Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lampu-lampu dikerubung laron

"laron-laron" itu selalu dikerubung -- dan seperti lingkaran setan. sudah habiskah upaya pemerintah untuk menghabisi mereka? di kudus ada contoh kecil.

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA dan kota-kota besar lainnya, bagaikan lampu yang tak pernah sepi dari kerumunan laron pengemis. Laron-laron itu rupanya tak mudah dihalau, tak hanya dengan mematikan lampu. Setiap kali dirazia, ditampung dan dicekoki berbagai nasihat dan keterampilan, lalu dilepaskan agar "mampu berdiri sendiri" -- tangan-tangan itu kembali menengadah dari pintu ke pintu rumah, di pinggir-pinggir jalan. Jakarta memang "dunia lain" yang paling pemurah bagi para peminta-minta. Uang Rp 25 yang tak laku lagi untuk berbicara di telepon umum tak ada nilainya lagi, hingga dengan mudah dilemparkan ke pengemis dengan rasa belas kasihan atau kesal. Tempat tinggal pun tak sulit. Begitu banyak sudut di Jakarta bisa menampung mereka, termasuk rumah-rumah yang khusus disediakan oleh orang-orang yang ingin menangguk sebagian hasil tadahan mereka. (lihat Sebuah Desa . . .). Karena itu, konon, status pengemis lebih terhormat dibandingkan dengan gelandangan. Berbagai upaya untuk menghentikan petualangan di sepanjang jalan dan pintu rumah itu rupanya tak banyak berarti. Ini diakui sendiri oleh Kepala Sub-bagian Pelayanan Masyarakat Biro Bina Sosial DKI Jakarta, Drs. Soejatno Boenjamin. "Kami seperti sudah kehabisan cara untuk mengikis para pengemis dari Jakarta ini," ungkapnya. Maksudnya, lingkaran setan itu berputar terus: dirazia, sebagian dipulangkan ke kampung asal, sebagian lagi dididik keterampilan di Panti Sosial III, Pondok Bambu atau di Panti Pengemis Pasar Rebo. Tapi tak lama kemudian: yang pulang kembali lagi, yang dianggap sudah terampil turun ke jalan lagi. Selain panti sosial, di Pondok Bambu juga ada Lembaga Pemasyarakatan Khusus (LPK) yang memproses dan menindak para pengemis sesuai dengan sanksi Peraturan Daerah No.3/1972. Oktober tahun lalu, razia besar-besaran di Jakarta hanya berhasil menciduk 420 orang pengemis, lebih separuhnya dimasukkan penampungan. Tetapi dana yang terbatas menyebabkan pemerintah tak kuat memberi makan sekian mulut dengan gratis. Pemerintah Daerah DKI menyediakan dana Rp 233 juta untuk gelandangan dan pengemis ini dalam tahun anggaran 1982/1983. Menjelang Lebaran lalu, sejak awal bulan, razia diadakan untuk kesekian kalinya. Tak begitu banyak yang diciduk karena penertiban itu konon bocor. Tapi yang pasti, seperti biasanya, para pengemis yang datang dari luar Jakarta selalu pulang kampung tiap menyongsong Lebaran. Itulah sebabnya hari-hari di sekitar Lebaran kemarin yang tinggal hanya pengemis-pengemis lokal. Namun belum sampai seminggu Lebaran usai, rombongan pengemis kembali masuk kota. Lantas, apa manfaat tempat penampungan pengemis selama ini? Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Wisma Dinas Sosial DKI, Drs. Waluyo, mengakui tempat penampungan itu "tak memenuhi harapan". Semula sasaran razia pengemis dan menampung mereka di beberapa tempat "mendidik agar pengemis itu mengerti kelemahannya dan kekuatannya untuk kemudian diberi cara mengatasi masalah dirinya". Namun rupanya, yang bernama "harga diri" tidak begitu penting lagi buat mereka yang sudah telanjur menikmati hasil dari mengemis. Dan celakanya, "keterampilan yang diberikan selama di penampungan tak menjamin mereka bisa hidup," seperti diakui Waluyo. Masalah menyalurkan bekas pengemis yang sudah terampil juga tak mudah, apalagi pendidikan dasar mereka yang rata-rata sangat rendah. "Selain itu umumnya para pengemis tidak terbiasa hidup susah, mereka telanjur manja, bekerja ringan dengan hasil lumayan," kata Waluyo. Lingkaran setan itu kini dicoba dengan resep baru, memberikan terapi kejutan. Yakni, pengemis yang terjaring di Jakarta akan dikirimkan ke Pulau Seribu. "Diharapkan pengemis akan takut dipulauseribukan," kata Waluyo. "Ini juga untuk memberikan terapi psikologis bagi pengemis berikutnya." Mengumpulkan mereka di Pulau Seribu sudah disetujui Gubernur DKI Jakarta. Namun menurut Soejatno Boenjamin, gagasan itu belum pasti kapan dilaksanakan. Masih perlu dipersiapkan berbagai langkah. Antara lain, diapakan pengemis itu di Pulau Seribu, pola pembinaan macam apa yang diberikan di seberang laut itu. "Perlu konsep lebih matang," ujar Soejatno. Pejabat ini juga menyayangkan tidak ada program antardaerah dalam menanggulangi pengemis. Yang dimaksud agaknya, begitu mudahnya penduduk luar Jakarta datang ke Ibukota tanpa diusut tujuannya. Tentu saja ini sulit dilakukan, karena yang bernama surat jalan untuk bepergian tidak lagi dianggap penting. Apalagi pintu Jakarta yang sudah lama dinyatakan tertutup, tidaklah begitu rapat. Sementara Jakarta siap memberikan terapi kejutan, Surabaya sebagai kota besar kedua, belum memikirkan cara memecahkan masalah pengemis sampai tuntas. Di kota pahlawan ini sudah dibangun penampungan tuna wisma terdiri dari 8 barak di Ngesong. Razia tuna wisma dilakukan setiap dua hari sekali, secara rutin Setiap operasi, rata-rata tertangkap 20 tuna wisma, di antaranya 3 sampai 5 orang pengemis. Mereka dididik, sekali lagi, keterampilan, dari bertukang batu sampai menjahit. Menurut Hubungan Masyarakat Kotamadya Surabaya, Moh. Faried, S.H. mereka yang masih produktif nantinya dikirimkan ke obyek transmigrasi, sementara yang tua dikirimkan ke rumah jompo. Tahun anggaran kemarin, hampir 400 tuna wisma berhasil ditransmigrasikan, di antaranya 20 pengemis. Proyek penampungan yang dibiayai Rp 30 juta setahun ini punya rencana melatih semua tuna wisma di Surabaya. Celakanya khusus untuk pengemis, proyek ini justru tak mempan, karena pengemis umumnya punya identitas yang lengkap, seperti KTP. "Tak ada alasan menahan mereka lebih lama," kata Faried. Karena pengemis itu rata-rata mengaku petani di desanya, Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya hanya menindak dengan memulangkan mereka ke asalnya. Apalagi para pengemis itu mudah berkelit dengan berbagai alasan jika berhasil diciduk. Andai tertangkap basah, Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya belum punya dasar hukum -- misalnya peraturan daerah -- untuk menahan pengemis dan gelandangan yang punya identitas diri. Yang ditahan hanyalah yang berstatus "penduduk liar". Pengemis yang dipulangkan ke asalnya, mungkin sekali akan kembali ke Surabaya. Terulang kembali lingkaran setan seperti di Jakarta. Maka Walikota Surabaya Moehadji Widjaja hanya perlu mengeluarkan imbauan yang terasa lunak, "janganlah mengemis di lampu-lampu lalu lintas, di samping bisa memacetkan jalan, membahayakan pengemis itu sendiri," seperti diungkapkan Faried. Para pengemis tampak mematuhi, mereka lebih suka masuk kampung, pertokoan, dan halaman masjid. "Mereka seperti memiliki wilayah kedaulatan masing-masing," kata Faried pula. Penanganan yang lebih keras terjadi di Bandung. Menjelang Lebaran lalu, pengemis diburu. "Hasilnya, 235 pengemis ditahan dan ditampung di dua tempat, sasana penampungan Karangsari dan Sasana Marga Mulia, Lembang," kata Endang Ma'sum, kepala Dinas Sosial Kotamadya Bandung. Di penampungan Karangsari, yang terletak di tengah sawah Jalan Caringin Bandung, para pengemis tidak diberi keterampilan apa-apa. Mereka diam di bedeng yang sumpek, tidur bergelar tikar. Sehari mendapat jatah makan Rp 250. Mereka diawasi terus-menerus oleh dua petugas Satpam secara bergilir. Dari 61 orang yang disimpan di sini, 6 orang melarikan diri dengan membobol pagar yang terbuat dari gedek. "Larinya cepat sekali dan lincah, padahal ketika dirazia mereka pura-pura buta," kata Ny. Nana, pengasuh di penampungan itu. Pengemis di Karangsari ini baru boleh meninggalkan tempat penampungan jika ada keluarga yang menjamin mereka. Jika keluarganya tak datang atau mengaku tak punya sanak saudara, sementara kelakuannya dinilai baik, dikirim ke tempat penampungan Marga Mulia, Lembang. Di tempat penampungan yang pernah dipakai sebagai tempat rehabilitasi anggota Darul Islam ini tersedia tanah perkebunan seluas 1 ha. "Pengemis itu diajari menanam jagung, ubi, bunga kol, kacang tanah," kata Umar, kepala Sasana Marga Mulia. Sasaran yang hendak dicapai di Marga Mulia: kelak para pengemis itu bisa dikirimkan ke daerah transmigrasi. Tidak ada jadwal sampai kapan mereka dianggap cukup matang untuk berangkat bersama transmigran lain. Apakah mereka benar-benar mengolah tanah di lokasi baru, atau kembali mengemis bukan lagi urusan Dinas Sosial Kodya Bandung. Pokoknya pengemis berkurang dari Bandung. Satu contoh penanganan pengemis yang unik muncul di Kudus, Jawa Tengah. Pengemis yang dijaring ditampung di Panti Karya, milik Dinas Sosial setempat. Mereka dibimbing keterampilan membuat sapu, anyaman, pertukangan, beternak ayam dan kambing. Jadwal keterampilan ini dimulai pukul 8 pagi sampai tengah hari. Setelah itu mereka bebas mencari kerja di luar, asalkan tidak mengemis. Ada yang menarik becak berjualan minyak tanah atau buruh. Malam mereka harus kembali ke Panti. Panti Karya ini sekarang berpenghuni 37 pengemis, sebagian hasil razia menjelang Lebaran. Menurut Bambang Prayogo, pimpinan Panti Karya itu, mereka diberi keterampilan paling lama 3 bulan, kemudian dilepaskan dengan santunan Rp 5.000 sebagai modal kerja. "Biasanya berhasil, banyak yang pulang kampung bekerja baik-baik, dan ada yang bertransmigrasi," katanya. Selama di Panti, pengemis yang berbakat dagang langsung praktek berjualan minyak tanah, karena Panti Karya itu sendiri adalah penyalur minyak tanah yang cukup besar di Kudus. Yang berbakat sebagai peternak Panti Karya memberikan pinjaman untuk membeli ternak. Cara ini sekaligus membuat mereka punya modal tambahan untuk hidup mandiri setelah keluar dari Panti. Cara luwes menangani pengemis ini menyebabkan kota kretek itu bersih dari peminta-minta yang dianggap mengotori kota. Anggaran yang disediakan Panti Karya, Rp 400.000 sebulan, dinilai Pemerintah Daerah Kudus sebagai "mencapai sasaran". Tapi Kudus, barangkali tak layak dijadikan contoh sukses menangani pengemis. Kota ini kecil, masalah sosial yang dihadapi warganya tentu juga kecil. Namun cara-cara aparat pemerintah memberi bimbingan kepada pengemis yang dirazia boleh ditiru. "Kami lebih banyak memberikan pengertian bahwa mengemis itu hina, tak punya harga diri, bekerja kasar dengan hasil lebih kecil dari mengemis, jauh lebih terhormat," kat Bambang Prayogo. Adakah di kota-kota besar, "harga diri" itu tak begitu penting?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus