Pengaruh Majalah Anak terhadap Pandangan Soal Gender

Dengan merujuk pada berbagai pandangan akademikus dan riset terkini, termasuk penelitian saya, saya ingin menjelaskan seperti apa muatan majalah anak yang telah beredar di Indonesia sejak era Orde Baru hingga kini.

Majalah Anak pada Era Orde Baru: Propaganda Pembangunan hingga Pembentuk Peran Gender

Sejarah mencatat majalah anak di Indonesia pertama kali hadir pada 1949, yakni majalah Kunang-kunang terbitan Balai Pustaka.

Namun popularitas majalah anak mungkin baru terlihat ketika Si Kuntjung muncul pada 1956. Majalah tersebut terbit sebulan sekali dan berisi 16 halaman yang mencakup cerita-cerita pendek ramah anak. Pada eranya, kehadiran majalah ini sangat dinantikan anak-anak.

Yang menarik adalah Si Kuntjung merupakan majalah pertama, dan mungkin satu-satunya, yang menjalin relasi sangat dekat dengan pemerintah pada masa Orde Baru.

Pada 1976, pemerintahan Soeharto mendaulat majalah ini secara resmi sebagai majalah anak nasional. Selain sebagai media pendidikan dan kebudayaan, pemerintah turut membantu penerbitan Si Kuntjung dari segi pemasaran dan pembiayaan.

Tonggak bersejarah selanjutnya adalah ketika pada 1973, Kompas Gramedia menerbitkan majalah anak serupa bernama Bobo yang populer hingga saat ini. Bobo adalah majalah anak pertama yang berwarna dan menampilkan banyak komik di dalamnya. Senada dengan Si Kuntjung, majalah Bobo dianggap berkontribusi membentuk karakter anak pada era Orde Baru.

Pengkajian pada 2021 dari Universitas Diponegoro, misalnya, memetakan bagaimana majalah Bobo memuat 18 nilai pembentuk karakter yang selaras dengan cita-cita pendidikan pada era tersebut. Nilai-nilai ini seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, dan kreatif.

Seorang anak membaca majalah Bobo. Shutterstock

Namun majalah ini masih tampak memposisikan anak sebagai “komoditas”. Produksi majalah Bobo, beserta berbagai teks dan penggambaran karakter di dalamnya, lekat dengan selera pasar, paham pembangunan, dan kepentingan elite. Kontennya banyak menampilkan sosok selebritas anak papan atas; representasi kecantikan dengan postur tubuh proporsional dan berkulit putih; serta penyajian wahana bermain yang eksklusif, bergengsi, dan mahal.

Selain majalah, buku-buku pelajaran di Indonesia dijamin menjadi best-seller. Dalam proses distribusi, pemerintah Orde Baru mendorong besar-besaran agar bacaan-bacaan tersebut menjadi bacaan wajib di sekolah. Hal tersebut menegaskan bahwa bacaan anak pada masa Orde Baru dikontrol ketat oleh negara, dan akibatnya pun menjadi laku di pasaran.

Tapi mengapa negara melakukan ini?

Menurut filsuf Prancis ternama, Louis Althusser, negara memang memiliki apa yang ia sebut sebagai “aparatus ideologis” (ideological state apparatus). Negara, dengan berbagai instrumen, menanamkan ideologi secara masif yang sekaligus berfungsi sebagai alat represi secara halus dan tak sadar. Berlandaskan pada konsep ini, penulis Saya Shiraishi dalam bukunya juga menegaskan bahwa bacaan anak Indonesia merupakan sarana ideologis yang ampuh karena anak tidak terlalu mengontrol apa yang ia baca.

Tak hanya sebagai propaganda pembangunan, bacaan anak sejak era Orde Baru telah menjadi arena politisasi terkait dengan peran gender.

Peneliti gender di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Julia Suryakusuma, berargumen bahwa pemerintah Orde Baru mengusung ideologi “bapak-ibuisme”. Sosok “bapak” berperan memimpin kekuasaan formal (misalnya dalam pemerintahan atau ekonomi), sedangkan “ibu” berperan memimpin kekuasaan informal (seperti di ranah domestik). Dengan ideologi ini, perempuan didefinisikan sesuai dengan relasinya dengan laki-laki: sebagai istri, ibu, atau keduanya.

Cara pandang negara yang bias gender ini pun mempunyai implikasi pada kebanyakan bacaan anak.

Misalnya, banyak cerita anak bergenre kisah rakyat (folklore) yang populer pada masa Orde Baru, seperti Sangkuriang, Bawang Merah Bawang Putih, dan Malin Kundang, memiliki tendensi untuk menanamkan karakter yang tidak adil gender. Gambaran dominan tentang perempuan adalah berdasarkan standar kecantikannya serta selalu ditempatkan di ranah domestik. Ilustrasi tentang perempuan yang terdiskriminasi dalam wilayah privat dan cenderung gemar berkonflik untuk merebutkan laki-laki juga masih sangat kuat dalam cerita-cerita tersebut.

Evolusi Bacaan Anak Selepas Reformasi

Meski butuh waktu beberapa tahun lebih dulu, menurunnya kontrol ketat negara pasca-Orde Baru membuka keran bagi karya-karya baru yang progresif. Banyak penulis mulai mengekspresikan karyanya secara terbuka dan visioner.

Beberapa contohnya adalah bacaan anak karya pengarang Okky Madasari yang berjudul Mata di Tanah Melus. Buku ini mengisahkan perjalanan seorang remaja perempuan yang menjumpai suku Melus, yang menutup diri, ketika sedang diajak ibunya berlibur ke suatu perbatasan Timor Leste. Tak seperti kebanyakan bacaan anak sebelumnya, Okky memposisikan perempuan secara otonom, tidak tersubordinasi dan tak terpinggirkan.

Selain itu, ada bacaan anak menarik berjudul Na Willa karya Reda Gaudiamo. Willa merupakan sosok anak perempuan yang lincah, kuat, dan jenaka—sebuah cerita yang menempatkan anak perempuan secara berbeda. Cerita anak ini pun unik karena menawarkan penggambaran sekaligus kritik atas pola asuh keluarga, harmoni beragama, sampai masalah rasisme.

Meski demikian, kemajuan tersebut masih cenderung lambat. Kita masih melihat ada banyak bacaan anak dengan penggambaran gender yang tertinggal, meski telah lama memasuki era reformasi.

Penelitian tentang bacaan anak bertema agama Islam selepas era Orde Baru, yang saya lakukan pada 2021, menemukan bahwa tradisi pelanggengan narasi patriarki dalam bacaan anak masih cenderung kuat, dengan penggambaran posisi laki-laki yang dominan ketimbang perempuan.

Ini menegaskan bahwa bacaan anak selama ini lagi-lagi masih sekadar komoditas. Apa yang menarik di mata pasar akan disajikan kepada anak tanpa ada kesadaran kritis atas nilai-nilai adil gender.

Seiring dengan mulai banyaknya majalah cetak yang berhenti beredar untuk anak, bacaan-bacaan anak bertransformasi menjadi digital. Kini bacaan-bacaan anak mulai banyak disajikan dalam bentuk audiovisual dengan akses digital yang mudah sehingga mengubah pola konsumsi anak atas bacaan seiring dengan makin dekatnya mereka dengan gawai.

Beberapa pihak bisa jadi memperdebatkan potensi dampak negatif ketika anak lebih intens mengakses bacaan dan konten di Internet. Tapi hal ini tak boleh membuat kita lengah mempertanyakan hal yang juga penting: apakah bacaan dan konten yang dikonsumsi anak sudah mengusung nilai adil gender serta nilai-nilai progresif lain?

---

Artikel ini ditulis oleh Radius Setiyawan, mahasiswa doktoral Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga. Pertama kali terbit di The Conversation.