Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Sanggar Senja Mengangkat Anak Jalanan Lewat Pendidikan

Pendiri Sanggar Senja Cibinong, Adi Supriyadi, harus jatuh bangun membantu anak jalanan agar bisa mengakses pendidikan formal.

6 Desember 2021 | 10.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pendiri Yayasan Senja Cibinong, Adi Supriyadi, bersama anak jalanan dan anak terlantar yang dibina di Sanggar Senja. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Berdiri sejak 2014, Yayasan Secerah Anak Negeri Jaya atau yang lebih sering disebut Sanggar Senja Cibinong, menaungi anak jalanan dan anak terlantar agar dapat mengenyam pendidikan dan kehidupan yang layak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendiri Yayasan Senja Cibinong, Adi Supriyadi, menceritakan upayanya membuka akses pendidikan bagi anak jalanan tidaklah mudah. Berkali-kali Adi harus bertabrakan dengan urusan administratif dan birokrasi pendidikan yang rumit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Latar belakang anak jalanan yang tidak jelas dan tidak adanya dokumen identitas kerap kali menjadi persoalan. "Birokrasi kita ini rumit, terlalu banyak syarat. Mereka itu juga menganggap kami ini hina saja. Dituduh mau nyari duit lah, mau bikin organisasi teroris lah, padahal visi misi kami jelas untuk pendidikan," ujar Adi.

Pernyataan itu disampaikan Adi saat bercerita dalam sebuah sesi di program Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang digelar Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan bekerja sama dengan Paragon Technology and Innovation, Rabu, 1 Desember 2021.

Yayasan Sanggar Senja lantas didirikan untuk menjadi payung identitas bagi para anak jalanan. Hingga 2018, yayasan telah membebaskan akte kelahiran sekitar 120 anak. Sebagian akte mereka mengatasnamakan anak ibu, sebagian lagi anak negara. Anak-anak jalanan itu, kata Adi, akhirnya bisa dimasukkan ke sekolah swasta.

Hasil itu diraih dengan jalan berliku dan susah payah. Adi harus meyakinkan pemilik yayasan bahwa dia yang akan menjamin penerbitan dokumen kependudukan anak-anak tersebut dan bertanggungjawab sepenuhnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Saya jaminannya, kalau ada apa-apa, tangkap saya," ujar dia.

Bagi Adi, penolakan demi penolakan sudah menjadi makanan sehari-hari saat mengupayakan akses pendidikan formal bagi anak jalanan. "Saya pernah mendaftarkan anak usia 12 tahun di kelas 1 SD, gurunya bilang, maaf ya nanti jadi menjatuhkan sekolah kami, soalnya sudah tua begini. Sulit memang. Itu kenyataan yang kami hadapi," ujar dia.

Ada sekitar 130-an anak jalanan yang dibina Yayasan Senja Cibinong. Sebanyak 50 orang sudah masuk di sekolah atau pendidikan formal. Sisanya yang sudah putus sekolah diikutkan paket A, B, dan C.

"Ada 22 anak yang tinggal di sanggar ini, sisanya hanya datang untuk belajar, lalu pergi. Jadi ini sanggar sekaligus juga panti. Kami terima semua, kami beri makan. Mereka juga bisa mendalami bidang seni dan budaya di sini," ujar Adi.

Anak-anak yang tinggal di Sanggar Senja Cibinong memiliki kisah yang beragam. Adi menceritakan ada anak dari Bali yang hendak diperdagangkan oleh orang tuanya. Namun karena 'si calon pembeli' mengurungkan niat, lantas anak tersebut ditinggalkan seorang diri di sekitaran air mancur di Bogor dan dibawa oleh warga sekitar ke Dinas Sosial.

"Oleh Dinas Sosial mau dibawa ke Bandung, karena ketemu saya, akhirnya saya bawa lah ke sini. Sampai sekarang orang tuanya tidak ada yang mencari, sudah hampir setahun tinggal di sini," ujar Adi.

Lain lagi anak dari Papua yang tidak diketahui siapa orang tuanya. "Anak itu semula tinggal dengan orang yang suka memukuli dan menyuruh dia menjadi pengemis. Ketemu saya di jalan, lalu saya bawa ke sini. Alhamdulillah dia mau belajar di sini," tuturnya.

Adi awalnya mengontrak sebuah rumah untuk tempat tinggal anak-anak jalanan tersebut. Dari usaha studio musik dan penyewaan sound system yang dimiliki, ia bisa membayar duit sewa kontrakan dan memberi makan serta membayar uang sekolah anak-anak jalanan yang dibinanya.

Tahun berganti tahun, Sanggar Senja semakin dikenal. Relawan-relawan mulai banyak membantu mengajar dan bantuan dana pun mulai berdatangan. Salah satunya, PT Paragon Technology and Innovation yang menyumbang dana untuk membeli sanggar. "Tadinya kami mengontrak, sekarang kami sudah punya sanggar sendiri. Alhamdulillah kami sangat bersyukur," ujar Adi.

Dengan bantuan berbagai pihak, Adi berharap misinya untuk mengurangi populasi anak jalanan bisa terus berlanjut. "Kalau mereka tidak kita angkat, ya mereka bisa menjadi pelaku kriminal nantinya," ujarnya.

Sebagai bekas anak jalanan, Adi sadar betul jika pendidikan adalah salah satu jalan mengubah nasib anak-anak jalanan. "Kalau kita kasih anak-anak jalanan itu duit, maka akan habis begitu saja. Tapi kalau dikasih pendidikan, insyaallah akan mengubah hidup mereka selamanya," ujar Adi.

Lewat seni, bekas anak jalanan itu tak henti membangkitkan semangat anak-anak yang dibinanya untuk memiliki cita-cita yang tinggi. Salah satu anak sanggar, Evelyn, 11 tahun, berharap kelak ia bisa menjadi orang sukses. "Biar kaya, supaya bisa bantu adik-adik aku yang lain di sini," ujar bocah kelas 6 SD itu.

Anak jalanan lainnya yang bergabung bersama Sanggar Senja ialah Mando. Bocah berusia 10 tahun ini bercita-cita ingin menjadi tentara. "Ingin membela negara," ujarnya ketika ditanya alasan ingin menjadi tentara.

DEWI NURITA

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus