Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam peristiwa kelam G30S pada 30 September 1965, putra-putra terbaik Indonesia gugur. Di Jakarta, 7 pahlawan revolusi menjadi korban operasi gelap itu, dann di Yogyakarta Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono pun menjadi korban rangkaian G30S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mayat Brigjen Katamso Darmokusumo salah satunya yang ditemukan dalam lubang yang sama dengan Kolonel Sugiyono 21 hari usai kematiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari dpad.jogjaprov.go.id, pada 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, terjadi upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan penculikan para jenderal di Jakarta. PKI pun berhasil menguasai RRI Yogyakarta, Markas Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.
Kemudian sore harinya PKI menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Sugiyono dan membawanya ke daerah Kentungan. Keduanya dipukul dengan kunci mortar dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sebuah lubang empat persegi panjang yang hanya berukuran 3x4 meter yang telah dipersiapkan. Kolonel Katamso yang telah kehilangan nyawanya dimasukkan terlebih dahulu, disusul dengan Letkol Sugiyono.
Jenazah keduanya baru ditemukan pada 21 Oktober 1965 setelah dilakukan pencarian besar-besaran. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan yang telah rusak dan membusuk dimakan waktu. Keesokan harinya mayat Katamso dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Profil Brigjen Katamso
Dikutip dari arpus.sragenkab.go.id, Katamso Dharmokusumo lahir pada 5 Februari 1923 di Sragen, Surakarta, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Katamso bernama Ki Sasrosudarmo, yang mempunyai latar belakang sosial sebagai golongan menengah.
Pendidikan umum tertinggi ditempuh Katamso pada Meer liigebreid Lager Onderwijs (MULO) atau kini disebut SMP. la tak sempat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, sebab setelah selesai dari MULO, Jepang telah menduduki Indonesia.
Saat zaman penjajahan Jepang Katamso mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA). Usai menyelesaikan pendidikannya ini, ia diangkat menjadi Budanco atau komandan regu pada Batalyon 2 di Sala. Setahun kemudian Desember 1944 pangkatnya dinaikkan menjadi komandan peleton. Ia tetap berkedudukan di Sala.
Ia membangun bahtera rumah tangga dengan seorang perempuan bernama RR. Sriwulan Murni. Dari kehidupan pernikahannya melahirkan tujuh anak yang dua di antaranya wanita, yaitu Endang Murtaningsih dan Murni Ediyanti. Lima anak laki-lakinya adalah Putut Kusdarmanto, Teguh Murtamso, Heru Sutoko, Ery Murwanto, dan Tamso Muryanto.
Usai proklamasi kemerdekaan, ia mengikuti TKR yang perlahan lahan berubah menjadi TNI. Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan Kedaulatan, beliau diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.
Saat terjadinya kudeta oleh PKI pada 1 Oktober 1965 di Yogyakarta dengan penculikan para jenderal di Jakarta. PKI akhirnya berhasil menguasai RRI Jogjakarta, Markas Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.
Kemudian PKI menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Sugiono pada 2 Oktober 1965 dini hari dan membawanya ke daerah Kentungan. Ia tewas setelah kepalanya dipukul dengan kunci mortal besar. Jenazahnya baru ditemukan pada 21 Oktober 1965 dan dikebumikan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Kolonel Katamso ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Brigadir Jenderal Katamso yang meninggalkan seorang isteri dan tujuh orang anak ini, memiliki pula 10 tanda kehormatan sebagai penghargaan terhadap tugas yang dijalankannya.
ANNISA FIRDAUSI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.