Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -- Gelombang demo menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meluas ke berbagai daerah. Mereka juga mengecam kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil selama aksi demo tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Faiz Nabawi Mulya mengatakan, hak untuk berdemonstrasi dilindungi undang-undang. “Mahasiswa Trisakti turut prihatin dengan kejadian represifitas terhadap mahasiswa maupun masyarakat yang diduga dilakukan oleh aparat hingga menelan korban luka,” kata Faiz dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Selasa, 25 Maret 2025.
Mereka menegaskan, aksi demonstrasi dilindungi undang-undang. Hal tersebut seperti diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahasiswa Universitas Trisakti menggelar unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang TNI di Gerbang Pancasila DPR, Jakarta, pada Rabu, 19 Maret 2025. Faiz mengatakan, mahasiswa menolak revisi Undang-Undang TNI karena berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer.
Pemerintah dan DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang TNI pada Kamis, 20 Maret 2025 melalui rapat paripurna DPR. Poin perubahan dalam Undang-Undang TNI antara lain perluasan jabatan sipil untuk militer aktif dari 10 menjadi 14 kementerian/lembaga, perpanjangan usia pensiun, dan tugas pokok.
Aksi demonstrasi menolak Undang-Undang TNI berlangsung ricuh di beberapa kota. Salah satunya di Malang, Jawa Timur. Masyarakat sipil menggelar unjuk rasa sekitar pukul 15.45 WIB di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang pada Ahad, 23 Maret 2025.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang Delta Nishfu mengatakan, aksi berjalan kondusif hingga menjelang waktu berbuka puasa sekitar pukul 17.45 WIB. Namun sekitar pukul 18:20 WIB, ketika beberapa massa aksi tengah bermain bola di tengah jalan, polisi mulai bersiap-siap mengenakan peralatan mereka. Tak lama setelah itu, beberapa polisi mulai memukul mundur demonstran dari dua arah.
PPMI Kota Malang mencatat terjadinya pemukulan oleh aparat terhadap beberapa awak pers mahasiswa. Setidaknya delapan aktivis lembaga pers mahasiswa atau LPM dari berbagai perguruan tinggi menjadi korban kekerasan. Delta Nishfu mengatakan, ada delapan jurnalis mahasiswa, termasuk dirinya, yang mengalami kekerasan.
Saat kejadian, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang itu sedang mendokumentasikan aksi massa pendemo, tepatnya di area bundaran tugu balai kota, dengan telepon genggam. Tiba-tiba ia ditarik dan diseret. Kejadiannya sekitar pukul 18.40 WIB atau saat aparat menyerang demonstran.
Aksi demo menentang Undang-Undang TNI juga terjadi di Yogyakarta. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Tiyo Ardianto mengatakan menjadi sasaran berbagai bentuk teror dan intimidasi selepas aksi menolak Undang-Undang TNI di Gedung DPRD Yogyakarta pada Kamis, 20 Maret 2025.
Tiyo menuturkan, intimidasi tersebut salah satunya spanduk yang dipasang di parkiran lokasi kumpul aksi saat itu. Spanduk tersebut bertuliskan “Awas Gerakan Mahasiswa Disusupi Antek Asing” dengan jenis huruf menyerupai font horor atau berdarah. Selain itu, spanduk tersebut juga menampilkan gambar empat orang, salah satunya adalah Tiyo Ardianto.
Mahasiswa mengecam aparat yang telah melakukan kontak baik secara fisik maupun digital kepada para peserta aksi. Kepresidenan Mahasiswa Universitas Trisakti juga menyatakan turut berbela sungkawa kepada mahasiswa, jurnalis, dan masyarakat sipil yang menjadi korban kekerasan. “Kami dengan tegas meminta kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk menarik pasukan agar tidak terjadi gesekan antara aparat dan masyarakat sipil,” ujar Faiz Nabawi Mulya.
Hendrik Yaputra, Hammam Izzuddin, Abdi Purnomo, dan M Rizki Yusrial berkontribusi dalam penulisan artikel ini.