SEBAGAI cendekiawan muslim Iran, Mehdi Golshani, 63 tahun, jelas tidak mewakili kalangan mullah yang ortodoks. Penampilannya dandy, berjas, berdasi dengan warna biru cerah. Wajahnya bersih dan kelimis, tak seperti penampilan para mullah yang berjenggot lebat dan berjubah.
Dalam peta pemikir muslim di Iran, tokoh yang menyukai musik klasik ini mewakili kalangan reformis, yang mencoba merengkuh modernitas secara kritis. "Saya seorang fundamentalis," kata Golshani. Cuma, fundamentalis dalam pengertian yang positif, yakni merujuk ke substansi Al-Quran. Di negaranya, popularitasnya tak kalah dibanding Dr. Abdul Karim Soroush, pemikir liberal yang disejajarkan dengan Dr. Nurcholish Madjid di Indonesia.
Lahir di Isfahan, Iran, Golshani tertarik pada agama dan filsafat sejak di bangku SMU. Ia menyabet gelar Ph.D bidang fisika dengan spesifikasi partikel dari Universitas California di Berkeley, AS. Direktur Lembaga Studi Kemanusiaan dan Kebudayaan di Teheran, Iran, ini telah menulis tujuh buku, antara lain Can Science Dispense with Religion?. Sebagian sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Wartawan TEMPO Kelik M. Nugroho mewawancarainya di tengah Konferensi Internasional tentang Sains dan Agama di Yogyakarta. Berikut petikannya.
Mengapa konferensi ini diadakan di Indonesia?
Gairah riset sains dan agama, dengan pendekatan dialog antara keduanya, merupakan atmosfer internasional. Pada awal abad ke-20, kalangan Barat dan Eropa pernah memprediksi bahwa akhir abad ke-20 adalah era berakhirnya agama (the end of religion). Tapi polling pendapat oleh sebuah majalah di Amerika pada tahun 1990-an menunjukkan bahwa prediksi itu tak terjadi. Toh, teknologi tetap memunculkan masalah menyangkut kemanusiaan, misalnya munculnya ketidakadilan. Sains tanpa agama telah mengoyak kemanusiaan. Lalu, muncullah para intelektual yang ingin kembali menggabungkan sains dan agama. Sejak itu muncullah renaissance agama di seluruh dunia dan gerakan menentang sekularisme zaman.
Sekarang ini sains dianggap bermasalah, menyangkut filsafat ilmu (epistemologi). Agama juga dianggap bermasalah karena soal metodologi. Apa komentar Anda?
Saya pikir begitu. Kerja sains berdasarkan eksperimentasi. Itu tak masalah. Memang harus begitu. Kemudian ada problem penafsiran. Yang terjadi kemudian, para saintis menggeneralisasi temuan yang terbatas itu untuk segala sesuatu. Itu yang menjadi masalah. Sedangkan untuk memahami agama, metodologi, misalnya pengetahuan tentang sejarah, filsafat, dan bahasa, memang diperlukan.
Apakah mayoritas ilmuwan Barat memahami sains dengan pendekatan semacam itu?
Minoritas. Cuma, minoritas yang cenderung berkembang pesat. Sejumlah kampus besar di Barat mempunyai apresiasi yang besar dalam bidang ini, antara lain Universitas Oxford dan Cambridge.
Panitia konferensi ini sebetulnya mewakili mazhab mana dalam sains? Atheis, religius, atau holisme Fritjof Capra?
Jelas mereka dari perspektif religius, yang memakai pendekatan dialog antara agama dan sains.
Mengapa pemikiran Capra sangat mempengaruhi sebagian masyarakat Barat?
Saya tidak setuju dengan pemikirannya bahwa ada kesejajaran antara sains baru dan nilai-nilai agama Timur. Sebagian masyarakat Barat menyambutnya karena mereka sedang dalam keadaan kosong spiritualitas. Kehadiran Capra memenuhi kekosongan itu. Dia membawa spiritualitas baru tanpa agama. Bagi saya, spiritualitas tanpa agama tak berdasar sama sekali. Namun, saya pikir Capra bisa menjadi jembatan masyarakat Barat untuk kembali memahami agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini