Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bintang itu masih bersinar

PPP, yang pernah jaya sebagai partai pembawa aspirasi islam tahun 1970an, kini pudar. pemilih tradisional kian kecil karena rakyat semakin kritis.

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FAJAR belum lagi menyembul, tapi kesibukan sudah menyentak di pelabuhan Tanglakok, Sampang, Madura. Sekitar 25 perahu yang diberi hiasan warnawarni dan bendera merah putih, bendera PPP, dan bendera NU siap angkat jangkar. Iringiringan kapal yang mengangkut para kiai itu kemudian bergerak laju ke arah Pulau Mandangin, yang berada di selatan Sampang. Setelah satu setengah jam melaut, menjelang pantai Pulau Mandangin, ratusan perahu nelayan besar dan kecil datang menyambut. Suarasuara yang meneriakkan "Allahu Akbar . . . Allahu Akbar. Hidup PPP . . . Hidup Bintang . . . Hidup Bintang" bergema berulangulang. Belum lagi ditimpali lagulagu kasidah yang keluar dari moncong loud speaker yang dipasang di beberapa perahu. Ulah perahu yang menyambut "sang tamu" membuat suasana pesta air itu semakin marak. Meriah. Penduduk Pulau Mandangin dulu lebih dikenal dengan nama Pulau Kambing yang jumlahnya sekitar 15 ribu jiwa itu memang sedang menyambut pemimpin spiritual mereka dari daratan Madura. Antara lain Kiai Alawi Muhammad, Kiai Muhammad Ersyad, dan Kiai Nazib Siraj. Mereka inilah para juru kampanye yang diandalkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk menjaring suara di Madura. Ikut dalam rombongan itu K.H. Bahri Imam, salah satu pemimpin Pondok Pesantren Kemundung di Sampang, yang sudah dianggap sebagai "wali" oleh penduduk di Pulau Garam. Ketika perahu merapat, ratusan orang tak sabar hendak mendekat dan menciumi para kiai. Bahkan Kiai Bahri kemudian diusung dengan tandu kursi menuju lapangan tempat kampanye. "Mencoblos PPP adalah amanah ulama," begitu teriak Kiai Alawy Muhammad. Kemudian ditimpali oleh massa dengan jawaban: "Allahu Akbar . . . Allahu Akbar". Ini memang sebuah potret kampanye PPP yang masih mengandalkan dukungan pemilih tradisional. Seperti yang diakui oleh Yusuf Syakir, Wakil Sekjen PPP, partai berlambang bintang ini masih menggunakan pesona para kiai dan simbolsimbol Islam sebagai daya tarik pemilih. "Itu karena kami ingin mempertahankan sesuatu yang merupakan milik kami sejak dulu," katanya. "Sesuatu" yang dimaksud adalah basis pendukung PPP, yang dalam dua pemilu belakangan banyak yang hijrah meninggalkan Partai Bintang itu. Boleh jadi pimpinan PPP kini belajar banyak dari pengalaman pahit pemilu sebelumnya. Maklum, melihat hasil Pemilu 1987 lalu, PPP babak belur. Cuma mendapat 61 kursi di DPR. Jumlah ini melorot drastis ketimbang hasil pemilu lima tahun sebelumnya dengan perolehan 94 kursi. Bahkan, di Pemilu 1977, PPP jaya dengan 99 kursi di DPR. Trend melorotnya jumlah kursi PPP di DPR ini memang sudah bisa ditebak penyebabnya. Seperti "penggembosan" dari unsur NU menjelang Pemilu 1987. Ini karena ulah pimpinan partai ketika itu, J. Naro, dari unsur Muslimin Indonesia (MI) yang membersihkan tokohtokoh NU di PPP. Belum lagi soal pergantian tanda gambar partai yang semula Ka'bah menjadi bintang. Lalu, diberlakukannya ketentuan asas tunggal membuat PPP harus menerima Pancasila dan secara formal harus menanggalkan jubah asas Islamnya. Peralihan asas ini, menurut Din Sjamsuddin, sangat besar pengaruhnya dalam perjalanan PPP selanjutnya. Sosialisasi ide dari elite Partai Bintang ini menjadi mandek, sementara kekuatankekuatan ormas Islam tak mengambil peran politik. Mereka, para ormas Islam, malah lari dari politik praktis dan memasuki gerakan kultural. Keadaan ini bertambah runyam karena gontokgontokan pengurus partai, yang membuat banyak pemimpin umat (yang formal atau informal) lari meninggalkan PPP. "Jadi, sosialisasi ide tentang bagaimana seharusnya umat berpolitik terpotong jalur komunikasinya," kata Din, seorang pakar politik dari Universitas Muhammadiyah, Jakarta. PPP, yang diharapkan mengambil peran untuk menampung aspirasi politik umat, ternyata tak bisa berbuat banyak. Banyak tokoh penting yang "menguasai" massa lari meninggalkan PPP. Misalnya saja Rhoma Irama. Padahal, siapa pun tahu bahwa karisma Rhoma sungguh luar biasa untuk menjaring massa, terutama kaum muda. Kekecewaan pun tumpah. "Penampilan PPP di masa yang akan datang tak ubahnya sebagai banci. Tak jelas akan ke mana dan mau apa," kata Rhoma Irama ketika memutuskan untuk meninggalkan PPP tahun 1984. Memang, seperti pernah dikatakan Alfian, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia, problem yang dihadapi oleh PPP adalah soal identitas. "Mereka harus mencari identitas yang bisa memecahkan masalah politik. Jangan sampai mencari identitas yang justru menimbulkan masalah." Tampaknya, pencarian identitas itu sampai kini masih terus berproses. Bagaimanapun, label "pembawa aspirasi umat" tampaknya tak bisa dihindari dan malah menjadi beban. Maka, PPP terlihat goyah legitimasinya sebagai partai "pembawa aspirasi umat", ketika pemerintah (bersama Golkar) justru yang memuluskan golnya RUU Sistem Pendidikan Nasional dan RUU Peradilan Agama yang sempat tajam diperdebatkan di DPR. Kedua RUU itu oleh sebagian pihak dianggap sangat memperhatikan kepentingan umat Islam. Sehingga, dalam praktek politik Golkar terlihat lebih akomodatif dalam menampung aspirasi Islam (lihat Makin Hijau, Pohon Beringin). Ironis memang. Padahal, PPP pernah berkibar sebagai partai yang punya gigi dalam memperjuangkan kepentingan umat. Tahun 1974, wakil mereka di DPR berjuang untuk melahirkan RUU Perkawinan yang sesuai dengan aspirasi Islam. Pada SU MPR 1978, ketika pembahasan memasukkan "Kepercayaan" ke dalam GBHN dan penyusunan Rancangan Ketetapan mengenai P4, PPP mengadakan "perlawanan" dengan walk out. Bahkan dalam memberikan tanggapan atas pertanggungjawaban Mandataris, PPP melalui juru bicaranya, Chalid Mawardi, memberikan catatan. PPP juga pernah mendapat pujian karena membela mahasiswa yang menentang beleid Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Anggota FPP Syafe'i Sulaeman sempat dipanggul para mahasiswa di lobi DPR karena pembelaannya itu. Masa jaya PPP itu kini tinggal kenangan. Bahkan belakangan partai yang masih mengklaim pembawa aspirasi Islam itu justru mendapat suara semakin kecil dalam pemilu dari umat Islam sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh Alfian dengan melihat hasil Pemilu 1971, 1977, 1982 (ketika PPP masih berkibar), dan 1987 yang benar-benar jatuh. Di DPR, anggota yang beragama Islam hanya sekitar 80%. Padahal, penduduk muslim sekitar 88%. Sebaliknya bagi Kristen dan Katolik. Pada tiga pemilu pertama, anggota DPR beragama Protestan 9,4%, 9%, dan 8,1%, sedangkan persentase pemeluknya hanya 5,1w5,8%. Sementara itu, anggota DPR beragama Katolik tercatat 8,3%, 7,5%, dan 9,5% dari persentase penduduk yang 2,3w3%. Secara statistik, mayoritas Islam memang tak tergambar di pentas politik DPR. Mengapa itu bisa terjadi? Menurut Alfian, karena ada keengganan politikus Islam yang potensial untuk masuk organisasi politik di luar partai Islam. "Karena ada semacam hambatan mental," katanya (TEMPO, 11 April 1987). Hambatan itu tampaknya sampai kini masih terasa. Seperti kata Din Sjamsuddin, yang melihat ada perubahan kecenderungan dari pendekatan Islam secara formalistik ke pendekatan secara substantif. Artinya, Islam tak lagi harus memiliki formatformat tertentu secara mutlak dengan segala macam embelembel serba Islam. Karenanya, "keyakinan keagamaan tak harus diwujudkan dalam aksi politik, seperti dalam bentuk partai Islam," kata Din. Islam harus lebih didekati secara substantif, lebih menampilkan isi ketimbang bentuknya. Bentuk dan nama bisa apa saja, tapi substansi tetap berasas etika dan moralitas Islam. Maka, "Saya melihat adanya dukungan yang besar dari umat Islam terhadap partaipartai yang secara formal tak memakai nama Islam, seperti Golkar." Kini, kekhawatiran bahwa PPP tak lagi hebat menjaring massa memang terasa sekalipun belum tentu mencerminkan perolehan suara. Apalagi simbolsimbol Islam tak lagi eksklusif sebagai pengikat di kalangan simpatisan PPP. Bahkan penampilan massa Bintang selama musim kampanye di berbagai daerah sempat memprihatinkan karena tak terlalu gemerlap. Pemandangan hijau kelihatan semarak ketika PPP menutup kampanye terbuka di Jakarta Jumat pekan lalu. Sekitar 300 ribu massa dari Jakarta dan sekitarnya menghijaukan Parkir Timur Jakarta. "Saya sedih melihat massa PPP kok semakin kecil saja jumlahnya," kata dai kondang Zainuddin Mz. Menurut dia, yang kini tak lagi mengacungkan jari telunjuk di mimbar kampanye, sedikitnya peserta kampanye PPP itu sungguh memprihatinkan. Salah satu penyebabnya, katanya, karena PPP mengalami krisis figur yang populer. Pendapat itu memang ada benarnya dalam arti bahwa PPP kini memang sepi dari artisartis kece, tak seperti Golkar dan PDI. Namun, Ketua Umum PPP Buya Ismail Hassan Metareum melihatnya sebagai hikmah. "Mereka yang datang adalah pendukung yang betulbetul akan mencoblos Bintang." Dia justru curiga, massa yang berbondongbondong membanjiri kampanye kontestan lain hanya sekadar ramairamai karena artisnya. Boleh jadi massa PPP yang tampil di lapangan itu justru solid. Maka, tak heran kalau polisi memujinya karena massa PPP gampang diatur. "Dari ketiga kontestan yang ada, hanya PPP yang kampanyenya tertib," kata Kapolda Metro Jaya Mayjen. Ritonga. Tapi, sampai kapan PPP mengandalkan suaranya pada kantongkantong pemilih tradisional? Agaknya, kata Ridwan Saidi, ada harga yang harus dibayar oleh PPP seiring dengan keadaan zaman yang berubah. Sebab, kata bekas fungsionaris PPP itu, jumlah pemilih tradisional akan terus turun karena rakyat semakin kritis. Maka, peran PPP, seperti yang pernah diramalkan Nurcholish Madjid, akan tetap hadir sebagai partai kecil. Peranannya akan lebih memberikan ideide politik menyongsong jauh ke depan dan bukan berkonsentrasi pada upaya memenangkan pemilu. Artinya, PPP diharapkan tumbuh seperti Partai Sosialis Demokrat di Jerman. Sekalipun kecil, besar pengaruhnya dalam kehidupan politik di Jerman dan Eropa. Padahal partai yang sudah berusia lebih dari seratus tahun ini belum pernah menjadi partai penguasa. Barangkali itu sebabnya, ada yang melihat identitas PPP di masa depan nanti akan menjadi partai konservatif (TEMPO, 9 Mei 1987). Boleh setuju, boleh tidak, melihat ramalan Nurcholish itu. Namun, Buya Ismail kini mengantongi sejumlah kartu truf untuk menggaet suara lebih banyak, sekaligus mendongkrak kembali kursi PPP di DPR. Kartu itu di antaranya adalah selebaran berisi ajakan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Mohammad Natsir yang mengajak umat Islam memilih PPP. Ajakan ini, menurut K.H. Misbach, Ketua DDII JaTim, telah disebarluaskan di wilayahnya. Apalagi banyak pembelot PPP sisa penggembosan lalu yang kini pada pulang kandang. Malah, salah seorang aktivis Golput Yogya, Sekjen Paguyuban Mahasiswa Golput Afnan Malay, bersama temantemannya sudah menyatakan: "siap mencoblos PPP". Dengan begitu bukan tak mungkin kalau PPP malah berhasil menambah suaranya di pemilu nanti. Seperti yang dilihat oleh Abdul Munir Mulkhan, dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogya, "Kalau ABRI netral dan ketakutan rakyat berkurang, memungkinkan suara PPP bertambah," katanya. Kenapa tidak? Ahmed K. Soeriawidjaja, Iwan Qodar Himawan, Ivan Haris Prikurnia (Jakarta), Zed Abidien (Surabaya), dan Moch. Faried Cahyono (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus