JAKARTA dan kota-kota besar lainnya, bagaikan lampu yang tak
pernah sepi dari kerumunan laron pengemis. Laron-laron itu
rupanya tak mudah dihalau, tak hanya dengan mematikan lampu.
Setiap kali dirazia, ditampung dan dicekoki berbagai nasihat dan
keterampilan, lalu dilepaskan agar "mampu berdiri sendiri" --
tangan-tangan itu kembali menengadah dari pintu ke pintu rumah,
di pinggir-pinggir jalan.
Jakarta memang "dunia lain" yang paling pemurah bagi para
peminta-minta. Uang Rp 25 yang tak laku lagi untuk berbicara di
telepon umum tak ada nilainya lagi, hingga dengan mudah
dilemparkan ke pengemis dengan rasa belas kasihan atau kesal.
Tempat tinggal pun tak sulit. Begitu banyak sudut di Jakarta
bisa menampung mereka, termasuk rumah-rumah yang khusus
disediakan oleh orang-orang yang ingin menangguk sebagian hasil
tadahan mereka. (lihat Sebuah Desa . . .). Karena itu, konon,
status pengemis lebih terhormat dibandingkan dengan gelandangan.
Berbagai upaya untuk menghentikan petualangan di sepanjang jalan
dan pintu rumah itu rupanya tak banyak berarti. Ini diakui
sendiri oleh Kepala Sub-bagian Pelayanan Masyarakat Biro Bina
Sosial DKI Jakarta, Drs. Soejatno Boenjamin. "Kami seperti sudah
kehabisan cara untuk mengikis para pengemis dari Jakarta ini,"
ungkapnya. Maksudnya, lingkaran setan itu berputar terus:
dirazia, sebagian dipulangkan ke kampung asal, sebagian lagi
dididik keterampilan di Panti Sosial III, Pondok Bambu atau di
Panti Pengemis Pasar Rebo. Tapi tak lama kemudian: yang pulang
kembali lagi, yang dianggap sudah terampil turun ke jalan lagi.
Selain panti sosial, di Pondok Bambu juga ada Lembaga
Pemasyarakatan Khusus (LPK) yang memproses dan menindak para
pengemis sesuai dengan sanksi Peraturan Daerah No.3/1972.
Oktober tahun lalu, razia besar-besaran di Jakarta hanya
berhasil menciduk 420 orang pengemis, lebih separuhnya
dimasukkan penampungan. Tetapi dana yang terbatas menyebabkan
pemerintah tak kuat memberi makan sekian mulut dengan gratis.
Pemerintah Daerah DKI menyediakan dana Rp 233 juta untuk
gelandangan dan pengemis ini dalam tahun anggaran 1982/1983.
Menjelang Lebaran lalu, sejak awal bulan, razia diadakan untuk
kesekian kalinya. Tak begitu banyak yang diciduk karena
penertiban itu konon bocor. Tapi yang pasti, seperti biasanya,
para pengemis yang datang dari luar Jakarta selalu pulang
kampung tiap menyongsong Lebaran. Itulah sebabnya hari-hari di
sekitar Lebaran kemarin yang tinggal hanya pengemis-pengemis
lokal. Namun belum sampai seminggu Lebaran usai, rombongan
pengemis kembali masuk kota.
Lantas, apa manfaat tempat penampungan pengemis selama ini?
Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Wisma Dinas Sosial DKI, Drs.
Waluyo, mengakui tempat penampungan itu "tak memenuhi harapan".
Semula sasaran razia pengemis dan menampung mereka di beberapa
tempat "mendidik agar pengemis itu mengerti kelemahannya dan
kekuatannya untuk kemudian diberi cara mengatasi masalah
dirinya". Namun rupanya, yang bernama "harga diri" tidak
begitu penting lagi buat mereka yang sudah telanjur menikmati
hasil dari mengemis. Dan celakanya, "keterampilan yang
diberikan selama di penampungan tak menjamin mereka bisa hidup,"
seperti diakui Waluyo.
Masalah menyalurkan bekas pengemis yang sudah terampil juga tak
mudah, apalagi pendidikan dasar mereka yang rata-rata sangat
rendah. "Selain itu umumnya para pengemis tidak terbiasa hidup
susah, mereka telanjur manja, bekerja ringan dengan hasil
lumayan," kata Waluyo.
Lingkaran setan itu kini dicoba dengan resep baru, memberikan
terapi kejutan. Yakni, pengemis yang terjaring di Jakarta akan
dikirimkan ke Pulau Seribu. "Diharapkan pengemis akan takut
dipulauseribukan," kata Waluyo. "Ini juga untuk memberikan
terapi psikologis bagi pengemis berikutnya."
Mengumpulkan mereka di Pulau Seribu sudah disetujui Gubernur DKI
Jakarta. Namun menurut Soejatno Boenjamin, gagasan itu belum
pasti kapan dilaksanakan. Masih perlu dipersiapkan berbagai
langkah. Antara lain, diapakan pengemis itu di Pulau Seribu,
pola pembinaan macam apa yang diberikan di seberang laut itu.
"Perlu konsep lebih matang," ujar Soejatno. Pejabat ini juga
menyayangkan tidak ada program antardaerah dalam menanggulangi
pengemis. Yang dimaksud agaknya, begitu mudahnya penduduk luar
Jakarta datang ke Ibukota tanpa diusut tujuannya. Tentu saja ini
sulit dilakukan, karena yang bernama surat jalan untuk bepergian
tidak lagi dianggap penting. Apalagi pintu Jakarta yang sudah
lama dinyatakan tertutup, tidaklah begitu rapat.
Sementara Jakarta siap memberikan terapi kejutan, Surabaya
sebagai kota besar kedua, belum memikirkan cara memecahkan
masalah pengemis sampai tuntas. Di kota pahlawan ini sudah
dibangun penampungan tuna wisma terdiri dari 8 barak di
Ngesong. Razia tuna wisma dilakukan setiap dua hari sekali,
secara rutin Setiap operasi, rata-rata tertangkap 20 tuna
wisma, di antaranya 3 sampai 5 orang pengemis. Mereka dididik,
sekali lagi, keterampilan, dari bertukang batu sampai menjahit.
Menurut Hubungan Masyarakat Kotamadya Surabaya, Moh. Faried,
S.H. mereka yang masih produktif nantinya dikirimkan ke obyek
transmigrasi, sementara yang tua dikirimkan ke rumah jompo.
Tahun anggaran kemarin, hampir 400 tuna wisma berhasil
ditransmigrasikan, di antaranya 20 pengemis.
Proyek penampungan yang dibiayai Rp 30 juta setahun ini punya
rencana melatih semua tuna wisma di Surabaya. Celakanya khusus
untuk pengemis, proyek ini justru tak mempan, karena pengemis
umumnya punya identitas yang lengkap, seperti KTP. "Tak ada
alasan menahan mereka lebih lama," kata Faried. Karena pengemis
itu rata-rata mengaku petani di desanya, Pemerintah Daerah
Kotamadya Surabaya hanya menindak dengan memulangkan mereka ke
asalnya. Apalagi para pengemis itu mudah berkelit dengan
berbagai alasan jika berhasil diciduk.
Andai tertangkap basah, Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya
belum punya dasar hukum -- misalnya peraturan daerah -- untuk
menahan pengemis dan gelandangan yang punya identitas diri. Yang
ditahan hanyalah yang berstatus "penduduk liar". Pengemis yang
dipulangkan ke asalnya, mungkin sekali akan kembali ke Surabaya.
Terulang kembali lingkaran setan seperti di Jakarta. Maka
Walikota Surabaya Moehadji Widjaja hanya perlu mengeluarkan
imbauan yang terasa lunak, "janganlah mengemis di lampu-lampu
lalu lintas, di samping bisa memacetkan jalan, membahayakan
pengemis itu sendiri," seperti diungkapkan Faried. Para pengemis
tampak mematuhi, mereka lebih suka masuk kampung, pertokoan,
dan halaman masjid. "Mereka seperti memiliki wilayah kedaulatan
masing-masing," kata Faried pula.
Penanganan yang lebih keras terjadi di Bandung. Menjelang
Lebaran lalu, pengemis diburu. "Hasilnya, 235 pengemis ditahan
dan ditampung di dua tempat, sasana penampungan Karangsari dan
Sasana Marga Mulia, Lembang," kata Endang Ma'sum, kepala Dinas
Sosial Kotamadya Bandung.
Di penampungan Karangsari, yang terletak di tengah sawah Jalan
Caringin Bandung, para pengemis tidak diberi keterampilan
apa-apa. Mereka diam di bedeng yang sumpek, tidur bergelar
tikar. Sehari mendapat jatah makan Rp 250. Mereka diawasi
terus-menerus oleh dua petugas Satpam secara bergilir. Dari 61
orang yang disimpan di sini, 6 orang melarikan diri dengan
membobol pagar yang terbuat dari gedek. "Larinya cepat sekali
dan lincah, padahal ketika dirazia mereka pura-pura buta," kata
Ny. Nana, pengasuh di penampungan itu.
Pengemis di Karangsari ini baru boleh meninggalkan tempat
penampungan jika ada keluarga yang menjamin mereka. Jika
keluarganya tak datang atau mengaku tak punya sanak saudara,
sementara kelakuannya dinilai baik, dikirim ke tempat
penampungan Marga Mulia, Lembang. Di tempat penampungan yang
pernah dipakai sebagai tempat rehabilitasi anggota Darul Islam
ini tersedia tanah perkebunan seluas 1 ha. "Pengemis itu diajari
menanam jagung, ubi, bunga kol, kacang tanah," kata Umar, kepala
Sasana Marga Mulia.
Sasaran yang hendak dicapai di Marga Mulia: kelak para pengemis
itu bisa dikirimkan ke daerah transmigrasi. Tidak ada jadwal
sampai kapan mereka dianggap cukup matang untuk berangkat
bersama transmigran lain. Apakah mereka benar-benar mengolah
tanah di lokasi baru, atau kembali mengemis bukan lagi urusan
Dinas Sosial Kodya Bandung. Pokoknya pengemis berkurang dari
Bandung.
Satu contoh penanganan pengemis yang unik muncul di Kudus, Jawa
Tengah. Pengemis yang dijaring ditampung di Panti Karya, milik
Dinas Sosial setempat. Mereka dibimbing keterampilan membuat
sapu, anyaman, pertukangan, beternak ayam dan kambing. Jadwal
keterampilan ini dimulai pukul 8 pagi sampai tengah hari.
Setelah itu mereka bebas mencari kerja di luar, asalkan tidak
mengemis. Ada yang menarik becak berjualan minyak tanah atau
buruh. Malam mereka harus kembali ke Panti.
Panti Karya ini sekarang berpenghuni 37 pengemis, sebagian hasil
razia menjelang Lebaran. Menurut Bambang Prayogo, pimpinan Panti
Karya itu, mereka diberi keterampilan paling lama 3 bulan,
kemudian dilepaskan dengan santunan Rp 5.000 sebagai modal
kerja. "Biasanya berhasil, banyak yang pulang kampung bekerja
baik-baik, dan ada yang bertransmigrasi," katanya.
Selama di Panti, pengemis yang berbakat dagang langsung praktek
berjualan minyak tanah, karena Panti Karya itu sendiri adalah
penyalur minyak tanah yang cukup besar di Kudus. Yang berbakat
sebagai peternak Panti Karya memberikan pinjaman untuk membeli
ternak. Cara ini sekaligus membuat mereka punya modal tambahan
untuk hidup mandiri setelah keluar dari Panti. Cara luwes
menangani pengemis ini menyebabkan kota kretek itu bersih dari
peminta-minta yang dianggap mengotori kota. Anggaran yang
disediakan Panti Karya, Rp 400.000 sebulan, dinilai Pemerintah
Daerah Kudus sebagai "mencapai sasaran".
Tapi Kudus, barangkali tak layak dijadikan contoh sukses
menangani pengemis. Kota ini kecil, masalah sosial yang dihadapi
warganya tentu juga kecil. Namun cara-cara aparat pemerintah
memberi bimbingan kepada pengemis yang dirazia boleh ditiru.
"Kami lebih banyak memberikan pengertian bahwa mengemis itu
hina, tak punya harga diri, bekerja kasar dengan hasil lebih
kecil dari mengemis, jauh lebih terhormat," kat Bambang
Prayogo.
Adakah di kota-kota besar, "harga diri" itu tak begitu penting?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini