ULAMA-ulama bersurban melakukan salat hajat berjamaah, membaca Yasin dan salawat di aula kantor Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Senin dua pekan lalu. K.H. Janawi, Ketua MUI setempat, yang memimpin sekitar 150 ulama yang hadir di situ, kemudian memimpin doa agar Golkar menang dalam Pemilu 9 Juni nanti. Ardansyah, Bupati Hulu Sungai Utara, dalam kata sambutannya menyatakan, "Kami sebagai bupati merasakan betapa doa para ulama sangat membantu dalam melaksanakan tugas kami," kata Ardansyah, yang juga Ketua Dewan Penasihat Golkar setempat. Hal tersebut sekadar gambaran betapa umat Islam memang menjadi bagian amat menentukan, terutama pada masa-masa pemilu. Ini tak lepas dari posisi kaum muslimin sebagai calon pemilih mayoritas. Karena itu, wajar bila para kiai dan ulama, yang mengasuh ratusan ribuan santri, selalu menjadi lahan menarik yang diperebutkan oleh ketiga kontestan. Hal seperti ini selalu terjadi dari pemilu ke pemilu. Golkar sendiri sadar betul bahwa ia bukan organisasi politik yang punya ikatan langsung dengan organisasi massa Islam. Bahkan, menjelang Pemilu 1971, beberapa pimpinan Golkar ragu bakal bisa mendapat dukungan dari kalangan Islam. Maka, Golkar pun memakai kiat, untuk tahap awal paling tidak bisa merangkul Islam "pinggiran", yakni mereka yang tak mempunyai hubungan langsung dengan para kiai dan ormas Islam yang ketika itu masih dekat dengan keempat partai Islam. Namun, kalau ada peluang masuk ke "dalam" kubu Islam, itu pun tak disiasiakan. Maka, sebelum pemilu pertama pada masa Orde Baru, Golkar menggarap Habib Muhammad Ali AlHabsyi dari Kwitang, Jakarta, yang jemaahnya (hingga kini) meluber itu, untuk bernaung di bawah Beringin. Pengaruh Habib Ali AlHabsyi sangat besar sehingga berhasil menggiring jemaahnya mencoblos Beringin. Tak cuma itu upayanya menarik pemilih Islam. Melalui tangan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo (keduanya kini almarhum), Golkar juga membesarkan Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Untuk itulah GUPPI digarap. Organisasi yang didirikan pada tahun 1950 dan dalam kondisi "koma" dengan kantor pusatnya di Sukabumi, Jawa Barat, dipindahkan ke Jakarta tahun 1970. Duet Soedjono dan Ali, yang lebih dikenal sebagai Asisten Pribadi Presiden, kemudian menjadikan GUPPI sebagai mesin politik yang efektif untuk menarik massa Islam. Dan terbukti memang jitu. Pemilu 1971 Golkar berhasil meraih 62,8% (236 kursi), sedangkan empat partai Islam cuma memperoleh 27,9% (94 kursi). Dari hasil Pemilu 1971 itu Golkar mendudukkan 180 orang Islam sebagai anggota DPR (77% dari perolehan kursi Beringin). Sedangkan dari seluruh jumlah anggota DPR ketika itu, 79,2% di antaranya beragama Islam. Artinya, di sini, dari jumlah penduduk yang beragama Islam 87,5%, Golkar berhasil menggaet kekuatan Islam secara penuh. Golkar lebih banyak mendapatkan kepercayaan dari massa pemilih Islam daripada partaipartai Islam. Golkar kemudian juga membentuk Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) pada tahun 1978. Gagasan mendirikan MDI itu datang dari Presiden Soeharto. Mulanya Pak Harto bermaksud memberinya nama Dewan Dakwah Islamiyah. Tapi Amir Moertono, ketika itu Ketua Umum DPP Golkar (19731982), mengingatkan bahwa sudah ada Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di bawah pimpinan Moh. Natsir, mantan perdana menteri RI pada kabinet parlementer. Karena itulah kemudian dipilih nama MDI. MDI dimaksudkan untuk memberikan kemudahan demi syiar Islam melalui jalur dakwah. Lewat MDI, ketika Amir Moertono menjadi ketua umum, Golkar mulai merebut sebagian massa NU. Bahkan Amir Moertono tak hentihentinya "menyerbu" kubu Islam. Beberapa pesantren besar dapat dirangkul seperti Nahdlatul Wathan di Lombok, Pabelan di Magelang, dan Darul Ulum Jombang. Untuk menarik simpati massa Islam, Golkar tak mau kalah menampilkan keIslamannya dengan menyajikan ayat-ayat Quran. Perang ayat merupakan pemandangan sehari-hari di musim kampanye pada Pemilu 1971, 1977, dan 1982. PPP, yang merupakan fusi dari empat partai Islam, tak mau kalah "diganggu" Golkar dengan perang ayat itu. Salah satu ayat telak yang sering dipakai PPP untuk membangkitkan antipati pada Golkar dengan ayat dari surat AlBaqoroh "Jangan dekati pohon ini . . .." (wala taqrobu hadzihi alsyajaroh). Seperti halnya PPP, Golkar pun menggunakan salawat badar untuk membuka kampanyenya. Dan itu terjadi hingga masa kampanye sekarang ini. Di bawah kepemimpinan Sudharmono, Golkar bukan sekadar menarik massa Islam lewat ayat dan keluar-masuk pesantren. Menteri Sekretaris Negara Sudharmono ketika itu didukung oleh dana yang melimpah sehingga banyak duit mengalir ke berbagai pesantren dan ormas Islam. Setelah berlakunya UU Nomor 3/1985 tentang parpol dan Golkar, yang mengharuskan semua organisasi politik berasaskan Pancasila, Golkar lebih leluasa bergerak. Kebetulan NU tahun 1984 kembali ke khitah, yang berarti bukan cuma PPP wadah penyaluran aspirasinya. Tambahan lagi, menjelang Pemilu 1987 NU melakukan penggembosan terhadap PPP, sehingga mendongkrak perolehan Golkar. Menurut penelitian DPD Golkar Jawa Timur, pada pemilu yang lalu Beringin memang naik 14,19%. "Itu tak terlepas dari keberhasilan Golkar mendekati NU," kata M. Said, Ketua DPD Golkar. Kebetulan PPP turun 15,15% dan PDI naik 0,96%. Namun kenaikan perolehan Golkar dari 8,8 juta menjadi 12,2 juta itu belum tentu seluruhnya dari penggembosan NU. Sebab, masih ada suara dari pemilih pemula tiga juta dan suara tak sah 1,9 juta yang perlu diperhitungkan dengan perolehan Golkar. Untuk Pemilu 1992 ini, Golkar toh mencoba merebut enam juta massa NU yang mengambang. Untuk itu, ia merekrut juru kampanye dari NU seperti mantan Sekjen PPP Chalid Mawardi dan K.H. Syafe'i Sulaiman, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. "Saya masuk Golkar sambil minta bantuan ini dan itu, dan mereka bersedia membantu," katanya. Bahkan Kiai Badri Masduki, pengasuh pondok pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, yang semula masuk dalam daftar calon sementara DPR untuk PPP, kini juga bergeser ke Golkar. Kepada Kelik M. Nugroho dari TEMPO, Kiai Badri, yang mengaku pernah bermimpi bersua Nabi dan kemudian mendesak PPP untuk mencalonkan kembali Pak Harto itu, pekan ini akan ikut meramaikan kampanye Golkar. Tokoh-tokoh dari kalangan Islam yang sebelumnya telah masuk Golkar antara lain Akbar Tandjung, bekas Ketua Umum PB HMI dan Ketua GP Anshor Slamet Effendy Yusuf yang kini menjadi Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar. Begitulah, sejumlah tokoh dan massa Islam bernaung di bawah Beringin dengan setumpuk harapan di hatinya masingmasing. Ada yang sekadar menginginkan bantuan materi, tapi ada pula yang mencari keuntungan politik. Tapi, yang tak jelas benar maunya, bekas tokoh PPP Ridwan Saidi ikut masuk Golkar. Hanya kebetulan ia kini tak naik panggung sebagai jurkam karena mengantongi surat sakit dari dokter. Sedangkan Qomaruzzaini Mahrus, Kepala SMA Sunan Gunungjati yang juga aktivis NU di Cirebon, masuk Golkar pada 1988 untuk melancarkan ruang geraknya. Buktinya, SMA yang bernaung di bawah Yayasan AlMa'arif dari NU itu kini statusnya naik peringkat dari "terdaftar" menjadi "diakui". Artinya, Golkar yang dicap sebagai partainya Pemerintah dianggap sebagai jalan mendapatkan "keuntungan". Golkar kini tak perlu lagi berjuang merebut kubu "terdalam" Islam. Maraknya kekuatan Islam kemungkinan juga membawa Golkar untuk lebih memikirkan perjuangan aspirasi umat Islam secara lebih transparan. Dan ini sudah terbukti dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama. Begitu pula ketika Fraksi Karya Pembangunan di DPR meloloskan RUU Pendidikan Nasional tentang rumusan "bahwa pelajaran agama diwajibkan di setiap sekolah negeri dan swasta". Bahkan Ketua Dewan Pembina Golkar, Presiden Soeharto, sendiri ikut urun rembuk dalam penyusunan daftar calon anggota DPR. Mengenai kasus Sumatera, dari 16 calon jadi terdiri dari 7 orang Islam dan 9 orang nonIslam diubah menjadi 10 calon Islam dan 6 orang nonIslam. Tampaknya susunan daftar calon itu dibuat proporsional, karena dari 5 juta penduduk provinsi itu 4 juta beragama Islam. Namun, semakin besarnya pengaruh Islam ini bisa jadi justru membuat Golkar keberatan dahan hijau dan retak. Misalnya kasus "doa politik" yang dimotori 24 ormas Islam yang bernaung di bawah Golkar. Ismael Hassan, Ketua DPP Golkar yang mengkoordinasikan bidang kerohanian, melakukan kolaborasi dengan pinisepuh Golkar Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk menggelar doa agar Presiden Soeharto terpilih kembali untuk periode mendatang. Sedangkan Ketua Umum DPP Golkar Wahono secara tegas menyatakan bahwa pencalonan presiden baru dibicarakan pada saatnya yang tepat nanti. "Tapi kami harus menampung aspirasi umat itu," kata Ismael Hassan kepada TEMPO. Memang, munculnya doa politik di Gedung Granada bulan lalu itu tak lepas dari tuntutan suara Islam di arus bawah. Seorang pimpinan Satkar Ulama, yang ikut menandatangani "doa politik" itu, membenarkan ada aspirasi seperti itu. "Kami bertanya-tanya, jangan-jangan nanti calonnya bukan Pak Harto," katanya. Munculnya beda pendapat itu bisa ditafsirkan sebagai petunjuk ada "faksi-faksi" dalam Golkar. Namun, menurut Alamsjah, bekas Menteri Agama dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu, sebetulnya justru Golkar memerlukan ikatan, yakni Islam, agar tak terpecah-pecah. "Dan orang Islam tahu, mana OPP yang benar-benar berbuat untuk Islam. Kalau yang besar sampai lari, ya, jangan marah," katanya. Sedangkan Sekjen DPP Golkar Rachmat Witoelar melihat semua warga negara mempunyai hak yang sama, tak tergantung agama, ras, dan keturunan. Kalau dikatakan ada jurkam yang membawakan suara-suara Islam dan menyebut ayat Quran, katanya, itu sekadar gaya yang sifatnya pribadi dan bukan atas petunjuk Golkar. Bahwa Golkar ingin meraih suara Islam, katanya, itu benar. Dan tiap jurkam punya cara yang berbeda. Sebab, seperti diakui Rachmat, massa Islam amat menentukan. "Kalau orang Islam tak memilih Golkar, kami hanya akan mendapat 5%," kata bekas ketua Dewan Mahasiswa ITB itu. "Tapi kami melihatnya dengan memperjuangkan hidup mereka. Islam, Kristen, Budha, semuanya mesti makan, ya, kita kasih makan," kata Rachmat menambahkan. "Dan kalau mau makan, lihat dulu, begizi atau tidak." Sedangkan bagi Alamsjah, sebenarnya mementingkan mayoritas itu suatu hal yang wajar-wajar saja. Bahkan, katakanlah ada yang mengerek bendera Islam, itu juga wajar. Yang penting sekarang ini, kata Alamsjah, bagaimana pemerintah memperhatikan masalah keagamaan dalam pembangunannya. Dan Golkar yang beberapa kali menang karena pemilih Islam tentunya akan menjadi tempat naungannya. Agus Basri, Iwan Qodar Himawan, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini