Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salatiga, sebuah kota yang secara diam-diam menyimpan banyak cerita, telah menjadi saksi bisu dari gelombang peristiwa yang membentuk sejarah Indonesia. Kota ini ratusan tahun lampau telah menyaksikan beberapa episode penting dalam perjuangan melawan penjajahan yang pernah mengoyak Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu peristiwa yang paling mencolok adalah saat Perjanjian Salatiga ditandatangani pada 17 Maret tahun 1757 atau hari ini 267 tahun silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sinilah Salatiga menjadi tempat pertemuan antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan Kesultanan Mataram, yang menandai awal dari babak baru dalam hubungan mereka.
Dinukil dari Fahum.umsu.ac.id, penandatanganan perjanjian tersebut berlangsung di Gedung Pakuwon, yang terletak di Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Saat ini, gedung tersebut telah menjadi bagian dari warisan budaya yang dilestarikan dengan baik.
Perjanjian Salatiga diselenggarakan sebagai upaya untuk menyelesaikan ketegangan yang muncul setelah pergolakan kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram. Pertikaian ini timbul karena perselisihan antara Pangeran Sambernyawa dan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Pangeran Sambernyawa, yang merasa dikhianati oleh Pangeran Mangkubumi, melancarkan perlawanan terhadap VOC, Pangeran Mangkubumi, dan Pakubuwana III karena dirugikan oleh hasil Perjanjian Giyanti. Dalam usaha menyelesaikan konflik tersebut, Perjanjian Salatiga terjalin pada tanggal 17 Maret 1757, melibatkan VOC dengan Kesultanan Mataram yang telah terbagi menjadi dua entitas: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, VOC merasa perlunya mengadakan perjanjian ini karena beberapa alasan, termasuk:
1. Persaingan Wilayah
Wilayah pesisir dan perdagangan di Jawa Tengah memegang peranan ekonomi yang signifikan karena perdagangan rempah-rempah dan sumber daya alamnya. Baik VOC maupun Mataram memiliki keinginan kuat untuk menguasai wilayah-wilayah ini, sehingga menimbulkan persaingan dan ketegangan.
2. Perpecahan Mataram
Setelah keruntuhan Kesultanan Mataram, muncul dua faksi yang bersaing: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kedua faksi ini saling bersaing untuk mendapatkan pengakuan dan kekuasaan di wilayah tersebut.
3. Konflik Bersenjata
Pertikaian antara VOC dan Mataram sering kali berujung pada pertempuran bersenjata yang merugikan kedua belah pihak. Ketidakstabilan dan ancaman terhadap perdagangan serta kehidupan masyarakat di daerah tersebut menciptakan situasi yang tidak stabil.
4. Tekanan Eksternal
Berbagai kekuatan asing dan lokal, termasuk VOC, memberikan tekanan kepada kedua belah pihak, mendorong mereka untuk mencari dukungan dan perlindungan guna menjaga posisi mereka. Selain itu, upaya mediasi dari pihak ketiga juga dilakukan. Tokoh-tokoh berpengaruh dan penguasa lokal berusaha keras untuk mengakhiri konflik dan membangun kembali hubungan antara VOC dan Mataram.
Perjanjian Salatiga muncul dalam konteks ini sebagai usaha untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama. Perjanjian ini memperbarui struktur wilayah dan hubungan kekuasaan antara VOC dan Mataram. Meskipun secara resmi konflik berakhir dengan perjanjian ini, dampak dan implikasi dari kesepakatan tersebut terus mempengaruhi dinamika politik dan ekonomi di wilayah tersebut, menciptakan perubahan yang berkelanjutan dan mendalam.
Perjanjian Salatiga memuat beberapa hal, yakni:
1. Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji, sebuah gelar yang memberinya status setingkat dengan raja-raja di Jawa.
2. Pangeran Miji dilarang duduk di Dampar Kencana, takhta kerajaan.
3. Pangeran Miji memiliki hak untuk menyelenggarakan upacara penobatan raja dan menggunakan semua perlengkapan raja.
4. Pangeran Miji tidak diizinkan untuk memiliki Balai Witana.
5. Pangeran Miji tidak diizinkan memiliki alun-alun dan sepasang ringin kembar.
6. Pangeran Miji tidak diperbolehkan melakukan hukuman mati.
Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Pangeran Miji diberikan tanah seluas 4000 cacah yang tersebar di wilayah-wilayah seperti Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, dan Pajang, baik di bagian utara maupun selatan.
Salatiga dipilih sebagai lokasi penyelesaian konflik antara VOC dan Kesultanan Mataram karena posisinya yang strategis, terletak di tengah-tengah Jawa Tengah serta memiliki akses yang mudah ke seluruh wilayah Jawa. Selain itu, Salatiga dikenal sebagai tempat peristirahatan pada masa kolonial Belanda, menjadi daerah peristirahatan bagi bangsa Eropa.
JOGJA KOTA | HISTORY MAPS
Pilihan editor: Enam Kota di Indonesia yang Nyaman untuk Pensiunan