Meski alam sejak dulu menggariskannya, mungkin belum banyak yang menyadari bahwa wilayah Indonesia terbagi dalam empat kompartemen strategis. Ini karena empat dari tujuh perlintasan dunia berada di sela-sela Nusantara kita. Tujuh lintasan tersebut, dijuluki choke points, adalah Terusan Panama, Selat Gibraltar, Terusan Suez. Dan yang ada di Indonesia adalah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai-Wetar. Sesuai dengan hukum laut internasional, lintasan itu boleh dipakai oleh negara mana pun sebagai alur laut komunikasi internasional atau ALKI (Inggris: SLOC, sea lane of communication).
Dengan hak melintasi perairan kita (right of passage), rumah RI bisa dilongok oleh orang luar, termasuk kawasan kamar dan dapurnya. Negara kepulauan di jalan silang dunia ini pun "terbuka lebar". Hanya tiga wilayahnya yang punya sempadan darat (Kalimantan, Papua, Timor). Selebihnya, 360 derajat, berbatas lautan luas milik bersama umat manusia. Celakanya, dari 17.508 pulau di Indonesia, hanya 1.000-an yang berpenghuni tetap. Selebihnya?baca: 16.000 pulau?tak berpenduduk. Jadi, seluruh urusan kita diatur dan berlangsung di sekitar 6 persen wilayah darat kita. Celakanya lagi, bangsanya yang terdiri atas beragam etnis gemar terlibat berbagai konflik.
Dan berbagai konflik itu terjadi di dekat-dekat jalan lintas kepentingan dunia. Apakah hal ini terjadi secara kebetulan? Laksamana Muda TNI Robert Mangindaan meragukannya. Kalau segala konflik itu sampai menyumbat right of passage, masyarakat internasional bisa terpanggil masuk. Sudah barang tentu negara-negara pengguna ALKI punya skenario strategis ke situ. Pada seminar yang dihadirinya di Amerika Serikat dan Jerman, penasihat Gubernur Lemhannas itu mendapati pembahasan serius tentang "bagaimana seandainya choke points itu terhalang".
"Kalau ternyata kita malah tidak mampu menjaga choke points, mengamankan SLOC, saya khawatir ada skenario lain yang dikenakan terhadap kita," ujar Robert Mangindaan. "Dan para pengguna ini adalah kekuatan maritim yang lebih superior daripada kita. Superior dalam penginderaan, mobilitas, dan daya tembak."
Campur Tangan Asing
Konvensi dan pernyataan dunia mengakui hak kedaulatan setiap negara. Namun, di sisi lain, ia juga mengakui hak kaum minoritas untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan atau paksaan dari pihak mana pun. Masyarakat internasional bisa terjun untuk menengahi kalau konflik antara keduanya menimbulkan tragedi kemanusiaan dan mengguncang perdamaian antarbangsa. Karena konflik terjadi di dalam negeri, penengahan itu disebut intervensi.
Tata krama menentukan campur tangan asing harus melalui PBB. Itu bisa didasarkan atas Pasal VI Piagam PBB tentang "menengahi secara damai" (peaceful settlement), dan "melalui perundingan atau peradilan" (arbitration, judicial settlement). Atau bisa beranjak ke Pasal VII, yang membolehkan tindakan memaksa jika situasinya dianggap mengancam perdamaian dan keamanan dunia. Keputusan-keputusan PBB tersebut dikeluarkan melalui sidang Dewan Keamanan.
Tapi, pasal manakah yang akan dikedepankan dan seberapa besar bobot mandatnya? Ini bergantung pada kepentingan negara yang adikuasa. Terlepas dari universalisasi nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi, dan pelestarian lingkungan, keberpihakan negara-negara besar bertolak dari tiga hal. Ketiganya meliputi: apakah kepentingan mereka terpelihara atau terganggu, apa keuntungan yang dapat diraih, dan jangan sampai keuntungan diambil pihak lain yang bukan sekutu.
Kepentingan-kepentingan global negara-negara besar itu pula yang dipakai untuk memilih antara daulat negara dan nasib minoritas. Pada kasus Aceh, mereka berpihak pada kedaulatan negara RI. Pada waktu Timor Timur, mereka memihak minoritas. Tindakan selektif dan berstandar ganda kelihatan juga pada berbagai konflik di Balkan dan di negara-negara Afrika. Atau tengoklah sikap mereka terhadap kasus Tibet dan Tiananmen di Cina, serta nasib bangsa Palestina.
Faktanya, negara-negara maju memang lebih mampu dan siap secara militer dan dana. Mereka tak sulit mendapatkan mandat untuk menggelar suatu operasi perdamaian. Laksda Mangindaan mengatakan, bukan rahasia lagi bahwa mandat PBB sering diberikan menurut keinginan negara besar. "Di situ ada P5 (lima negara anggota tetap Dewan Keamanan) yang berpengaruh," ucapnya. "Tapi yang paling menentukan di belakang keputusan DK adalah satu negara yang sudah bukan lagi superpower tapi menamakan dirinya indispensable state". Orang lain menamakan negara itu Amerika Serikat.
Mungkin terlalu berlebihan untuk melihat peace keeping operation (PKO) sebagai "baju baru" invasi. Tapi, bila dihadapkan pada banyak kenyataan di lapangan, argumen ini ada dasarnya. Sejumlah negara di Asia menuduh bahwa norma-norma yang dijadikan dasar untuk intervensi cuma dalih untuk menyelubungi neo-kolonialisme, permainan kekuatan, dan untuk kepentingan nasional negara-negara maju itu sendiri.
Ulah Kita Sendiri?
Persatuan dan kesatuan Indonesia, yang terdiri dari 300-an suku dan tersebar di belasan ribu pulau yang "terpisah" oleh laut, adalah suatu proses yang masih riuh dengan gejolak. Kasus Aceh dan Papua adalah sengitnya konflik pusat_daerah. Di Sulawesi, Kalimantan, Maluku adalah konflik SARA. Semua ini memaksa 1,3 juta jiwa hidup berserakan di kamp-kamp pengungsi.
Ada keinginan daerah-daerah untuk lepas dari RI dan suara itu digalakkan pula di luar negeri. Ada juga suara yang mendesak PBB campur tangan. Ini dapat diartikan adanya upaya untuk membawa konflik internal (intra-state) tersebut menjadi agenda global. Ada pengharapan kekuatan asing diundang atau terundang masuk.
Dalam diskusi di Aksara, yang menampilkan Mangindaan dan Laksamana Muda Joost Mengko, sampai terlontar tudingan ke arah dada sendiri: jangan-jangan karena ulah kita sendiri mode intervensi hadir di sini. Kitalah yang merusak diri sendiri oleh perbedaan persepsi tentang kedaulatan, kebangsaan, dan hancurnya kewibawaan pemerintahan. Kedaulatan dan nasionalisme diamalkan berbeda-beda di berbagai strata sosial dan di daerah-daerah otonomi. Semuanya dilengkapi pula dengan praktek demokrasi yang manipulatif, korupsi, tiadanya good governance, rapuhnya kepemimpinan nasional.
Jangan-jangan dari dalam negeri kita "menyenggol" agenda global. Ulah kita mengganggu stabilitas perdamaian dan keamanan. Agenda global lainnya adalah kontrol persenjataan dan disarmament. Jangan-jangan di sini aparat membiarkan penyelundupan senjata (illicit small arms trafficking) yang dipakai untuk perang saudara atau teror. Atau, kita tidak berdaya mencegah tragedi sosial dan kemanusiaan dan berdampak pada ketenteraman kawasan.
Yang paling dikhawatirkan adalah kalau terjadi pelecehan oleh raja-raja kecil di daerah terhadap right of passage yang jelas-jelas dilindungi oleh hukum laut internasional (UNCLOS, United Nation Convention on Law of the Sea). Karenanya, daerah-daerah otonomi di jalur-jalur lintasan SLOC harus dilihat sebagai pilar strategis keutuhan wilayah RI.
Laksda Joost Mengko, mantan Asisten Intel TNI, menyatakan bahwa tak ada pihak mana pun di dunia yang menghendaki RI bubar. Tapi, kalau kenyataannya kita ini memang mengarah ke disintegrasi, negara-negara besar akan bilang "lebih baik aku yang mengatur daripada ada kepentingan lain yang bertentangan dengan kepentinganku hadir di situ". Kalau negara ini pecah, orang akan datang berduyun-duyun dan berebutan untuk ikut mengatur. Supaya cocok dengan kepentingan mereka.
"Kenapa Australia masuk di Timor Timur? Ya, karena dilepas oleh Indonesia," kata Mengko. "Kalau enggak dilepas oleh Indonesia, Australia mendukung terus persatuan Tim-Tim dengan RI. Tapi, karena dilepas, daripada diduduki atau diatur oleh orang yang dia (Australia) tidak kehendaki, ya lebih baik dia masuk."
PKO dapat juga dilihat sebagai "alat" untuk memenuhi hajat pihak yang kuat masuk ke kawasan bernilai strategis. Indonesia adalah negeri yang menggiurkan. Luas. Kaya sumber alam. Posisi geografisnya menguntungkan. Jumlah manusianya amat besar?yang terakhir ini berarti pasar raksasa.
Daud Sinjal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini