CALON presiden versi PDI muncul lagi di panggung kampanye. Setelah Rudini diusulkan pimpinan PDI Yahya Nasution, Minggu lalu calon presiden baru pun menyusul. Dialah Guruh Soekarno Putera, pimpinan Swara Mahardika dan putera bungsu Presiden Soekarno. Yang mengumumkan, tak lain adalah Sophan Sophiaan, bintang dan produser film yang kini menjadi jurkam PDI. Di depan sekitar 20.000 massa PDI, putera tokoh PNI Manai Sohpiaan ini mengaku telah menghubungi Guruh yang pekan lalu berkampanye di Irian Jaya. Guruh bilang, masih kata Sophan, bersedia dicalonkan asal didukung kaum muda. "Apakah saudara-saudara bersedia mendukung," kata Sophan sambil mengacungkan salam metal. Massa Banteng pun menggelegar: "Bersedia . . .." Tampaknya ini satu kiat lagi dari Partai Banteng menggaet simpati massa. Sejak putaran pertama partai wong cilik ini memang cekatan melempar umpan. Dalam kampanyenya di berbagai daerah, PDI terkesan tampil memesona. Ledakan massa PDI ternyata membuahkan soal baru. Tingkah laku massa berkaos merah ini sering berlebihan. Gunjingan kecil yang terjadi, juga menimpa OPP yang lain, seperti memaksa menumpang mobil yang lewat, minta rokok, minta duit sampai mengambil minuman yang dijajakan pedagang kaki lima. Namun, semangat yang menggebu itu juga mengarah ke tindakan kelewat batas dan brutal. Di Solo, dilaporkan para pemuda berkaos merah itu nyaris membakar bus. Di Semarang mereka ramai-ramai memanjat truk Coca Cola dan menyikat minuman ringan itu sampai ludes. Untuk itu, sales Lucky Harjani dan sopir truk itu terpaksa lapor polisi. Itulah sebabnya Gubernur Jawa Tengah, Ismail, selaku Ketua PPD I, sekalipun tanpa menyebut nama OPP, melemparkan kritik: "Kampanye kok ngrampok sana ngrampok sini." Gubernur Jawa Timur, Soelarso, juga menilai massa peserta kampanye mulai beringas. Contohnya, dalam suatu kampanye ada seorang yang melemparkan ular ke panggung. Ada lagi kejadian dalam kampanye PDI Ahad lalu di Surabaya. Gambar Bung Karno sempat diarak di jalan protokol. Tampaknya ini bukan pelanggaran pertama Pasal 24 Keppres tentang Penyelenggaraan Kampanye Pemilu yang melarang membawa gambar seseorang. Sebelumnya, gambar Iwan Fals sempat digelar di arena kampanye PPP dan PDI di Jakarta. Memang belum ada yang ditindak karena melanggar Keppres itu. Pelanggaran yang sempat diurus polisi adalah penggunaan sepeda motor dan kendaraan bak terbuka, seperti truk. Polda Metro Jaya sempat menilang 1.500-an peserta kampanye dan menahan 300 kendaraan. Namun, pada umumnya masih ada toleransi untuk berkampanye ria di jalanan, misalnya tanpa helm, three in one sepeda motor, atau berjejal di atas truk. Bahkan di Surabaya, kata seorang aparat keamanan: "Biarlah kendaraan bermotor ikut pawai. Apa boleh buat." Toh itu cuma lima tahun sekali. Namun, tak semua pejabat rela membiarkan kaum muda melampiaskan kegembiraan di jalanan selama musim kampanye. Yogya pekan lalu sempat menurunkan keputusan melarang pawai kendaran bermotor dengan atribut OPP. Akibatnya, PDI dan PPP protes dengan menurunkan semua gambar partainya di seluruh kota dan menyatakan "berkabung" dengan mengarak sejumlah keranda ke DPRD DIY. Suasana tegang usai akhir pekan lalu setelah mereka dibolehkan bermotor ria di jalanan, asal tertib. Kampanye PDI Jakarta juga dihadang sejumlah petugas dengan pentungan lantaran mereka berjejal di atas truk. Dengan lagu Anak Kambing Saya mereka mengubah liriknya menjadi: "Misi, permisi, Banteng mau lewat. Kalau tak dikasih, urusan bisa gawat". Memang, dalam kampanye Ahad lalu dilaporkan sempat terjadi insiden di Jalan Matraman Raya dan setidaknya dua orang tewas karena terjatuh dari truk di Jalan Thamrin. Yang sudah terkena semprit justru para juru kampanye. Kiai Sumarno Syafi'ie dari PPP DKI, misalnya, sempat kena kartu merah karena pidatonya berbau SARA ketika berkampanye di Lapangan Banteng pada hari pertama. Jurkam PPP Sri Bintang Pamungkas, calon nomor tiga dari DKI, juga tak diperkenankan lagi tampil di Sumatera Selatan karena dalam kampanyenya di Plaju dan Palembang ia mengritik pedas pemerintah. Yang benar-benar terkena kartu merah, tak boleh berkampanye lagi, adalah Soehardi, 62 tahun, jurkam andal PDI Pati, Jawa Tengah. Ketua Panwaslak setempat Nyoman Sutamaya mencekalnya karena mantan camat itu dianggap menghasut massa. Padahal, yang dia omongkan sebenarnya pengalamannya ketika menjadi camat. Misalnya ia berkata: "Pejabat banyak yang jadi barongan (raksasa). Saya juga jadi barongan ketika jadi camat. Setelah topeng dibuka, yang kelihatan cuma gundulnya." Yang tampaknya belum kena semprit adalah Beringin. Pengerahan massa di Dili ketika Menteri Ali Alatas kampanye di sana, sejumlah kendaraan plat merah dikerahkan untuk mengangkut massa tak disoalkan. Ada lagi laporan Berar Fathia dari Badan Perlindungan Hak-Hak Politik Rakyat Dalam Menghadapi Pemilu 1992 (BPHPR), yang pernah mencalonkan dirinya jadi presiden. Di depan Wakil Ketua DPR/MPR, H.J.Naro, Selasan lalu, ia mencatat sekurangnya ada sembilan ketidakadilan Panwaslak. Misalnya, ia menyebut jurkam Golkar, Emil Salim, seharusnya sudah kena semprit karena mendiskreditkan PPP dan PDI. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim misalnya, bilang dalam kampanye: "Jangan tusuk banteng, nanti bantengnya ngamuk." Agus Basri, Sandra Hamid, Heddy Lugito, R.Fadjri, dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini