UNTUK apa libur? Untuk melonggarkan syaraf setelah ujian? Di Perancis, menurut majalah Le Point 3 Juli, liburan sekolah merupakan sumber ketidakrataan tingkat pendidikan anak-anak sekolah. Anak-anak yang berduit memang bisa menambah horison pandangan mereka menembus dinding-dinding sekolah dengan mengadakan perjalanan. Paling tidak menyeberangi daerah di mana mereka berdiam. Tetapi anak-anak yang tidak beruntung tinggal di rumah saja. Nonton televisi dan membantu ayah . . . Di sini, dalam Seminar Hari Libur Sekolah yang diselenggarakan PGRI dan KNPI tahun 1975, pemrasaran Dr Midian Sirait ada menyebut tentang pemilihan hari libur yang harus dilihat dari masa di mana mobilitas si anak bisa disalurkan. "Salah satu kegiatan yang dapat menampungnya ialah kegiatan-kegiatan para petani," katanya. Maklumlah negeri ini menurut sensus 1971, penduduknya 83% tinggal di pedesaan. Tapi untuk Indonesia, menetapkan bulan tertentu sebagai hari libur "supaya bapak tani bisa ditolong dengan tenaga anak mereka yang gratis itu" memang sulit. Ada daerah yang bisa panen sampai tiga kali setahun. Dan waktu panen pun bisa berbeda-beda. Belum lagi kalau ada wereng. Apa yang mau dipanen . . . Menurut ketentuan Menteri P&K Daoed Joesoef, liburan untuk tahun ajaran 1978/1979 akan meliputi sekitar 70 hari. Terdiri dari 30 hari untuk liburan besar sesudah akhir tahun ajaran. Lalu puasa dan Idulfitri 10 hari. 15 hari libur khusus untuk perayaan keagamaan. Libur caturwulan 12 hari. Dan libur semester 6 hari. Maka hari sekolah efektif dalam setahun minimum 240 hari. Penyeragaman liburan dari seluruh tingkat pendidikan ini ditempuh supaya orangtua dengan mudah bisa melakukan bimbingan bersama kepada anak-anaknya. "Saya ingin supaya kehidupan keluarga yang kurang rapat karena perbedaan masa libur dulu, tumbuh kembali," kata Daoed Joesoef. Dengan demikian keluarga bisa memainkan peranan sebagai sebuah pusat pendidikan. Sebab hari libur bukan berarti berhentinya pendidikan, tapi hanya sekedar pengalihan pendidikan formil ke pendidikan tidak resmi. Berikut ini gambaran bagaimana sebuah keluarga di berbagai tempat mengisi hari libur: Jakarta "Anak saya yang paling besar di SMA kalau libur memang sudah punya rencana sendiri. Kalau tidak study tour bersama teman-temannya, ia pergi ke keluarga di daerah atau luar kota," kata Siswandi, 45 tahun, di Kebayoran. Dulu, waktu masih di SMP kebiasaan memanfaatkan hari libur memang tak pernah dipikirkan keluarga Siswandi. Tapi sekarang sejak duduk di SMA hari libur membawa suasana dan beban baru. "Memang teman-temannya pada begitu, saya mau apa lagi," katanya rendah. Tapi ada akibatnya. "Mau nggak mau saya harus mencarikan uang tambahan untuk kebutuhan anak saya itu. Pada musim liburan kemarin sekolah mengharuskan study tour ke Bali 8 hari. Saya terpaksa cari uang Rp 25.000. Kalau tak dituruti saya takut anak saya ketinggalan." Sementara itu Pak Yahya di daerah Tebet, seorang pemborong yang sedang tinggi rejeki, mengatakan: "Kalau libur anak-anak mengulangi pelajaran yang kurang mereka kuasai. Kadang mereka menyalin catatan yang kurang lengkap." Sementara itu sebuah keluarga yang dipimpin seorang dokter yang makmur, tahun ini merencanakan perjalanan ke Eropa. "Rencana semula mau mengajak keliling dunia, tapi mengingat keadaan keuangan, Eropa sajalah dulu. Tahun depan baru ke Amerika supaya mereka bisa dapat perbandingan. Perjalanan ini untuk mendidik mereka dapat berdiri sendiri. Kalau di rumah ada pembantu, dalam perjalanan mereka harus mempersiapkan sendiri. Cuci sendiri dan makan sederhana." Kisaran Pak Syakir dari Tanjung Mulia, Kecamatan Tanjung Tiram (Asahan), bercerita tentang adanya beberapa anak kampung tempat dia tinggal bertamasya ke daerah pegunungan Berastagi atau Parapat. "Tapi itu paling tidak anak mandor atau anak asisten kebun. Kalau anak saya, melihat Medan saja belum pernah." Pak Syakir, 56 tahun, pensiunan buruh perkebunan milik PT Uni Royal, bersyukur benar kalau libur datang. Karena itu berarti tambahan pendapatan sekian ratus rupiah dari hasil anak-anak mencari kayu bakar. Terkadang kalau kayu bakar cukup di rumah, kayu bakar tadi dibawa anak-beranak Syakir ke Kisaran. Dulu, menurut cerita orangtua itu, anak-anaknya (Andi dan Anto) bisa berdikari untuk membeli baju. Sehabis sekolah atau libur, mereka mengambil upahan membersihkan kebun karet. "Tapi belakangan ini anak-anak dilarang bekerja. Katanya wartawan marah," polos dia bercerita. Rupanya saking seringnya koran memuat dipekerjakannya anak di bawah umur untuk kerja kasar di perkebunan, maka anak-anak itu jadi kehilangan kesempatan kerja juga. Malang Hari libur Imam Santoso, duduk di kelas terakhir SMEA Sumberpucung, Malang Selatan, dihabiskan di belakang mobil kolt. Gajinya Rp 1000 sehari. Ia tak kelihatan dekat dengan kegiatan ayahnya M. Ali yang sibuk mengurusi sawah seluas seperempat Ha. 5 mulut hidup dan mati dari tanah sejengkalitu. Untuk kebutuhan sekolah, Imam Santoso (20 tahun) membanting setir dari desa, hidup sebagai supir remaja. Tahu kalau ada yang sedang membangun rumah ia pernah ikut menawarkan tenaga sebagai kuli. Tak urung kerja berat itu berpengaruh terhadap ketenangannya belajar. "Ketika di kelas I, nilai ulangan saya merosot," katanya. Tapi Imam tak terpisah dari kebebasan remajanya. Tak seluruh hari libur berkejar-kejaran dengan rupiah. Terkadang sempat juga dia menikmati bagaimana rasanya camping di Popoh atau Gunung Panderman. Yogyakarta Dari sebidang tanah setengah hektar mana mungkin Kasimo (45 tahun) menggantungkan seluruh nasib 4 orang anaknya yang masih duduk di SMA, SMP dan SD. Ibu Kasimo kemudian membuka warung, di mana anak-anaknya bisa menumpahkan tenaga mereka semasa liburan. Ada pula niat kuat Pak Kasimo untuk memberesi isi anak-anaknya. "Mereka harus diberi kepinteran. Karena dengan kepinteran orang tak bakalan bisa kesasar," katanya. Modal pendidikan untuk anak-anaknya itu adalah sebuah bengkel sepeda. Ia tak suka melihat anak-anaknya dolan saja kalau hari libur. Dan anak-anaknya memang penurut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini