Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Kardinah, Adik RA Kartini yang Berjasa namun Dipersekusi di Tegal

Meski dari kalangan bangsawan, keluarga Kartini ini kerap membantu masyarakat. Namun adik Kartini dipersekusi dan darak keliling kota hingga trauma.

21 April 2024 | 17.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Setiap 21 April, masyarakat Indonesia memperingati hari kelahiran pahlawan perempuan nasional yakni Raden Ajeng Kartini. Tokoh yang lahir pada tanggal 21 April 1879 ini dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita. Lewat kumpulan surat yang ia tulis semasa hidup, ia mengkritisi tentang ketimpangan derajat antara perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan, dirangkum menjadi karya fenomenal berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Perjuangan Kartini yang inspiratif rupanya tak ia lakukan sendiri. Adiknya, yang bernama Kardinah juga dinilai berjuang untuk kepentingan rakyat. Sebagai keluarga bangsawan, Kardinah melakukan sesuatu untuk masyarakat kecil. Namun ironis, ia menjadi korban persekusi saat Indonesia baru saja merdeka.

Seperti diketahui, Kartini memiliki dua orang saudari kandung, yaitu Raden Ajeng Kardinah dan Raden Ajeng Soematri. Serta satu saudari tiri yaitu Roekmini. Ketiganya pun tak luput memperjuangkan derajat kaum perempuan pada masa kolonial Belanda. Bagaimana kisah Raden Ajeng Kardinah yang berjasa bagi masyarakat Tegal namun dipersekusi tak lama setelah Indonesia merdeka.

Lahir pada 1 Maret 1881. Kardinah dikenal punya peran di bidang kesehatan bagi masyarakat Tegal. Kardinah menikah dengan seorang anak Bupati Tegal bernama RM Reksoharjono yang kelak akan menjadi Bupati Tegal.  Pernikahan antara Kardinah dan Reksoharjono tidak menghasilkan keturunan, oleh karena itu mereka mengangkat seorang anak bernama Susmono. Ia juga akan melanjutkan kepemimpinan ayahya di Tegal.

Semangat Kardinah tak berbeda dengan Kartini, ia mengabdikan diri kepada masyarakat golongan menengah ke bawah, khususnya yang berada di daerah Tegal. Karena rasa simpatinya, akhirnya Kardinah membangun sebuah rumah sakit yang masa itu disebut sebagai balai kesehatan.

Melansir laman resmi RSUD Kardinah, Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal bermula dari balai pengobatan yang didirikan pada tahun 1927 oleh Kardinah. Ia merupakan sosok yang sangat peduli dengan nasib rakyat, khususnya dalam hal pengobatan yang masih sangat tradisional pada masa itu.

Bermodal uang 16.000 golden hasil penjualan buku karangannya berjudul "Cara Membatik" ditambah bantuan dari Residen Pekalongan, maka didirikanlah Balai Pengobatan yang bertujuan untuk memberikan bantuan pengobatan kepada rakyat yang kurang mampu. 

Namun, di masa awal kemerdekaan, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, peristiwa Tiga Daerah meletus di wilayah pantai utara Jawa. Mantan Kapolri, Hoegeng Iman Santoso dalam bukunya berjudul Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan, menyatakan bahwa gerakan Kutil yang dipimpin Sukyani hendak mendirikan pemerintahan revolusioner. Mereka menciduk orang-orang yang dianggap dekat dengan Belanda di tiga daerah, yaitu, Brebes, Tegal dan Pemalang. 

Di tiga daerah tersebut, massa yang terinpirasi Kutil, memaksa Bupati Pemalang, Brebes dan Tegal untuk mengibarkan bendera merah putih dan membagikan beras kepada rakyat. Alhasil massa mendatangi kantor-kantor dan rumah bupati untuk 'membuat perhitungan".

Seperti kalangan bupati dan rengrengannya, Kardinah yang dari kalangan bangsawan dianggap kelompok itu sebagai simbol feodal dan loyalis penjajah Belanda. Ahasil, ia menjadi salah satu korban gerakan itu.

Dilansir dari buku Seri Tempo yang berjudul Gelap-Terang Hidup Kartini, Sebagai istri Bupati Tegal, Kardinah jadi sasaran. Saat menengok cucunya, Kardinah ditangkap orang-orang Kutil. Ia dipaksa mengenakan karung goni sebagai pakaian. Kardinah juga diarak keliling kota sambil diolok-olok.

Akan tetapi saat sampai ke rumah sakit Kardinah, adik Kartini itu pura-pura sakit dan dirawat. Dilansir dari buku Jejak-jejak di Tlatah Teteguall karya Conie Wishnu W dan Hari Bagor S, pada malam harinya, ada usaha penyelamatan dari orang-orang dekatnya. Alhasil Kardinah bisa diselamatkan dari orang-orang Kutil dan tidak sempat dibawa ke Talang, Adiwena. 

Karena peristiwa itu, Kardinah mengalami berbagai trauma dan enggan hidup di Tegal. Ia memutuskan pindah ke Salatiga untuk menjalani masa tuanya. RA Kardinah kemudian meninggal dunia pada 5 Juli 1971 saat usianya mencapai 90 tahun. 

Pada tahun 1971 setelah Raden Ajeng Kardinah wafat, Balai Pengobatan yang sudah mengalami berbagai peningkatan sarana dan prasarana diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Tegal. Tempat itu kemudian diberi nama Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal.

Pada tahun 1983, dengan Surat Keputusan Walikota Madya Dati II Tegal Nomor 61/1/1004/1983, Rumah Sakit Umum Kardinah ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum Tipe C, selanjutnya pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 92/ Menkes/SK/I/1995 ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah tipe B Non Pendidikan.

Pilihan Editor: Hari Kartini, Sosiolog Ungkap Masalah yang Masih Dialami Perempuan 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus