ORANG berharap banyak pada KTT Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development atau UNCED) di Rio de Janeiro, sebagai awal perubahan tata dunia. Namun, konperensi yang juga dikenal sebagai Earth Summit itu, yang dimulai pekan ini, makin diliputi ketidaktentuan. Akankah ia membuahkan hasil atau buntu sama sekali? George Bush, Presiden AS, negara superkuat yang sangat mempengaruhi persiapan UNCED, semula masih harus terus didesak agar mau menghadirinya. Emil Salim, yang sering dianggap mewakili negara sedang berkembang, telah menyatakan rasa pesimistisnya. Mahathir Mohammad, menjelang Pertemuan Menteri-Menteri Lingkungan dan Pembangunan Kelompok G-77 di Kuala Lumpur, bahkan mulai menyerukan sikap ekstrem: boikot UNCED. Sedangkan, rencana kalangan nonpemerintah untuk menyelenggarakan eventnya sendiri (The NGO Global Forum) pun terancam gagal. Apa sebetulnya agenda UNCED, dan mengapa KTT ini justru menimbulkan kekisruhan dan konflik baru? Mampukah ia mengubah tatanan dunia menjadi lebih adil seperti harapan semula, atau sebaliknya? Penyelenggaraan UNCED diputuskan tahun 1989 di bawah resolusi MU PBB No. 44/228. Rangkaian sidang persiapan (Preparatory Committee Meeting) sudah dilakukan. Ada sejumlah tujuan ingin dicapai di Rio. KTT ini diharapkan menghasilkan suatu piagam resmi tentang prinsip-prinsip dasar pengelolaan sumberdaya ekonomi dan lingkungan (Earth Charter), dan sebuah blueprint sebagai panduan bagi pembangunan di masa depan (Agenda 21). Untuk menjalankannya, kesepakatan kesepakatan global menyangkut pendanaan, alih teknologi, dan kelembagaan disiapkan. Di Rio pula, tiga buah konvensi internasional soal keanekaragaman hayati, bioteknologi, dan kehutanan hendak ditandatangani. Semua tujuan di atas adalah mulia, dimotivasi oleh keinginan semua pihak untuk "mencegah kiamat" dan menjamin kehidupan berkelanjutan di muka bumi. Namun, untuk mencapainya rupanya tidaklah gampang. Dalam sidang-sidang Prepcom bulan April lalu di New York, misalnya, justru makin kentara, rumus survival of the fittestlah yang diberlakukan. Mereka yang maju, kuat lagi kaya, ingin memaksakan kehendaknya, dan terus mendominasi yang miskin dan lemah. Alih teknologi digiring bukan sebagai share of technology, melainkan sell of technology, itu pun terserah sang pemilik mau atau tidak menjualnya. Komitmen negara-negara kaya untuk menyediakan dana tambahan bagi negara berkembang untuk melindungi lingkungan makin meragukan. Pengelolaannya pun cenderung disentralisasi lewat Bank Dunia, yang tentu saja di bawah kendali mereka. Lantas, bagaimana dengan ketiga konvensi lainnya di atas? Tampaknya setali tiga uang. Persoalan hutan dan keaneragaman hayati, sebagai sumber daya genetik, yang 80 persen ada di wilayah negara berkembang itu, diusulkan disepakati sebagai milik bersama. Semua orang harus melindunginya dan menanggung biayanya. Tetapi, dalam soal bioteknologi, negara maju yang menguasainya ingin tetap memonopoli hak patennya, meskipun sumber genetiknya dulu, boleh jadi, diperoleh secara gratis atau bahkan mencuri dari negara sedang berkembang. Bukankah ini sebuah ketidakadilan yang nyata? Segala hal itulah yang membuat jalannya perundingan persiapan, mungkin juga UNCED-nya sendiri, tampak semakin macet. Oleh negara maju agenda UNCED tampak makin dikikis, menjauhkan isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara berkembang dan mengutamakan isu lingkungan yang lebih menjadi kepentingan mereka sendiri. Bisalah dimengerti kalau Mahathir Mohammad semula mengusulkan aksi boikot. Seretnya UNCED bukan cuma membuktikan sistem pengaturan dunia oleh PBB makin tidak berfungsi, melainkan juga menguatnya sistem lain yang diamdiam praktis makin menggantikannya. Isi konvensi di atas, misalnya, sejalan dengan yang saat ini juga macet dibahas dalam sistem GATT. Peran lembaga-lembaga pembangunan multilateral, seperti UNDP atau UNEP, pun makin digeser oleh sistem Bank Dunia dan IMF. Apa yang tengah terjadi dalam UNCED itu sebenarnya juga cuma menunjukkan bahwa keadaan dan tata dunia belum berubah. Apa bedanya yang dilakukan VOC dulu, misalnya, dengan yang dikerjakan oleh perusahaan TNC masa kini? Motifnya sama: pencarian bahan baku dan pasar bagi produk industrinya. Bukankah modusnya pun serupa, bahkan semakin canggih: kolaborasi dengan lembaga pemerintahnya, lewat konsesi, kesepakatan dan konvensi, dan yang sejenisnya itu? Di lain pihak, bergesernya peran "pengaturan" dunia ini juga makin terlihat dari perkembangan terakhir tubuh PBB sendiri. Boutros Ghali, sekjennya yang baru, melebur beberapa organ PBB. Organ yang kini dihapus itu, misalnya: UN Centre on TNC, Department of Technical Cooperation for Development, atau Centre for Science and Technology for Development, organ-organ yang sebenarnya menguntungkan bagi negara sedang berkembang. Dengan hilangnya UN Centre on TNC, misalnya, upayaupaya untuk menghasilkan Code of Conduct on TNC yang telah beberapa tahun ini dilakukan menjadi sia-sia belaka. Jadi, yang bisa kita lihat tampaknya adalah pembentukan satu frame dunia yang sangat jelas menuruti kehendak pihak tertentu. Globalisasi tampaknya telah menjadi paham yang barangkali patut disikapi secara hatihati. Sekali satu kesepakatan global dicapai, akibatnya bakal dirasakan sampai tingkat lokal setiap negara: kepentingan industri domestik (besar atau gurem), para petani dan perajin, sampai konsumen yang harus membayar lebih mahal. Tidakkah globalisme lantas membutuhkan suatu nasionalisme baru, dengan patriot-patriot genre baru pula? Sanggupkah kita memilikinya? * Sekretaris eksekutif YLKI, mengikuti Prepcom IV di New York mewakili Skephi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini