Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Konsep Bhinneka Tunggal Ika Sudah Ada Sejak Era Mataram Kuno

Konsep Bhinneka Tunggal Ika dinilai sudah muncul sejak lama. Dibuktikan oleh masyarakat Mataram Kuno.

15 Oktober 2021 | 20.54 WIB

Umat Islam membagikan makanan kepada umat Hindu dalam Tradisi Ngejot di Banjar Tista, Desa Dapdap Putih, Buleleng, Bali, Rabu 12 Mei 2021. Tradisi yang digelar sehari sebelum perayaan Idul Fitri 1442 Hijriah tersebut untuk menjaga silaturahmi dan toleransi antar umat beragama. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Perbesar
Umat Islam membagikan makanan kepada umat Hindu dalam Tradisi Ngejot di Banjar Tista, Desa Dapdap Putih, Buleleng, Bali, Rabu 12 Mei 2021. Tradisi yang digelar sehari sebelum perayaan Idul Fitri 1442 Hijriah tersebut untuk menjaga silaturahmi dan toleransi antar umat beragama. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Slogan Bhinneka Tunggal Ika selama ini diketahui berasal dari tulisan Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma yang muncul di era kekuasaan Majapahit. Namun konsep berbeda-beda tapi satu ini ternyata telah muncul sejak masa Mataram Kuno. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengutip buku Melacak Jejak Spiritualitas Bhinneka Tunggal Ika dan Visi Penyatuan Nusantara karangan Maftukhin, doktrin Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks sintesis-tantris bukan narasi autentik milik Mpu Tantular maupun ajaran spesifik dari Kitab Sutasoma melainkan kesadaran kolektif masyarakat. 

 

Dalam buku tersebut Maftukhin menjelaskan jika Mpu Tantular sebenarnya hanya merepresentasikan kesadaran masyarakat dalam Sastra Kakawin. Hal-hal yang berkaitan dengan keberagaman sejatinya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri. 

 

Gagasan yang berhubungan dengan Bhinneka Tunggal Ika dapat dilacak sejak awal periode kerajaan Mataram Kuno atau pada awal abad 10 M saat berpindah dari wilayah Jawa bagian Tengah ke Timur. 

 

Saat kerajaan Mataram Kuno menguasai Jawa, agama Hindu dan Budha menjadi agama mayoritas masyarakat. Meski persaingan antara Wangsa Syailendra dan Sanjaya makin lama makin mengganas, perang agama tak pernah tercatat dan tidak ada bukti yang ditemukan. Syailendra menganut agama Buddha dan Sanjaya penganut Siwa.

 

Bahkan saat bangsa Syailendra mulai memudar, tak menjadikan raja-raja dari wangsa Sanjaya memaksa masyarakat untuk menyembah Siwa. Mereka tetap menghormati bangunan Buddha dari Syailendra.

 

Bisa dilihat hingga kini, bangunan peninggalan Syailendra dan Sanjaya berdiri berdampingan. Borobudur yang merupakan warisan dari wangsa Syailendra tetap berdiri berdampingan dengan monumen Roro Jonggrang.

 

Dikutip dari buku tersebut, menurut catatan Bernanrd H.M. Vlekke, praktik penyembahan yang sangat eksklusif tidak pernah ditemukan. Munculnya agama-agama baru tidak menggeser agama lama namun turut menambah unsur dan pengayaan.  Dengan kata lain tidak ada paksaan untuk menyembah Siwa atau Budha. 

 

Tak hanya dalam konsep dan gagasan, namun juga menjiwai praktik politik dan kekuasaan, sosial-keagamaan, arsitektur dan juga sastra. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat dilihat dari zaman ke zaman. Tidak mengherankan bahwa bangunan peribadatan sejak masa Mataram Kuno dengan mudah ditemukan perpaduan simbol Siwa dan Buddha yang merepresentasikan doktrin Bhinneka Tunggal Ika. 

 

TATA FERLIANA

Baca juga:

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus