Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Makan bubur gaya palembang

Mulai 1 juli 1989 beberapa kawasan di sumatera bagian selatan dinyatakan bebas senjata tajam. daerah ini dikenal rawan peristiwa kriminal. pernah menempati peringkat pertama kejahatan bersenjata tajam.

1 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA berita gembira dari Palembang. Mulai 1 Juli mendatang, beberapa kawasan di "Kota Sungai Musi" itu dinyatakan "bebas senjata tajam". Artinya, Anda tidak akan bersua orang yang membawa senjata tajam di semua jalan protokol, kantor-kantor pemerintahan, dan pusat-pusat perbelanjaan. Suasana ini, alhamdulillah, juga diberlakukan di 6 stasiun kereta api pada wilayah Polda Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Misalnya, di Kertapati (Palembang), Prabumulih, Lubuklinggau, dan Baturaja (Sum-Sel), serta Tanjungkarang dan Kotabumi di Lampung. Prestasi ini merupakan lompatan besar, karena daerah ini dikenal rawan peristiwa kriminal. Bahkan, menurut rapat Polda se-Indonesia pada 1987 lalu, Sumbagsel menempati peringkat pertama dalam kejahatan dengan senjata tajam. Angka kriminalitas di tangan Kapolda Sumatera Bagian Selatan, Mayjen. M.H. Ritonga, memang bisa bicara. Data pada 1988 tercatat 12.763 kasus, dibanding 1987 dengan 12.438 kasus. Kenaikan itu juga tampak pada Januari-Mei 1988 dengan 5.210 kasus, dibanding bulan yang sama pada 1989 yang mencapai 7.168 kasus. Dan 34 persen di antaranya kejahatan dengan senjata tajam. Adalah tradisi masyarakat, kata Kapolda, yang melatarbelakangi kondisi ini. Ini disimbolkan pakaian pengantin pria yang dilengkapi keris pada upacara perkawinan. Keris atau senjata tajam dianggap sebagai lambang keperkasaan. Apalagi sejak zaman dulu orang biasa bertanam kopi jauh ke hutan. Mereka pun suka membawa benda itu, untuk melindungi diri dari perampok dan serangan binatang buas. Lalu berkembanglah ini menjadi kebiasaan. Orang biasa membawa senjata tajam, meskipun sedang belanja ke pasar. Dalam suatu razia selama 2 jam di terminal bis Lahat pada 1986, misalnya, polisi pernah menyita 63 jenis senjata tajam. Tradisi itu disambut karakter penduduk yang, kata Ritonga, "suka emosional". Memang, menurut legenda yang hidup di sana, dipercayai bahwa suku Komering yang dominan di daerah itu masih abang-adik dengan suku Batak yang juga pemberang. Untuk."gigi", misalnya, kedua suku ini sama-sama menyebutnya ipon. Hal-hal sepele karena seseorang terlalu murah menawar harga duku, misalnya, bisa membikin penjualnya marah. Atau kernet bis yang terlalu sok mengatur penumpang bisa juga memicu perkelahian. "Padahal, jika tak membawa keris, paling cuma perang mulut," kata Ritonga. Itulah kenapa Polda melancarkan "Operasi Sajam" sejak Juli 1988 hingga Juli 1989. Berbagai selebaran, spanduk, dan telop melalui TVRI Palembang yang melarang membawa senjata tajam gencar dilakukan. Diingatkan juga adanya ancaman hukuman 10 tahun bagi pelanggarnya, sesuai dengan UU Darurat No. 12/1951. Ulama, pemuka adat, pimpinan kampus, dan ABRI pun ikut memberi penyuluhan. Pola ini diikuti razia sejak April lalu. Ternyata sukses. Buktinya, ketika stasiun kereta api di sana dirazia 21 Juni lalu, cuma 8 orang dari 1.890 penumpang yang membawa senjata tajam. Dari ribuan buruh PT Pusri, hanya 2 orang yang menyelipkan senjata tajam. Bahkan pengunjung kantor pos dan telegram bersih dari benda itu. Seluruh jajaran Polda Sumbagsel direncanakan akan bebas senjata tajam. Polanya, seperti kata Kadispen Polda Sumbagsel, Letkol. Irawan Saleh, "bagai makan bubur". Artinya, mula-mula dimakan dulu bagian pinggir piring, menunggu dingin di bagian tengahnya. Ritonga mengimbau, yang membawa keris karena keris itu dianggap benda pusaka, agar meninggalkannya di rumah. Kalau sebagai jimat? "Wah, kita lihat dulu apa benar itu jimat." Jika ada orang menganiaya menggunakan senjata tajam, ia setuju untuk mengaitkan dengan UU Darurat No. 12/1951 itu. Tak cuma dengan KUHP saja. "Agar hukumannya berat dan ia jera," kata Ritonga.Bersihar Lubis & Syaiful Anwar Ateh (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum