworo, adik Sulis. Polisi lantas mengepung rumah tersebut begitu Sulis selamat dari penyanderaan. Sejumlah polisi merangsek dan menembaki rumah bercat kuning itu.

Tiga jam setelah penembakan, Tempo menengok kondisi di dalam rumah. Kaca jendela dan perabot rumah pecah berhamburan di ubin. Tak ada bercak darah setitik pun, meski waktu itu polisi memberondong terduga teroris dari luar rumah.

Genangan darah baru ditemukan tak jauh dari truk yang ditinggalkan karena menabrak pohon. Tak ada seorang pun warga di sekitar rumah itu yang bersedia menceritakan ulang peristiwa pengepungan. "Kalau mau wawancara, silakan menghubungi Polda Yogyakarta dulu," kata seorang warga yang enggan menyebutkan namanya.

Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengatakan tiga terduga teroris yang ditembak di Jalan Kaliurang itu terhubung dengan jaringan Jamaah Ansharut Khilafah. Kelompok ini bagian dari Jamaah Ansharud Daulah yang dipimpin Aman Abdurrahman, yang berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Identitas salah seorang terduga teroris yang ditembak di depan warung sate Budi mulai terang setelah polisi mendatangi bengkel mebel Jovincokependekan dari Jogja Vintage Corner. Ketua rukun tetangga setempat, Jupriyadi, mengatakan polisi mendatangi bengkel itu karena pemiliknya, Ghaniy Ridhianto, adalah salah satu terduga teroris yang ditembak di Jalan Kaliurang. Kepada Jupriyadi, salah seorang polisi yang menggeledah rumah Ghaniy mengatakan Ghaniy ditembak di bagian rahang.

Menurut Jupriyadi, Ghaniy diincar polisi sejak tahun lalu. Polisi pernah memberi tahu Jupriyadi saat hendak memasang kamera pengawas (CCTV) di sekitar rumah Ghaniy.

Tetangga Ghaniy, Sudiyah, mengatakan pernah menyambangi bengkel tersebut. Jarak rumah Sudiyah dan bengkel Ghaniy sekitar 30 meter. Ia mengaku melihat tulisan "Kafir Tembak" di salah satu dinding rumah. "Tulisan itu dikelilingi gambar lingkaran dan panah kecil," tutur Sudiyah.

Kecurigaan Sudiyah terhadap tetangganya bertambah-tambah karena ia sering mendengar bunyi mendedas mirip senapan dari arah rumah Ghaniy. "Sering ada suara dar-der-dor dari bengkel dia," katanya. "Saya juga pernah lihat dia memperbaiki senapan angin."

Juru bicara Kepolisian Daerah Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Yulianto, mengatakan ketiga terduga teroris ditembak karena sempat membahayakan petugas. Yulianto tak bersedia membeberkan kondisi jasad ketiganya. "Silakan kontak Densus 88," ujarnya.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo menjelaskan, penggunaan kekuatan oleh personel di lapangan sudah sesuai dengan aturan. Polri, kata dia, akan menghukum anggotanya yang terbukti menyalahgunakan wewenang dan melanggar prosedur penangkapan. "Ada tindakan disiplin dan bisa dihadapkan pada sidang etik," ucapnya.

Raymundus Rikang (Jakarta), Abdus Somad, Pribadi Wicaksono, Shinta Maharani (Yogyakarta)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus