Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang tak akan mengira lelaki berkumis lebat itu seorang bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Siang itu dia hanya mengenakan celana pendek dan tubuhnya yang tambun dibiarkan terbuka tanpa baju. Tampak gelisah, pandangan matanya sering menerawang ke jalan di depan rumahnya.
Dialah Faris Santoso, bekas anggota DPRD Sidoarjo, Jawa Timur. Senin dua pekan lalu, dia dijatuhi hukuman 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo. Terdakwa kasus korupsi ini juga didenda uang Rp 50 juta dan diharuskan mengembalikan uang Rp 232 juta ke negara.
Sebanyak 35 rekannya bekas anggota DPRD Sidoarjo periode 19992004 juga mengalami nasib yang sama. Mereka mendapat hukuman berkisar 1 sampai 1,5 tahun penjara karena dinilai terbukti menilap uang anggaran Rp 20 miliar secara berjamaah. Tapi hakim tidak langsung menjebloskannya ke penjara. Alasannya, para terdakwa cukup kooperatif dan selama ini tidak ditahan jaksa.
Kendati begitu, para terdakwa tidak menerima putusan hakim, lalu mengajukan banding. Selama menunggu proses hukum inilah, Faris mengaku tidak tenteram hidupnya. Apalagi, setelah kasusnya bergulir ke pengadilan tinggi, masih ada lagi proses kasasi. ”Saya masih belum tenang jika kasus saya belum selesai,” katanya saat ditemui Tempo di rumahnya.
Lelaki 50 tahun itu tinggal di Desa Kebonsari, Kecamatan Candi, Sidoarjo. Selain memiliki rumah yang cukup layak, ia juga mempunyai tanah dan sebuah truk. ”Tapi semua ini hasil bisnis saya berjualan barang antik,” katanya. Dia mengaku harta yang dikumpulkan selama jadi anggota DPRD hanyalah sebuah jip Suzuki Jimny, sepeda motor Suzuki Shogun, dan tabungan untuk haji senilai Rp 11 juta. Mobil dan sepeda motor itu kini sudah disita jaksa.
Sebelum menjadi anggota Dewan, Faris dikenal sebagai pedagang barang antik yang sukses. Saat merintis usahanya pada 1972, dia hanya bermodal delapan ekor itik. Dengan hasil penjualan itik, Faris membeli barang antik di pelosok Jawa Timur, lalu dijualnya ke Pulau Bali.
Kian lama, usahanya semakin berkembang. Dia sempat punya galeri di Batu Bulan, Bali. Dalam sehari dia pernah mendapatkan Rp 435 juta dari penjualan barang antik. ”Hasilnya sebagian saya belikan rumah yang saya tempati ini,” kata Faris.
Bisnisnya justru meredup setelah dia menjadi anggota DPRD Sidoarjo. Ledakan bom di Bali juga ikut merontokkan usahanya. Yang kini disesalinya, saat menjadi anggota Dewan, Faris tidak bisa mengontrol penghasilan yang diterimanya. ”Saya mau saja tanda tangan kertaskertas yang disodorkan Bu Sunaryati (Sekretaris DPRD Sidoarjo),” kata Faris.
Itulah tanda terima sejumlah duit haram, termasuk dana seminar fiktif di Tretes dan kunjungan di Batam. Tapi semua uang yang diterima Faris kini sudah habis. Begitu pula gajinya selama jadi anggota DPRD. Sebagian besar malah dipakai untuk kegiatan partainya, PDIP, dan menyumbang kawankawannya. ”Ada saja yang ke sini untuk minta bantuan,” ujarnya.
Kini dia hanya menggantungkan hidupnya pada truk miliknya yang setiap hari disewakan. Jika putusan banding membebaskan dirinya, Faris berharap bisa berjualan bunga adenium. Selama ini dia tak berani ke luar kota karena perkaranya belum selesai.
Jika Faris hanya terkungkung di kotanya, tidak demikian halnya dengan Usman Ihsan, bekas Ketua DPRD Sidoarjo. Dia langsung masuk bui setelah divonis delapan tahun penjara pada November dua tahun lalu. Usman dianggap paling bertanggung jawab atas korupsi anggaran DPRD Sidoarjo senilai Rp 20 miliar. Dia terbukti telah meneken surat pencairan dana yang dibagikan ke seluruh anggota DPRD. Menurut hakim, Rp 601 juta di antaranya masuk kantong Usman. Semestinya duit itu dipakai untuk biaya peningkatan sumber daya manusia parlemen daerah.
Putusan juga telah dijatuhkan pada dua bekas Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Agus Sutego dan Imron Syukur, masingmasing dihukum tiga dan satu tahun penjara. Tahun ini, sejumlah anggota Dewan di luar rombongan Faris juga sudah dihukum. Jadi, total sebanyak 41 anggota DPRD Sidoarjo telah divonis. Namun hanya Usman yang benarbenar masuk bui.
Seperti terdakwa lain, lelaki 53 tahun itu pun mengajukan banding. Menurut Usman, penggunaan dana anggaran sebetulnya sudah disahkan dalam peraturan daerah Sidoarjo. ”Ini vonis politis,” katanya. Dia menduga nasib yang dialaminya akibat konflik di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa Sidoarjo yang pernah dipimpinnya.
Di penjara Porong, Sidoarjo, Usman kini hanya bisa merenungi diri. Buat menangani kasusnya, dia telah meminta bantuan lima pengacara, termasuk dari Jakarta dan Yogyakarta. Biaya yang dikeluarkan tak kurang dari Rp 400 juta. Tapi tetap saja dia tak bisa mengelak dari jeratan hukum. Bahkan dua bidang tanah miliknya juga telah disita. ”Uang saya sudah habis, tapi masih saja dipenjara,” katanya.
Sebelum jadi politisi, Usman pernah menjadi dosen di Universitas Sunan Giri, Surabaya. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan IAIN Sunan Kalijaga ini kemudian mengajar di Institut Teknologi 10 November, Surabaya, sejak 1981. Di tempat ini, Usman sempat menjabat sebagai ketua jurusan dan pembantu dekan. Dia melepas semua jabatannya di kampus setelah menjadi Ketua DPRD Sidoarjo pada 2001.
Begitu masuk bui, praktis Usman tidak bisa kembali ke kampus lagi untuk mengajar. Inilah yang membuat dia sedih karena tak bisa mencari nafkah buat membiayai pendidikan anakanaknya. ”Anak perempuan saya bahkan ada yang gagal masuk perguruan tinggi,” katanya.
Zed Abidien dan Rochman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo