Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah desa produsen pengemis

23 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT buah bis malam dari Jakarta beriringan memasuki Kota Pemalang, Jawa Tengah. Membelok ke selatan, bis-bis itu menuju arah Kecamatan Randu Dongkal. Setelah melewati Kelurahan Warung Pring, kendaraan-kendaraan tadi berhenti. Para penumpang pun turun. Rombongan yang sarat dengan barang itu berjalan beriringan, menempuh jalan desa berdebu dan berbatu. Sepanjang hampir 7 km. Sampailah mereka di desa, disambut dengan girang oleh sanak saudaranya yang menunggu. Desa itu adalah Desa Kreyo yang sebagian besar penduduknya "bekerja" sebagai pengemis di Jakarta. Desa itu pun mendadak cerah dan ramai tiga hari menjelang Lebaran -- jauh beda dengan hari-hari biasa yang sepi. "Jika baru datang dari Jakarta, mereka kelihatan mewah. Siapa yang tidak bangga," kata Sugimo, 43 tahun, lurah Desa Kreyo. Yang agak disayangkan sang lurah, tingkah mereka yang agak aneh. "Pakaian mereka juga agak aneh dan percakapan mereka menggunakan bahasa Indonesia logat Jakarta yang sukar dipahami," katanya. Sugimo yang memimpin Desa Kreyo sejak 1975, tak tahu persis berapa jumlah penduduk desanya yang merantau ke Jakarta. Yang lebih aneh lagi, semua pamong Desa Kreyo tak tahu pasti, kerja warga mereka di Ibukota. "Mereka pergi tanpa surat jalan," ujar lurah. "Saya sendiri heran, berangkat ke Jakarta tak pernah sama-sama, pulangnya serentak. Apa di sana mereka kumpul?" Lurah yang juga jadi guru SD Karang Kreyo II ini pernah mengusut, apa yang mereka kerjakan di Jakarta. "Kebanyakan menjawab, jadi karyawan pabrik," tutur Sugimo. Tapi tak pernah jelas, pabrik di mana dan sebagai apa. Ia tak mau mengusut lebih lanjut. Desa Kreyo terletak 39 km di barat daya Pemalang, berpenduduk 5.000 jiwa lebih atau 1.110 kk. Di sini ada 223 ha sawah yang subur. Hampir semua penduduk desa itu memiliki sawah minimum 2 petak. "Termasuk mereka yang hijrah ke Jakarta itu," kau Sugimo. "Andai kata mereka mengolah sawahnya di desa, hasilnya akan mencukupi seluruh keluarganya." Yang tak terbayangkan oleh Sugimo adalah, bagaimana mungkin warganya di Jakarta mendapat pekerjaan dengan penghasilan begitu besar. Pendidikan mereka paling tinggi SD. "Banyak yang tak tamat SD, bahkan buta huruf. Di desa pun mereka tergolong malas bekerja. Bagaimana mungkin bisa mendapat pekerjaan di Jakarta dengan mudik ke kampung penuh bawaan?" Lurah ini bukannya tak pernah mendengar, bahwa warga desanya di Jakarta hidup sebagai pengemis. "Boleh jadi berita itu benar, warga desa saya mengemis di Jakarta," katanya. "Namun saya tak berani memastikan, karena belum ada bukti atau laporan resmi." Bekas lurah Kreyo, Sumarta, 67 tahun, lebih tegas mengakui, penduduk desa yang pergi ke Jakarta itu memang hidup sebagai pengemis. "Sudah sejak dulu saya tahu. Tetapi mereka tak sebanyak sekarang, sampai desa ini sepi," kata Sumarta terus terang. Bahkan bekas lurah ini tahu persis "sejarah kepengemisan itu". Ketika itu, sekitar tahun 1970-an, katanya, ada lima warga desa yang pergi ke Jakarta berjualan petai. Di kota metropolitan itu, mereka kehabisan bekal, sementara dagangan tak laku. Akhirnya mereka meminta belas kasihan orang. Ternyata dengan mudah uang diperoleh dan kelima orang itu pulang dengan bekal yang jauh lebih cukup dibandingkan nilai dagangannya. Ketika diceritakan di desa, kemudahan mendapat uang di Jakarta itu menjadi daya tarik. Sampai sekarang. Kini di Desa Kreyo ada semboyan: "Nek maring Jakarta, rekasa ngemis, namung maring desa ketingal mulya". Artinya, biarlah di Jakarta jadi pengemis, asalkan di desa tampak sejahtera. Falsafah hidup seperti ini, menurut lurah Kreyo, dijadikan kebanggaan. Keluarga yang ditinggal di desa juga dengan mudah mencari utang, dengan jaminan dibayar menunggu kiriman dari Jakarta. Bambang Nurcahyo, agen bis malam jurusan Pemalang-Jakarta bisa memastikan penduduk yang mencarter bisnya itu adalah para pengemis di Jakarta. Bahkan ia menyebutkan tak cuma Desa Kreyo, juga penduduk Desa Warung Pring, Rembul, Gombong Kembaran dan Sedayur (semuanya di wilayah Kecamatan Randu Dongkal) menjadi pengemis di Jakarta. "Yang terbanyak memang penduduk Kreyo," kata Bambang. Lebaran tahun lalu, empat bis yang dicarter semuanya pakai AC, yang saat itu lagi model. Sekarang selain empat bis biasa, ada pula yang mencarter colt. Penduduk yang pulang kampung dan tengah asyik menikmati Hari Raya itu tak suka diwawancarai. Mereka selalu menghindar. Khudori, 29 tahun, salah seorang dari mereka yang pulang, membantah hidup sebagai pengemis di Jakarta. Ia bersama 20 "anak buahnya" mengaku bekerja sebagai pengrajin tas sejak 1977. Tapi ia tak menyebutkan di daerah mana dan berapa besar usaha itu. Ditanya berapa penduduk Kreyo yang pulang Lebaran dari Jakarta, ia menyebut, "sekitar 500 orang". Menurut Khudori, mereka kembali ke Jakarta, "segera setelah Hari Raya." Untuk mengusut benar tidaknya penduduk Kecamatan Randu Dongkal menjadi pengemis di Jakarta, tidaklah mudah. Perkampungan pengemis di Jakarta yang diduga menjadi pangkalan orang Pemalang ini terletak di Simprug, Kelurahan Grogol Selatan. Selain itu juga di rumah-rumah bedeng Pasar Prumpung, Cipinang Besar. "Perkampungan" itu sendiri begitu tertutup, bahkan terkesan angker. Asrama pengemis di Simprug termasuk wilayah RW 04 Kelurahan Grogol Selatan. Ketua RW, M. Rosyid Hadiyanto dengan nada tinggi berkata, "siapa bilang di daerah kami ada pengemis?" Yang benar menurut Rosyid, ada sekelompok penduduk yang tinggal di daerah pinggiran RW 04 yang tidak jelas pekerjaannya. "Di hadapan pengurus RW dan RT mereka tak mau dikatakan pengemis -- siapa sih yang mau dikatakan pengemis?" ujar Rosyid. Rosyid yang bekerja di Departemen PU menyebutkan, kelompok masyarakat itu hidup tertutup, tidak mau berkumpul dan ngobrol dengan warga lain. Karena pendidikan mereka rendah, pengurus RW sulit memberikan penerangan tentang prosedur tinggal di Jakarta. Menjelang Lebaran baru lalu, berbarengan dengan operasi pengemis di Jakarta, pengurus RW 04 mulai mendata mereka. Ternyata memang hampir semuanya tak memiliki surat jalan, apalagi surat pindah. Mereka mengaku dari Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tetapi ketika rombongan DPRD DKI meninjau perkampungan yang padat itu April lalu, mereka mengaku dari Pemalang. Rumah dinding gedek dan papan yang mereka huni disewa cukup mahal, Rp 500 sehari. Namun Tinah, ibu 2 anak balita yang ditemui TEMPO sebelum Lebaran, menyebutkan rata-rata penghasilannya sekitar Rp 4.000 sehari. Kerja di mana? "Ya minta-minta," katanya. Penghuni di sana rata-rata memiliki radio kaset yang cukup baik. Di Pasar Prumpung, Cipinang Besar, para pengemis ini membayar sewa bedeng berukuran 3 x 3 meter Rp 400 per hari. Kehidupan mereka pun lumayan, ada perabotan rumah tangga yang dicicil. Bahkan ada yang punya tv. Ny. Ratmi, ibu enam anak yang semuanya mengemis, termasuk suammya, setiap hari membayar cicilan Rp 1.400 untuk seperangkat alat-alat dapur. Keluarga ini menyewa dua kamar. Galib, kakek berumur 76 tahun, juga sedang mencicil radio dan tempat tidur. Setiap hari ia menyisihkan Rp 1.100 untuk disetorkan ke pemilik rumah, Haji Ibrahim Zahri, yang sekaligus mencicilkan barang. Para pengemis ini rata-rata berpenghasilan Rp 2.000. Ditemui TEMPO sebelum Lebaran Galib dan teman-temannya mengaku akan mudik dengan mencarter truk. Kemana? "Ke Brebes," jawabnya. Pengemis asal Brebes juga terkenal di Bandung. Mereka menghuni perkampungan di Kelurahan Cipedes, Bandung. Persisnya di Kampung Cibarengkok. Ketua RT 09 yang mewilayahi asrama pengemis ini, tak tahu persis berapa jumlah mereka. "Selain tidak lapor, mereka terus bertambah dan sering berganti-ganti," kata Maman, ketua RT 09. Luas perkampungan pengemis itu tak lebih dari 4.000 m2. Rumah petak dibangun sendiri oleh keluarga pengemis, sementara tanahnya disewa dari penduduk setempat. "Mereka mengemis, dari anak-anak sampai kakek-kakek," ujar Ny. Maman, istri ketua RT yang kebetulan rumahnya dekat kompleks itu. "Tetapi mereka tak mengaku sebagai pengemis." Mereka berangkat dari rumah berpakaian yang baik, di jalan baru diganti pakaian "dinas" yang compang-camping. Penghasilannya, menurut Ny. Maman, tak kurang dari Rp 6.000 sehari. "Saya sering dengar mereka ngobrol, kalau dapat Rp 1.500 mereka bilang bukan duit. Di rumah mereka rata-rata ada tv, radio kaset, jam dinding. Mereka lebih kaya dari kita," kata Ny. Maman pula. "Setiap mereka pulang kampung menjelang Lebaran, bawa uang lebih dari Rp 300.000." Seperti halnya di Simprug dan Prumpung, Jakarta, penghuni kampung pengemis Cibarengkok ini juga sangat tertutup. Banyak yang meragukan mereka berasal dari Brebes, karena tak pernah bisa menunjukkan desa asalnya yang persis. "Mereka menyebutkan Brebes karena Kabupaten Brebes lebih tandus, sementara logat Tegal tak bisa dihindari," kata seorang pengurus RW 11 Kelurahan Cipedes yang mewilayahi kampung ini. Pengurus RW ini menduga, "pengemis itu dari Pemalang, entah kecamatan mana". Adakah mereka juga dari Kecamatan Randu Dongkal, Pemalang? Entahlah. Tapi yang pasti, mereka bangga setiap pulang ke kampung! meski tak pernah menyebutkan nama desa itu dengan tepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus