Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Konsep Dan Fabel Andersen

Komisi pembaruan pendidikan yang akan dibentuk, bertugas untuk merumuskan konsep pendidikan formal yang mempunyai bobot sama. normalisasi kampus akan jalan terus. (pdk)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERIKUT ini wawancara Yusril Djalinus dari TEMPO dengan Menteri P & K Dr. Daoed Joesoef: Dalam wawancara dengan TEMPO, beberapa jam setelah dilantik menjadi menteri P&K tiga bulan lalu, anda mengatakan sudah menyiapkan konsep Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengembangan Kebudayaan. Anda juga menyebut Taman Siswa ketika menjelaskan konsep tadi. Apakah idenya dari sana? Ketika menyusun konsep itu saya mengunci diri di dalam perpustakaan saya. Saya tidak minta konsultasi orang lain. Tapi saya membaca apa yang pernah ditulis di sini. Jadi kalau kebetulan itu sesuai dengan salah satu konsep atau ide dari suatu lembaga atau salah seorang Indonesia yang ada, itu kebetulan. Suatu kebetulan yang baik. Mengunci diri di perpustakaan apakah juga berarti sama sekali tidak mengambil referensi dari karangan orang lain, misalnya Ivan Illich? Tentu saya baca buku-buku orang lain termasuk Ivan Illich. Tapi semenjak saya masuk ke departemen ini, segala sesuatu mengenai pendidikan dan pengembangan kebudayaan harus dihasilkan oleh otak anak Indonesia sendiri. Saya tak memerlukan konsultan negeri mana pun mengenai apa pun. Ini bukan berarti saya sempit, tidak mendengarkan pendapat orang lain. Saya cukup banyak membaca. Tapi saya memilih apa saja yang harus dijalankan di negeri saya sendiri. Kapan fikiran untuk menelurkan konsep itu timbul. Semenjak diangkat menjadi staf ahli Menteri P&K, ketika masih di CSIS, atau ketika masih belajar di Perancis? Ide itu muncul ketika saya masih pelajar di Sumatera Utara, zaman Jepang. Saya bersama dua pelajar, yang tak usah saya sebut namanya, hidup pada saat-saat aktifitas pemuda mengalami tekanan pihak Jepang. Saya penggemar alam. Pergi ke hutan, mandi di sungai dan mendaki gunung. Saat itu di antara kami bertiga, berdasar pengetahuan yang kami miliki, telah timbul suatu ide bahwa Indonesia pada umumnya dan daerah di mana kami hidup pada khususnya, tidak dapat dibangun berdasar kesukuan, tidak dapat dibangun berdasar agama. Kita harus mencari suatu common denominator, suatu persamaan. Persamaan itu adalah ilmu pengetahuan. Dan kalau kita bicara ilmu pengetahuan, kita harus mengembangkan itu melalui saluran pendidikan formal. Dan kalau bicara pendidikan formal, kita bicara sekolah. Semenjak itu kami terus melakukan respondensi sesuai dengan perkembangan intelek yang kami miliki. Saya kemudian dapat kesempatan belajar di Paris. Saya kuliah dengan selalu diskusi dengan orang yang di negeri itu dianggap maju fikirannya dalam pendidikan. Kemudian saya rumuskan. Ketika kembali ke Indonesia, diboyong CSIS -- yang sebetulnya telah didirikan di Eropa Barat -- kami berpendirian bahwa pendidikan itu masalah strategis. Maka dipikirkanlah di CSIS. Kebetulan saya diminta menjadi staf ahli Menteri P&K. Ide saya lebih berkembang. Jadi sebenarnya sudah lama, cuma pematangannya bertahap. Kalau memang konsep itu harus dilakukan kenapa tidak dari dulu-dulu ? Dulu kan bukan saya yang menjadi menteri. Secara cuplikan, gagasan saya sudah saya lontarkan lewat tulisan-tulisan sesuai dengan tugas saya sebagai intelektuil. Saya tidak tahu apa dulu ada yang menanggapi atau tidak. Dan sekarang ide itu saya beli kembali untuk saya terapkan di sini. Sampai seberapa besar sebenarnya perbedaan konsep anda dengan yang selama ini sudah dijalankan. Ada perbedaan prinsipiil? Intinya berbeda. Juga pendekatannya, sistimatiknya. Di mana letak perbedaan itu? Dalam memandang tugas pendidikan. Saya melihat pendidikan tidak hanya untuk tugas nasional, melainkan tugas universiil, tugas nasional dan tugas kemanusiaan. Masing-masing bobotnya sama, dan itu diterapkan sesuai dengan jenjangnya. Saya kira itu perbedaan fundamentil. Jalan fikiran anda banyak menekankan pendidikan individuil. Apa itu tidak liberalistis dan individualistis? Tergantung apa yang disebut liberalistis dan individualistis. Apa yang di Amerika dikatakan liberal, di Eropa Barat disebut sosial demokrat. Bahkan di Inggeris dijalankan oleh Partai Buruh. Tentang komisi pembaharuan pendidikan yang akan dibentuk nanti. Tidakkah akan terjadi dualisme dengan BP3K, mengingat keduanya antara lain sama-sama bertugas menyusun konsep pendidikan? Tidak. Komisi yang akan dibentuk itu one for all. Komisi itu memang ditugaskan untuk merumuskan konsep. Sesudah itu bubar. Komisi itu bekerja dengan hal-hal yang sudah saya tetapkan. Yang akan menjadi anggota komisi itu pejabat pemerintah atau swasta? Tidak penting. Yang saya akan lihat adalah hasil karya tulisan dan fikirannya dalam hal pendidikan. Itulah kriterianya. Jumlahnya tak akan lebih dari 15 orang, dan permulaan Agustus nanti sudah bisa diumumkan nama-namanya. Tentang normalisasi kampus. Kenapa pemecahan persoalan yang menyangkut mahasiswa tak mengikutsertakan mahasiswa? Mereka masih bodoh, harus dididik dulu. Itu jelas. Di lingkungan universitas, kalau ada orang yang paling lemah ilmu pengetahuannya adalah mahasiswa. Itu sebenarnya harus mereka sadari. Jadi memang keadaannya pahit. Saya ingin mengumpamakan sebuah fabel dalam cerita Andersen. Ada seorang raja yang ditakuti semua orang. Nah, mahasiswa selama ini diagung-agungkan masyarakat --yang juga tidak mengetahui. Sekarang saya ingin mengatakan kepada mahasiswa: kamu ini telanjang. Baju pengetahuanmu belum ada. Ada sebuah organisasi mahasiswa yang salah tangkap, mengatakan konsep Pak Daoed itu hendak menyempitkan aktifitas mahasiswa. Justru sebaliknya. Tugas penalaran individuil yang harus dilakukan-mahasiswa itu menyangkut fikiran paling luas. Seluruh jagad raya ini terbuka untuk analisa fikiran. Fikiran tak bisa dikuasai siapapun. Bisa membahas apa saja. Sekarang soalnya: sanggupkah mereka menghadapi tantangan itu ini. Beberapa universitas nampaknya tetap menginginkan struktur lembaga kemahasiswaan yang lama. Bagaimana? Mereka sebenarnya mau menerima konsep normalisasi kampus. Tapi takut kehilangan muka. Kalau masih muda sudah memikirkan muka, bagaimana. Yang harus diasah 'kan otak. Mahasiswa punya egosentrisme. Pada asasnya mereka selalu mengatakan setuju. Kalaupun tidak setuju, karena tidak ada dewan mahasiswa, itu kan egois. Mereka mengklaim diri sebagai pengabdi masyarakat. Untuk mengembangkan masyarakat tidak perlu dewan mahasiswa kok. Saya katakan, tanpa dewan mahasiswa masyarakat jalan terus. Dewan mahasiswa adalah kasus mereka. Jadi kalau mereka berteriak mengatakan demi masyarakat, itu sebenarnya demi mereka. Saya mau mereka tidak egois. Jadi anda akan jalan terus dengan konsep normalisasi kampus itu? Ya. Kalau ada rektor yang tidak melaksanakan dengan baik, akan saya tindak. Sebab mereka ini semuanya pegawai negeri, dan pegawai negeri harus melaksanakan kebijaksanaan Pemerintah. Kepada mahasiswa juga akan diambil tindakan? Kepada mahasiswa juga akan dilakukan tindakan. Misalnya tindakan apa? Ya, lihat apa yang sudah ditentukan secara administratif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus