Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA kelas 10 H di SMU Negeri 70 Jakarta sangat riuh pada suatu siang yang gerah awal Oktober lalu. Celoteh para siswa bergema di segala penjuru. Di salah satu sudut kelas, beberapa siswa terlibat perdebatan seru. Di sudut lainnya, ada yang asyik membalik-balik buku pelajaran. Sembari berbincang, ada pula yang dengan santai duduk di atas meja.
Jangan keliru, mereka bukan lagi menikmati jam pelajaran kosong karena ketidakhadiran guru. Mereka justru sedang membahas pelajaran ekonomi. Topiknya seru: permintaan (demand).
Melihat tingkah anak-anak baru gede itu, Theresia Suwarsih anteng saja. Tak ada kesan marah di wajah sang guru ekonomi. Bahkan sesekali ia—sambil berdiri di ambang pintu—tersenyum melihat ulah siswanya. Baginya, sikap santai para siswa yang ditingkahi canda dan tawa bukanlah perbuatan terlarang.
Suasana belajar yang santai dan bergairah seperti itu sudah lazim di sekolah di kawasan Blok M, Jakarta Selatan itu. Soalnya, sejak dua tahun lalu, salah satu SMU favorit di Ibu Kota ini sudah menerapkan Kurikulum 2004. Ini nama anyar untuk kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang sejak dua tahun silam diujicobakan di sejumlah sekolah oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Kurikulum baru tersebut memuat kandungan kompetensi yang terfokus tidak hanya pada aspek pola pikir—seperti pada kurikulum 1994—tetapi juga perilaku dan keterampilan siswa. Siswa dituntut mengeksplorasi seluruh kemampuannya. Mereka tak perlu takut tertinggal rekan-rekannya, karena ada program pengulangan—usai jam sekolah—bagi siswa yang gagal mencapai nilai minimal. Tiap sekolah punya standar nilai minimal masing-masing.
Jam belajar juga lebih pendek. Untuk SMU, dari 42 jam menjadi 36 jam dalam sepekan. Bagi SLTP, yang tadinya 42 jam berkurang delapan jam. Sedangkan buat SD, dari rata-rata 30-42 jam menjadi 27-30 jam. Menurut Siskandar, Kepala Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, kurikulum baru akan dilaksanakan di seluruh Indonesia pada 2004. "Tapi pelaksanaannya disesuaikan dengan kesiapan sekolah masing-masing," katanya.
Hasil uji coba Kurikulum 2004 lumayan. Seperti diakui Wakil Kepala Bidang Kurikulum SMU 70, Achmad Muchtar, penguasaan siswa terhadap mata pelajaran meningkat dari rata-rata 60 persen menjadi 75 persen. Ini bisa dimaklumi, karena dalam kurikulum baru para guru tak hanya menjejalkan materi pelajaran kepada muridnya, tetapi juga mengajak mereka lebih aktif mencari bahan pelajaran. "Dulu, guru mengajarkan materi sampai ke hal-hal yang detail, tapi sekarang hanya memberikan sebagian bahan. Setelah semua menguasai, baru ada pengayaan," katanya.
Guru tidak lagi menjadi dewa di dalam kelas, yang argumennya tak terbantahkan. Kini murid lebih leluasa mengungkapkan pendapatnya. Mereka bisa saja mendebat guru. Dengan demikian, guru dituntut lebih siap. "Guru harus lebih mengetahui persoalan," kata Theresia.
Yang paling merasakan manfaatnya adalah siswa—meski sebagian mengaku kurikulum baru membikin mereka capek. Sebab, mereka harus mencari sendiri bahan yang akan didiskusikan di kelas. Tapi manfaatnya diakui Ariana, 15 tahun, siswi SMU 70. Sebab, pengetahuan yang didapat tak gampang menguap, ya, karena harus dicari sendiri itu. "Sebenarnya lebih capek, tapi enggak bete. Guru juga enggak banyak ngomong," kata remaja berkacamata itu.
Kurikulum baru memang dikondisikan membuat siswa tidak bosan belajar. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta, Sukesti Martono, kurikulum baru menghargai hak asasi siswa, sehingga proses belajar-mengajar bisa lebih demokratis. Dalam menyampaikan pelajaran, guru harus lebih menyenangkan, mencerdaskan, dan memenuhi kebutuhan anak. "Syukur bisa mengasyikkan," katanya.
SMU 70 bukanlah satu-satunya sekolah yang ketempatan uji coba kurikulum baru. Ada 50 SD, SLTP, SMU di seluruh Indonesia, yang untuk itu didanai pemerintah untuk mengujicobakannya. Satu di antaranya SMU Negeri 2 Surabaya. Sekolah favorit di Kota Buaya itu ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bersama empat sekolah lainnya di Jawa Timur.
Suasana belajar-mengajar di sekolah di Jalan Wijaya Kusuma, Surabaya, itu tak jauh berbeda dengan SMU 70 Jakarta. Pada suatu siang yang terik awal Oktober silam, para siswa tampak betah tinggal di kelas meski jarum jam sudah menunjuk angka 13.50. Bel sekolah telah berbunyi dua kali. Siswa kelas 1 dan 2 belum juga beranjak meninggalkan gedung sekolah. Sebab, hari itu ada pengayaan materi. Hari Senin, Rabu, dan Jumat para siswa memang baru pulang pukul 16.00.
Segera setelah bel berbunyi, kelas pun terisi kembali oleh para murid. Tak lama, guru biologi Sri Partiwijani memasuki kelas 2 A2 A yang mendalami ilmu-ilmu biologi. Rupaya siang itu Guru Eni—demikian ia biasa disapa oleh siswanya—telah menyiapkan kelas untuk presentasi tentang sel.
Guru Eni menawarkan kepada para siswa siapa yang mau maju. Tawaran itu disambar Sigit Satriyo. Rupanya ia sudah menyiapkan transparansi. Proyektor yang sudah disiapkan di bangku paling depan segera dinyalakan. Tembok putih kelas dijadikan layar. Transparansi segera dipasang dan muncullah dengan cukup nyata gambar sel dan penampang sel. Bak seorang guru, Satriyo mempresentasi bahan pelajaran di hadapan para rekannya. Ia tampak lancar bicara tentang sel.
Nalendra Permana mendapat giliran presentasi berikutnya. Proyektor kembali dinyalakan dan remaja berawak gendut dan berkacama minus ini pun segera bercuap-cuap. Nada bicaranya tak cukup lancar. Tapi ia berani "menjadi guru" teman-temannya. Keringat mengairi wajahnya.
Rupanya Nalendra salah sebut perihal beda ekskresi dan sekresi. Kontan kelas menjadi hangat. Perdebatan mencari pemahaman dua istilah yang artinya mirip itu menjadi ramai. Lili Rosalina, siswi yang duduk di baris kedua, menyela dan berusaha menjelaskan arti dua istilah biologi tadi. Sayang, penjelasannya kurang pas.
Guru Eni pun menawarkan ke forum lagi. Tawaran disambut Irfan, yang duduk di belakang Lili. Ia menjelaskan, ekskresi adalah pembuangan yang dilakukan sel di dalam tubuh. Sedang sekresi ialah pembuangan dari tubuh. Guru Eni mengangguk mengiyakan, meski ia berusaha menjelaskan lebih terperinci. Tepuk tangan meriah diberikan untuk Irfan. Seorang siswi yang duduk di pojok kelas usil nyeletuk, "Tumben Irfan bisa."
Kelas menjadi hidup. Padahal pelajaran dilakukan pada jam-jam rawan mengantuk. Tapi, karena metode belajarnya menyenangkan, siswa tetap bersemangat mengikutinya. Guru Eni punya kiat untuk membuat siswanya tetap betah di dalam kelas. Sebagai guru biologi, ia kerap mengaitkan topik pelajaran dengan kejadian sehari-hari yang dekat dengan siswa. Tak jarang ia mengupas persoalan "tabu" seperti ereksi, sperma, hubungan seksual, dan pembuahan. "Ya, beginilah. Kita harus pandai-pandai membuat anak tetap bersemangat," katanya.
Menurut Guru Eni, kurikulum baru sangat membantu siswa memahami materi pelajaran. Pasalnya, setiap siswa harus bisa menerangkan persoalan kepada teman sekelasnya. Mau tak mau, seorang siswa harus berjuang keras menguasai pelajaran. Paling tidak, agar mereka tak malu ketika harus berdiri di depan kelas.
Dimas, juga murid di kelas itu, sependapat dengan Guru Eni. Kurikulum baru memaksa siswa giat belajar. Kalau enak-enakan, tak akan menguasai materi. Siswa dituntut aktif mencari bahan sendiri. "Kalau hanya guru yang aktif menerangkan, bisa-bisa hanya lewat di kuping saja," katanya.
Wakil Kepala SMU Negeri 2 Surabaya, Kiswandi Imam, mengibaratkan Kurikulum 2004 sebagai perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Syaratnya, harus ditempuh selama 30 menit. Bagaimana siswa mencapai tujuan, itu diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Di mata Kiswandi, Kurikulum 2004 lebih bagus daripada Kurikulum 1994, tetapi siswa dan guru memang butuh waktu beradaptasi.
Menurut Rasiyo, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Kurikulum 2004 muncul atas dasar pemahaman bahwa pendidikan harus berbasis pada masyarakat. Harapannya, sekolah akan mempersiapkan siswa agar bisa terjun ke masyarakat sesuai dengan kompetensi masing-masing.
Pihak Departemen menyadari—setelah diujicobakan selama dua tahun—masih ada kekurangan yang harus segera dibenahi, terutama kesiapan para guru. Menurut Siskandar, Departemen Pendidikan Nasional akan bekerja sama dengan daerah-daerah untuk melatih guru. "Seperti layaknya profesi lain, guru juga perlu pelatihan kalau ada program baru," katanya.
Sapto Yunus, Sunudyantoro (Surabaya), Ecep S. Yasa (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo