Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Maftuh Basyuni: Sebelum Mirza Ghulam Ahmad Wafat, Tidak Ada Persoalan

20 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEKERJAAN rumah Menteri Agama Maftuh Basyuni seperti tak ada habisnya. Belum selesai meredamkan amarah umat yang melakukan demonstrasi antimajalah porno dan antikarikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad, mantan Duta Besar Indonesia di Arab Saudi ini melontarkan pernyataan yang tegas selepas pertemuan antartokoh agama di Lombok, Sabtu dua pekan lalu. ”Ada dua solusi penyelesaian kasus Ahmadiyah. Pertama, Ahmadiyah kembali kepada ajaran Islam, dan kedua, keluar dan membentuk ajaran baru,” ujarnya.

Untuk memperjelas pernyataan itu, Kamis pekan lalu wartawan Tempo Arif Zulkifli, Hanibal Wijayanta, Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, dan fotografer Ramdani mewawancarai Maftuh di ruang kerjanya yang resik di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Petikannya:

Mengapa Anda menginginkan Ahmadiyah keluar dari Islam dan membentuk agama baru?

Sebelum Mirza Ghulam Ahmad—pendiri Ahmadiyah—wafat, tidak ada persoalan yang menyangkut persatuan dan kesatuan umat. Tapi, setelah beliau wafat, timbul masalah. Sebagian pengikutnya yakin bahwa beliau adalah nabi, ini kelompok Ahmadiyah Qadian. Kelompok lain tidak dapat menerima keyakinan ini. Mereka yakin beliau hanya mujaddid, pembaharu, seperti Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ini keyakinan kelompok Ahmadiyah Lahore.

Kedua kelompok ini ada di Indonesia. Tapi belakangan yang lebih menonjol adalah Ahmadiyah Qadian. Ini yang melahirkan benturan-benturan antara Islam dan Ahmadiyah, seperti di Lombok itu. Pemerintah tidak menginginkan masyarakat menjadi korban. Sejumlah utusan Departemen Agama pun langsung ke Lombok. Di sana kami jelaskan bahwa Ahmadiyah itu ada dua kelompok.

Bukankah anjuran membentuk agama baru bisa memperkeruh suasana?

Saya hanya menjelaskan bahwa ini persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia. Lalu, bagaimana kalau mereka tidak mau sadar? Kalau tidak mau, ini menjadi persoalan penodaan terhadap agama, sudah bukan wilayah Departemen Agama lagi. Kita mau jalan keluar. Kalau masih menganggap diri mereka Islam, lepaskan keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi. Tapi, kalau mereka kukuh mempertahankan keyakinannya itu, ya jangan menggunakan label Islam. Mereka juga punya Tadzkiroh, yang diyakini sebagai kumpulan firman Tuhan untuk Mirza. Kenapa tidak seperti penganut agama Baha’i saja, yang meski unsur Islamnya besar sekali, mereka tidak mengaku beragama Islam.

Sejauh mana Departemen Agama berhak membenahi akidah sebuah kelompok?

Kita punya banyak cara, lewat majelis taklim, diskusi, dan pencerahan. Tapi Indonesia adalah wilayah unik, karena banyak sekali pengaruh yang masuk.

Salat dua bahasa termasuk penyimpangan akidah?

Ya. Departemen Agama dapat melakukan penyadaran.

Mengapa? Bukankah mereka punya kitab suci dan mengakui nabi yang sama dengan umat Islam lainnya?

Bahasa tidak bisa begitu saja dialihkan. Allahu Akbar memang dapat diartikan Allah Mahabesar. Tapi, kalau salat dengan menyebut ”Allah Gede Banget” bagaimana? Ini jadi rusak. Apalagi ada perintah Nabi Muhammad, ”Salatlah kamu sebagaimana melihat aku salat.” Apa yang dilakukan oleh Nabi itulah yang harus kita lakukan.

Bagaimana membuat umat Islam tidak langsung melakukan tindakan anarkis saat menemukan sebuah perbedaan?

Ini sebenarnya tanggung jawab bersama. Pers juga berperan, jangan suka manasmanasi. Kalau ingin semua baik, tolong semua punya nawaitu yang baik. Saya kira pers punya peranan penting dalam hal ini.

Bagaimana upaya Anda membersihkan Departemen Agama dari kesan korupsi yang sangat parah?

Kontrak politik saya adalah pembersihan di Departemen Agama. Yang paling gampang untuk dikorupsi itu urusan haji. Malaikat tidak bisa masuk bagian ini, yang masuk hanya para setan. Dulu semua orang bisa jadi tamu untuk menjadi naik haji. Pejabat yang baru diangkat atau tokoh tertentu sudah langsung menjadi haji tamu. Pengeluaran untuk itu banyak sekali. Saya pernah menghitung jumlahnya setara dengan biaya untuk makan seluruh jemaah haji di Madinah selama delapan hari. Tapi, alhamdulillah, dua tahun terakhir ini sudah tidak ada lagi. Selain itu kami melakukan efisiensi dalam jumlah petugas. Dulu 3.800 orang, kini 2.600, dan itu hanya dari Departemen Agama. Hanya dua hal yang hingga kini belum bagus. Pertama soal penerbangan dan pemondokan. Kepada Garuda saya sudah bilang, ”Sudah lebih dari 30 tahun kalian mendapat keuntungan dari haji, tapi selama itu juga jemaah belum mendapatkan pelayanan memuaskan.” Saya beri kesempatan sekali lagi untuk musim haji 2007. Jika tidak, terpaksa diganti.

Bagaimana perkembangan Dana Abadi Umat?

DAU yang kita pegang masih kita tidurkan. Saya sedang membenahi aturan mainnya supaya tidak masuk ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya.

Anda juga menikmati DAU?

Kalau memang saya menggunakan itu, seharusnya saya ”masuk” dan Said Agil ”keluar” dong? Tapi ini kan tidak? Jadi, menurut saya, biarkan yudikatif melakukan tugasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus