Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kitab kuning mirip telegram

Ada seminar kitab kuning di iain jakarta. kitab kuning memang perlu, tapi sudah langka dibaca, bahkan di pesantren. kebanyakan mahasiswa iain belum mantap berbahasa arab aktif. kandungannya beragam.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA seminar Kitab Kuning (KK) di IAIN Jakarta. Itu seperti menyusul IKIP Muhammadiyah Jakarta belum lama menyeminarkan topik serupa. Perubahan atau aba-aba untuk mereka yang sedang belajar di "kampus modern" agar tak lagi meremehkan KK? "Kitab kuning memang perlu, tapi sudah langka dibaca, bahkan di pesantren," kata Dr. Peunoh Daly, Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, di depan 150 peserta seminar yang diselenggarakan senat mahasiswanya Rabu pekan lalu. Suara yang awas, tapi prihatin, jika menjauhi kitab-kitab yang dikira sudah kuno itu. Menurut Ali Hasjmy tak mudah mempelajari KK. "Modalnya ya bahasa Arab. Dan ini satu kelemahan utama di IAIN sekarang," kata bekas rektor IAIN Banda Aceh itu. "Mestinya mahasiswanya tidak perlu lagi mempelajarinya-karena sudah mantap sewaktu di tsanawiyah. Di zaman sebelum perang dulu, mereka yang di tsanawiyah sudah bisa berbahasa Arab aktif," tambah Ketua Majelis Ulama Aceh itu pada Bersihar Lubis dari TEMPO. Keklasikannya yang teruji zaman dan sejarah, sedari dulu KK jadi rujukan tata nilai masyarakat pesantren. "Kadar kedalaman dan pengamalan terhadap KK adalah salah satu kriteria yang paling representatif untuk mengukur derajat seorang kiai atas kiai yang lain," begitu tulis Zamakhsyari Dhofier dalam Mizan (no. 2, 1984). Antropolog ini menulis disertasi untuk doktor tentang tradisi pesantren. Kandungan KK, beragam. "Tapi yang mendominasi pengertian KK itu adalah kitab-kitab ilmu fikih dan ilmu-ilmu pembantunya," kata K.H. Ali Yafie, Ketua PB NU, di seminar IAIN tadi. Maka, bukan tak beralasan bila legalisme formal mewarnai wajah pesantren. Konon, seperti Al-Muhadzdzab (Pencanggihan), Fath al-Wahhab (Pembukaan sang Penganugerah), Qulyubi wa 'Umayrah bahkan Bijuraym yang berisikan komentar fikih yang menukik itu, merupakan bacaan utama di pesantren. Yang raksasa, misalnya, Majmu' atau Kumpulan - komentar atas alMuhadzdzab, 14 jilid dan tebalnya 6.000 halaman. Sedang yang kuno, Tuhfah alias "Buah". Tapi contoh kitab fikih standar misalnya Taqrib (Pendekat) dan Tahrir (Penguraian). Semua itu fikih. Itu belum ilmu pembantunya yang merupakan khazanah kaya-raya, seperti Jalalayn (Dua Jalal), Bulugh al-Maram (Mencapai Hasrat), plus Al-Ajrumiyyah, Al-Amriti, dan Alfiyah. Setelah Islam kukuh di sini, belakangan fikih banyak dibaca. Mujur ada ulama yang membaca Imam Ghazali. Kitabnya, Ihya' 'Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu Agama), sebuah tasawuf tapi fikih. Komentarnya empat jilid tebal yang sangat bagus misalnya mengenai haji - lalu ditulis oleh Abdush-samad Falambani berjudul Siyar as-Salikin (Riwayat Para Sufi). Dan ulama lain yang mengikut jejaknya, seperti Kiai Arsyad Banjar dengan Sabil al-Muhtadin aalal bagi Yang Ditunjuki), atau Kiai Nawawi Banten dengan Nur al-Dzalam (Cahaya Kegelapan). Orientasi ke fikih memang kuat. "Kita masih praktisi," kata Dr. Nurcholish Madjid, dosen di IAIN dan Kepala Bidang Penelitian Agama di LIPI, kepada TEMPO. "Karena itu, dalam bidang pemikiran, kita masih konsumen, bukan produsen. KK seharusnya kita perlakukan sebagai obyek penelitian, bukan hanya sebagai pegangan kepraktisan." Menurut Kiai Ali Yafie, KK yang beredar di pesantren itu umumnya menggunakan rechtstaal (bahasa hukum) yang ketat. "Malah bahasanya sangat padat, sehingga cenderung seperti bahasa telegram atau bahasa sandi," kata Ali Yafie, bekas dekan Fakultas Usuluddin IAIN Ujungpandang. Untuk memahaminya, perlu merujuk ke kitab berkomentar atau bercatatan pinggir. Dalam sejarahnya, KK terus mengalami reformulasi lewat penelitian. Ada koreksi dan evaluasi terus-menerus sejak abad pertama. Sehingga, lahir berjenis KK. Ada berstatus ummahat, kitab induk. Misalnya kitab al-Umm (Induk) karya Imam Syafii. Lalu ada syarah atau komentar, hasyiyah, catatan pinggir, aqrirat (penjelasan), atau ta'liqat, catatan kaki. Sejak abad ke-6 hingga 12 Hijriah, reformulasi itu berpuncak pada munculnya kitabkitab mukhtashar (ringkasan) atau matn alias teks. Kitab yang ringkas itulah, karena praktis, jadi bacaan utama di pesantren. Misalnya Alfiyah (Seribu Bait) karya Ibn Malik, meskipun kurang dipahami oleh santri, harus dihafal sedari awal. Sedang penjelasannya baru belakangan dengan mengaji kitab Syarah H1dhari Komentar Hudhari. "Itulah periode taklid atau keterikatan, yang pada hakikatnya bersifat survival," kata Ali Yafie Kesadaran berpikir kritis berganti ke taklid. "Banyak KK yang mendorong bertaklid. Malah ada yang mengeramatkan dengan cara menghail berulang-ulang. Ya, talid juga," kata Zain Han, M.A., dosen IAIN Jakarta. Akibatnya, KK baru tidak diproduk Dan kelangkaan ulama itu sekelumit tercermin pada menurunnya kadar produktivitas kitab. Mungkin masih ada ulama yang menulis, tetapi orisinalitasnya tak menjujung kebesaran khazanah. "Kitab kuning itu tidak suci. Kita harus membacanya dengan mata kritis," ucap Zain. Namun, untuk mengkritiknya, perlu metodologi. Menurut Nurcholish Madjid, lemahnya produktivitas itu di pesantren, karena melupakan metodologi dan sistem berpikir rasional. "Ada sesuatu yang salah. Bahwa dalam pembidangan ilmu, yang ber sifat penalaran agak tersingkir dan yan bersifat dogmatis lebih dominan. Sehingga. kebiasaan berpikir rasional di pesantren jadi berkurang," kata alumnus Pondok Gonto itu. "Saya kira, orang pesantren akan memperoleh kembali dinamika intelektualnya kalau mereka mementingkan ushul al-fiqih daripada fiqh." Imam Syafii, yang diagungkan di pesantren, selayaknya dicontoh. Sebelum membuat kitab al-Umm, dia menyusun lebih dulu metodologinya, berupa kitab al-Risalah, Surat. Sayang, kitab ini kurang memasyarakat di pesantren. Bukan hanya metodologi. Menurut Dr Satria Effendi Zain, beberapa KK perlu diseleksi, supaya tidak menimbulkan budaya taklid. Misalnya, I'anat al-thalibin (Petunjuk untuk Siswa). Di kitab fikih itu banyak disebut qawl, alias pendapat ulama lampau, tanpa menyebut dalil. "Harus diketahui, qawl ulama itu berpedoman pada Quran dan Hadis juga," ucap Teungku Haji Ismail Ibrahim dari pesantren Modern Bustanul 'Ulum, Langsa, Aceh Timur."Semua ulama berhak dan punya pendapat. Itulah ijimak, yang selalu berdasarkan pada Quran dan Hadis," katanya pada Makmun Al Mujahid dari TEMPO. "Tapi hanya kitab berdalil yang diakui di sekolah Timur Tengah," kata Satria Effendi, dosen IAIN Jakara dm alumnus Universitas Ummul Qura, Mekah. Misalnya, al-Mughni (Pengaya) karya Ibn Quddamah, alau al-Minhaj (Metode) karya al-Baydlawi. Sedangkan Tuhfat al-Muhtaj (Bunga bagi yang Butuh) karya Ibn Hajar al- Asqalani, yang beredar di pesantren kurang dipakai di Timur Tengah. Saya membaca kitab itu. Dalam 100 halaman, belum satu pun disebut dalilnya tentang satu soal. Semuanya qawl," kata Satria. Di Timur Tengah, kata Satria, KK senapas dengan perguruan tinggi, bukan hanya dengan pesantren alias ma'had. Misalnya, di Mekah ada perpustakaan khusus untuk KK, seperti Maktabat al-Turats al-Islami (Perpustakaan Warisan Islam). Di situ ada sekiar 5.000 manuskrip makhthuthah Ada penelitian berupa tahqiq (verifikasi), untuk membuat "edisi kritis" terhadap naskah manuskrip klasik. Namun model penelitian tahqiq belum berkembang luas di perguruan tinggi Islam di Indonesia. "Ditahqiq boleh, tapi sifatnya memberi catatan kaki. Sebab, ada qawl dalam kitab kuning yang sudah tidak up to date lagi," kata K.H Oesman Mansoer kepada M. Baharun dari TEMPO. Rektor Universitas Islam Malang itu tidak setuju model revisi. "Seolah karya ulama terdahulu itu terambil dari rujukan yang nilainya salah." Tapi kalau harus direvisi juga, ia memang mendalami ilmu agama Islam. Contohnya dua ahli dari Al-Azhar, Dr. Abdul Halim Mahmud dan Dr. Mahmud Syarif, yang men-tahqiq al-Manikam (Ratna Mutu Manikam) karya Ibn Atha'illah. Ahmadie Thaha & Zakaria M. Passe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus