Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi menyematkan pangkat kehormatan Jenderal TNI kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Jokowi memberikan gelar istimewa bintang empat tersebut di Mabes TNI di kawasan Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu, 28 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemberian gelar kehormatan itu dipertanyakan sejumlah pihak. Pakar militer Beni Sukadis mengatakan tanda kehormatan bagi Prabowo perlu dikaji ulang. Sebab, di mata sejumlah masyarakat sipil di Indonesia, Prabowo masih dianggap bertanggung jawab atas dugaan kasus pelanggaran HAM di penghujung Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia ini mengatakan hal tersebut menunjukan pemberian pangkat kehormatan perlu dikaji ulang secara lebih cermat. “Apakah memang tepat atau hanya bagian dari upaya Jokowi untuk tetap memiliki pengaruh terhadap Prabowo sebagai presiden terpilih,” kata Beni saat dihubungi pada Selasa, 27 Februari 2024.
Karier Militer Prabowo
Prabowo Subianto merupakan Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden nomor urut 02. Pria kelahiran Jakarta, 17 Oktober 1951, ini mengawali karier militernya di TNI Angkatan Darat pada 1974 sebagai letnan dua yang lulus dari AKABRI Darat di Magelang.
Dari 1976 sampai 1985, Prabowo menjalani tugasnya di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), yang merupakan sebuah unit pasukan khusus yang menjadi bagian dari Angkatan Darat pada masa itu. Saat usianya 26 tahun, Prabowo menjadi komandan pleton termuda dalam operasi Tim Nanggala di Timor Timur.
Ia juga mengambil peran dalam memimpin misi penangkapan Nicolau dos Reis Lobato, yang menjadi pemimpin Fretilin pada saat Operasi Seroja yang menjabat sebagai Perdana Menteri. Melalui bantuan sang adik, Antonio Lobato, kompi Prabowo berhasil menemukan LObato di Maubisse, yang berjarak 50 kilometer di selatan Dili.
Pada 1985, Prabowo naik pangkat menjadi Wakil Komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 (Yonif Para Raider 328/Dirgahayu), sebuah unit pasukan para raider yang menjadi bagian dari Korps Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Enam tahun kemudian, ia menjabat sebagai Kepala Staf Brigade Infanteri Lintas Udara 17 (Brigif Para Raider 17/Kujang I), yang markasnya berada di Cijantung. Prabowo, yang kala itu telah mencapai pangkat letnan kolonel, juga terlibat dalam operasi pencarian dan penangkapan Xanana Gusmao, salah satu tokoh pimpinan gerilyawan Fretilin.
Selanjutnya, pada 1993, Prabowo kembali ke unit pasukan khusus, yang sekarang dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Dia dipromosikan menjadi komandan Grup 3/Sandhi Yudha, salah satu divisi kontra insurjensi di dalam Kopassus.
Tak berhenti di situ, Prabowo juga pernah menjadi wakil komandan dan kemudian diangkat sebagai komandan di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Agum Gumelar dan Brigadir Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo.
Hingga akhirnya pada 20 Maret 1998, Prabowo ditunjuk sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), sebuah jabatan yang pernah dipegang oleh ayah mertuanya, Presiden Soeharto. Penunjukkan ini terjadi sepuluh hari setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat memilih Soeharto untuk periode kepresidenan kelima.
Sebagai Panglima Kostrad, Prabowo memiliki kendali atas sekitar sebelas ribu pasukan cadangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dia meminta izin dari Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal Wiranto, untuk memobilisasi pasukan cadangannya dari luar Jakarta untuk membantu menangani kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998.
Pemecatan Prabowo dari TNI
Fachrul Razi, mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira yang memimpin sidang terhadap Prabowo Subianto pada Agustus 1998, telah mengkonfirmasi keberadaan sebuah surat rahasia. Surat dengan nomor KEP/03/VII/1998/DKP itu mengungkapkan sekitar delapan pelanggaran yang dilakukan oleh Prabowo sebagai seorang perwira militer, yang mengakibatkan rekomendasi untuk diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Prabowo, yang kala itu menyandang pangkat letnan jenderal, berkaitan erat dengan penugasan Satuan Tugas Mawar untuk menculik aktivis prodemokrasi. Perintah ini dikirim melalui Kolonel Infanteri Chairawan, yang menjadi Komandan Grup 4 dan Mayor Infanteri Bambang Kristiono.
Sementara itu, Prabowo baru melaporkan operasi yang dilakukannya kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada April 1998. Menurut keterangan yang dikumpulkan oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP), laporan ini dibuat oleh Prabowo setelah didesak Kepala Badan Intelijen ABRI.
DKP juga menyebutkan bahwa Prabowo melampaui kewenangan dengan menjalankan operasi pengendalian stabilitas nasional. Bahkan operasi ini dilakukan secara berulang-ulang di Aceh, Irian Jaya, dan pengamanan presiden di Vancouver, Kanada, oleh Kopassus. Tak hanya itu, Prabowo juga dikatakan bersalah karena terlalu sering bepergian ke luar negeri tanpa izin Kasad atau Panglima ABRI.
Atas berbagai tindakan Prabowo yang dinilai bersalah itu, DKP menilai Prabowo telah mengabaikan sistem operasi, hierarki, dan disiplin di lingkungan militer. Ia dianggap tidak menjalankan etika profesionalisme dan tanggung jawab yang berujung pada berakhirnya karier militer cemerlangnya.
ANTON WILLIAM | DELFI ANA HARAHAP