Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Dewi Anggraeni merekomendasikan agar pemerintah menghentikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) karena pelaksanaannya sering menimbulkan berbagai persoalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Ketimbang semakin kisruh ke depannya, lebih baik dihentikan dari saat ini," kata Dewi saat dihubungi, Jumat, 18 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perselisihan antara mitra dapur umum dan yayasan mitra Badan Gizi Nasional (BGN) di Kalibata semakin memperpanjang deretan masalah dalam proyek pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Dapur umum milik Ira Mesra, yang bekerja sama dengan Yayasan BGN, terpaksa menghentikan kegiatan operasionalnya sejak libur Lebaran 2025 akibat mengalami kerugian sebesar Rp 975,3 juta. Kuasa hukum Ira, Danna Harly Putra, menyatakan bahwa kerugian tersebut terjadi karena biaya bahan baku dan operasional belum dibayarkan oleh Yayasan Berkat Media Nusantara (MBN), mitra dari BGN.
Menanggapi persoalan ini, Kepala BGN, Dadan Hindayana, memanggil kedua pihak pada Rabu, 16 April, untuk melakukan mediasi dan menggali lebih jauh akar masalahnya.
Usai mediasi, Dadan mengungkapkan bahwa ia baru mengetahui bahwa yayasan dan mitra dapur yang terlibat kerja sama dengan BGN ternyata bukan bagian dari satu kesatuan, berbeda dengan pola kemitraan BGN yang lazimnya.
"Tetapi, mitra dapur sudah mulai beroperasi lagi. Sudah ditransfer anggarannya untuk 10 hari ke depan," kata Dadan.
Meski demikian, Dadan menegaskan bahwa konflik antara Yayasan MBN dan dapur umum milik Ira Mesra tidak berkaitan langsung dengan BGN. Menurutnya, permasalahan tersebut merupakan urusan internal antara kedua belah pihak.
Sementara itu, secara terpisah, Direktur Keadilan Fiskal dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyu Askar menyatakan bahwa sengketa antara yayasan dan mitra dapur di Kalibata hanyalah satu dari sekian banyak kekisruhan dalam pelaksanaan program MBG.
Dia menyebut bahwa berbagai persoalan seperti kasus keracunan akibat MBG, penolakan program di Papua, serta ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya mencerminkan bahwa proyek ini dijalankan tanpa perencanaan yang matang. Salah satu indikatornya adalah perubahan dalam alokasi anggaran untuk harga makanan.
Awalnya, anggaran yang ditetapkan untuk setiap porsi makanan MBG adalah Rp 15 ribu, namun kemudian turun menjadi Rp 10 ribu. Bahkan, pada pelaksanaan awal program, terdapat menu makanan siswa yang tidak disertai dengan susu. "Kalau memang harus dilanjutkan, tentunya harus ada evaluasi besar yang dilakukan," ujar Askar.
Evaluasi terhadap program MBG mencakup upaya untuk meningkatkan transparansi dalam perencanaan proyek, penetapan anggaran, serta membuka akses pengawasan oleh masyarakat sipil agar fungsi pemantauan dapat berjalan lebih efektif.
Kepala BGN Dadan Hindayana menyatakan bahwa meskipun selama empat bulan pelaksanaannya program ini diliputi berbagai persoalan, MBG tidak akan langsung dihentikan.
Ia menambahkan bahwa BGN terus melakukan perbaikan terhadap berbagai kekurangan yang ada. Salah satu langkah yang diambil adalah menghentikan sistem reimburse kepada dapur mitra.
"Jadi sebagian besar berjalan lancar. Yang masih kurang, tentu akan diperbaiki segera," ujar guru besar di IPB University itu.
ICW Sorot Tiga Permasalahan MBG
Menurut ICW, seperti yang dilansir dari antikorupsi.org, program tersebut memiliki banyak kelemahan, mulai dari sisi anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan di lapangan, hingga pengawasannya. Selain itu, informasi terkait program MBG juga dinilai tidak transparan dan tertutup bagi publik.
Selama dua bulan pelaksanaannya, ICW mencatat setidaknya ada tiga persoalan utama dalam program ini.
1. Belum adanya kebijakan yang secara holistik
Berdasarkan hasil kajian ICW, kebijakan yang ada saat ini hanya bertujuan untuk memenuhi ambisi Presiden Prabowo agar program tersebut bisa segera dijalankan di awal masa pemerintahannya pada 2025 dan belum menyeluruh regulasinya dalam mengatur tata kelola dan mekanisme pelaksanaan MBG.
Rangkaian kebijakan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) tampak jelas dari diterbitkannya Perpres Nomor 83 Tahun 2024 oleh Presiden Jokowi pada 15 Agustus 2024, yang menetapkan pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai koordinator pelaksana program tersebut. Dalam kurun waktu hanya empat bulan, program MBG sudah dijalankan secara nasional.
Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi pemotongan anggaran negara demi mendanai MBG dan program-program Presiden lainnya. Perencanaan yang terburu-buru, kurangnya transparansi informasi, minimnya pelibatan pemangku kepentingan dan masyarakat, serta adanya larangan untuk mempublikasikan program ini menjadi kombinasi berisiko tinggi yang bukan hanya menguras anggaran negara, tetapi juga membuka celah besar bagi praktik korupsi.
2. Perhitungan anggaran MBG serampangan
Perhitungan anggaran MBG yang terburu-buru berdampak pada pemangkasan belanja pemerintah. Hal ini dimulai dengan terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran, yang kemudian ditindaklanjuti oleh surat edaran Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 berisi daftar 16 pos belanja yang dapat dipotong. Meski pemotongan tak mencakup belanja pegawai dan bansos, nyatanya banyak program penting yang ikut terdampak.
Menteri Keuangan menyebut kebutuhan anggaran MBG sebesar Rp 306,6 triliun, dengan Rp 100 triliun dialokasikan ke BGN. Padahal, Kepala BGN menyatakan kebutuhan hanya Rp 12 triliun per tahun. ICW pun mempertanyakan alokasi Rp 82 triliun lainnya, yang diduga digunakan untuk operasional BGN dan program bersama Kementerian Pertahanan, termasuk mencetak 5.000 Sarjana Penggerak Pertumbuhan Indonesia (SPPI) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ironisnya, saat terjadi banyak PHK dan pembatasan fasilitas publik, SPPI justru dirancang menjadi ASN BGN.
3. Tidak transparannya mekanisme MBG
Program MBG memerlukan berbagai elemen seperti bahan pangan, kemasan makanan, ahli gizi, juru masak, distributor, dan lainnya. Namun, akses masyarakat terhadap informasi ini sangat terbatas. ICW menemukan bahwa hingga akhir Januari, baru ada 190 SPPG dari target 500-937 yang harus tercapai pada Januari-Februari 2025.
Dalam penelusuran, ICW juga mencatat ada SPPG yang mengelola lebih dari satu kecamatan, seperti di Provinsi Kepulauan Riau, dengan alamat dapur yang sama. Padahal, petunjuk teknis BGN mengharuskan lokasi SPPG berada dalam radius 6 km atau waktu tempuh 30 menit dari lokasi penerima manfaat.
Tertutupnya informasi mengenai pengadaan MBG berdampak pada kualitas makanan yang diterima penerima manfaat dan tidak terserapnya bahan pangan lokal. Selain itu, kurangnya informasi tentang latar belakang SPPG berisiko menimbulkan konflik kepentingan, monopoli, dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Andi Adam Faturahman turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengapa Proyek Makan Bergizi Gratis Kisruh Melulu