BERIKUT ini wawancara Yusril Djalinus dari TEMPO dengan Menteri
P & K Dr. Daoed Joesoef:
Dalam wawancara dengan TEMPO, beberapa jam setelah dilantik
menjadi menteri P&K tiga bulan lalu, anda mengatakan sudah
menyiapkan konsep Undang-Undang Pokok Pendidikan dan
Pengembangan Kebudayaan. Anda juga menyebut Taman Siswa ketika
menjelaskan konsep tadi. Apakah idenya dari sana?
Ketika menyusun konsep itu saya mengunci diri di dalam
perpustakaan saya. Saya tidak minta konsultasi orang lain. Tapi
saya membaca apa yang pernah ditulis di sini. Jadi kalau
kebetulan itu sesuai dengan salah satu konsep atau ide dari
suatu lembaga atau salah seorang Indonesia yang ada, itu
kebetulan. Suatu kebetulan yang baik.
Mengunci diri di perpustakaan apakah juga berarti sama sekali
tidak mengambil referensi dari karangan orang lain, misalnya
Ivan Illich?
Tentu saya baca buku-buku orang lain termasuk Ivan Illich. Tapi
semenjak saya masuk ke departemen ini, segala sesuatu mengenai
pendidikan dan pengembangan kebudayaan harus dihasilkan oleh
otak anak Indonesia sendiri. Saya tak memerlukan konsultan
negeri mana pun mengenai apa pun. Ini bukan berarti saya sempit,
tidak mendengarkan pendapat orang lain. Saya cukup banyak
membaca. Tapi saya memilih apa saja yang harus dijalankan di
negeri saya sendiri.
Kapan fikiran untuk menelurkan konsep itu timbul. Semenjak
diangkat menjadi staf ahli Menteri P&K, ketika masih di CSIS,
atau ketika masih belajar di Perancis?
Ide itu muncul ketika saya masih pelajar di Sumatera Utara,
zaman Jepang. Saya bersama dua pelajar, yang tak usah saya sebut
namanya, hidup pada saat-saat aktifitas pemuda mengalami tekanan
pihak Jepang. Saya penggemar alam. Pergi ke hutan, mandi di
sungai dan mendaki gunung. Saat itu di antara kami bertiga,
berdasar pengetahuan yang kami miliki, telah timbul suatu ide
bahwa Indonesia pada umumnya dan daerah di mana kami hidup pada
khususnya, tidak dapat dibangun berdasar kesukuan, tidak dapat
dibangun berdasar agama. Kita harus mencari suatu common
denominator, suatu persamaan. Persamaan itu adalah ilmu
pengetahuan. Dan kalau kita bicara ilmu pengetahuan, kita harus
mengembangkan itu melalui saluran pendidikan formal. Dan kalau
bicara pendidikan formal, kita bicara sekolah. Semenjak itu kami
terus melakukan respondensi sesuai dengan perkembangan intelek
yang kami miliki. Saya kemudian dapat kesempatan belajar di
Paris. Saya kuliah dengan selalu diskusi dengan orang yang di
negeri itu dianggap maju fikirannya dalam pendidikan. Kemudian
saya rumuskan. Ketika kembali ke Indonesia, diboyong CSIS --
yang sebetulnya telah didirikan di Eropa Barat -- kami
berpendirian bahwa pendidikan itu masalah strategis. Maka
dipikirkanlah di CSIS. Kebetulan saya diminta menjadi staf ahli
Menteri P&K. Ide saya lebih berkembang. Jadi sebenarnya sudah
lama, cuma pematangannya bertahap.
Kalau memang konsep itu harus dilakukan kenapa tidak dari
dulu-dulu ?
Dulu kan bukan saya yang menjadi menteri. Secara cuplikan,
gagasan saya sudah saya lontarkan lewat tulisan-tulisan sesuai
dengan tugas saya sebagai intelektuil. Saya tidak tahu apa dulu
ada yang menanggapi atau tidak. Dan sekarang ide itu saya beli
kembali untuk saya terapkan di sini.
Sampai seberapa besar sebenarnya perbedaan konsep anda dengan
yang selama ini sudah dijalankan. Ada perbedaan prinsipiil?
Intinya berbeda. Juga pendekatannya, sistimatiknya.
Di mana letak perbedaan itu?
Dalam memandang tugas pendidikan. Saya melihat pendidikan tidak
hanya untuk tugas nasional, melainkan tugas universiil, tugas
nasional dan tugas kemanusiaan. Masing-masing bobotnya sama, dan
itu diterapkan sesuai dengan jenjangnya. Saya kira itu perbedaan
fundamentil.
Jalan fikiran anda banyak menekankan pendidikan individuil. Apa
itu tidak liberalistis dan individualistis?
Tergantung apa yang disebut liberalistis dan individualistis.
Apa yang di Amerika dikatakan liberal, di Eropa Barat disebut
sosial demokrat. Bahkan di Inggeris dijalankan oleh Partai
Buruh.
Tentang komisi pembaharuan pendidikan yang akan dibentuk nanti.
Tidakkah akan terjadi dualisme dengan BP3K, mengingat keduanya
antara lain sama-sama bertugas menyusun konsep pendidikan?
Tidak. Komisi yang akan dibentuk itu one for all. Komisi itu
memang ditugaskan untuk merumuskan konsep. Sesudah itu bubar.
Komisi itu bekerja dengan hal-hal yang sudah saya tetapkan.
Yang akan menjadi anggota komisi itu pejabat pemerintah atau
swasta?
Tidak penting. Yang saya akan lihat adalah hasil karya tulisan
dan fikirannya dalam hal pendidikan. Itulah kriterianya.
Jumlahnya tak akan lebih dari 15 orang, dan permulaan Agustus
nanti sudah bisa diumumkan nama-namanya.
Tentang normalisasi kampus. Kenapa pemecahan persoalan yang
menyangkut mahasiswa tak mengikutsertakan mahasiswa?
Mereka masih bodoh, harus dididik dulu. Itu jelas. Di lingkungan
universitas, kalau ada orang yang paling lemah ilmu
pengetahuannya adalah mahasiswa. Itu sebenarnya harus mereka
sadari. Jadi memang keadaannya pahit. Saya ingin mengumpamakan
sebuah fabel dalam cerita Andersen. Ada seorang raja yang
ditakuti semua orang. Nah, mahasiswa selama ini diagung-agungkan
masyarakat --yang juga tidak mengetahui. Sekarang saya ingin
mengatakan kepada mahasiswa: kamu ini telanjang. Baju
pengetahuanmu belum ada. Ada sebuah organisasi mahasiswa yang
salah tangkap, mengatakan konsep Pak Daoed itu hendak
menyempitkan aktifitas mahasiswa. Justru sebaliknya. Tugas
penalaran individuil yang harus dilakukan-mahasiswa itu
menyangkut fikiran paling luas. Seluruh jagad raya ini terbuka
untuk analisa fikiran. Fikiran tak bisa dikuasai siapapun. Bisa
membahas apa saja. Sekarang soalnya: sanggupkah mereka
menghadapi tantangan itu ini.
Beberapa universitas nampaknya tetap menginginkan struktur
lembaga kemahasiswaan yang lama. Bagaimana?
Mereka sebenarnya mau menerima konsep normalisasi kampus. Tapi
takut kehilangan muka. Kalau masih muda sudah memikirkan muka,
bagaimana. Yang harus diasah 'kan otak. Mahasiswa punya
egosentrisme. Pada asasnya mereka selalu mengatakan setuju.
Kalaupun tidak setuju, karena tidak ada dewan mahasiswa, itu kan
egois. Mereka mengklaim diri sebagai pengabdi masyarakat. Untuk
mengembangkan masyarakat tidak perlu dewan mahasiswa kok. Saya
katakan, tanpa dewan mahasiswa masyarakat jalan terus. Dewan
mahasiswa adalah kasus mereka. Jadi kalau mereka berteriak
mengatakan demi masyarakat, itu sebenarnya demi mereka. Saya
mau mereka tidak egois.
Jadi anda akan jalan terus dengan konsep normalisasi kampus itu?
Ya. Kalau ada rektor yang tidak melaksanakan dengan baik, akan
saya tindak. Sebab mereka ini semuanya pegawai negeri, dan
pegawai negeri harus melaksanakan kebijaksanaan Pemerintah.
Kepada mahasiswa juga akan diambil tindakan?
Kepada mahasiswa juga akan dilakukan tindakan.
Misalnya tindakan apa?
Ya, lihat apa yang sudah ditentukan secara administratif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini