Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

RI Perlu Cara Berpijak Baru

Indonesia harus merumuskan konsep stabilitas kawasan, karena terkait langsung dengan kepentingan nasional.

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau terjadi konflik di suatu negara, siapa yang paling patut mengatasinya? Menurut Pasal VIII Piagam PBB, jawabannya jelas: organisasi regional. Itu sebabnya PBB mengamanatkan agar organisasi regional tersebut diperkuat. Ini meliputi konflik internal ataupun antar-negara. Negara bersangkutan mungkin terlalu "kecil" untuk mengatasinya sendirian. Tapi pelibatan kekuatan global mungkin dirasa terlalu besar. Dan di Eropa, organisasi-organisasi kawasan sudah dikembangkan jauh lebih matang. Ada Uni Eropa yang bercakupan luas, ada pula NATO yang melibatkan Amerika Serikat, dan CIS untuk negara-negara bekas Uni Soviet. Mereka punya sikap jelas dan mengurusi kasus Balkan, yang hari-hari ini perkara hukumnya masih disidangkan di Mahkamah Internasional di Den Haag dengan terdakwa utama Slobodan Milosevic. Di Benua Amerika juga ada OAS, dan di Afrika ada OAU. Asia belum memiliki organisasi kawasan. Apalagi yang mampu menjawab masalah keamanan. Sialnya, di kawasan inilah justru muncul paling banyak masalah. Yang ada di Asia baru organisasi-organisasi sub-kawasan, seperti rumpun bangsa Asia Tenggara, yang memiliki ASEAN. Tetapi organisasi ini tidak diberdayakan sebagai wadah kerja sama keamanan. Ketiadaan wadah regional dan sub-regional Asia seperti yang diamanatkan oleh Piagam PBB itu bukan tak mengundang problem. Tiap kekosongan selalu mengundang orang untuk mengisinya. Dan pengisi itu mungkin adalah kekuatan ekstra-regional. Ini bisa memunculkan masalah baru. Lihatlah ASEAN. Organisasi yang berdiri pada 1967 ini punya ARF (ASEAN Regional Forum), tempat mereka berinteraksi dengan 13 mitra ekstra-regional. Lalu, kepentingan siapakah yang lebih diutamakan? Kepentingan ke-10 anggota ASEAN atau kepentingan mitra-mitra luarnya yang jumlahnya lebih banyak dan lebih maju itu? Di kawasan ini juga sudah hadir organisasi kerja sama keamanan FPDA (Five Powers Defence Arrangement). Namun tidak semua anggota ASEAN ikut di dalamnya. Bahkan anggota yang ikut cuma dua, yaitu Malaysia dan Singapura. Tiga anggota lainnya adalah Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Karena itu, FPDA harus dilihat sebagai organisasi luar kawasan. FPDA malah boleh disebut "duri dalam daging" bagi ASEAN sendiri. Coba, seandainya terjadi konflik antara Malaysia dan Filipina, atau antara Indonesia dan Australia, bagaimana para anggota FPDA itu bersikap? Contoh konkretnya pernah terjadi dalam kasus Timor Timur: kapal perang Inggris berjaga-jaga di dekat daerah itu dengan difasilitasi oleh Singapura. Dan jangan lupa, nun dari Eropa sana, NATO (sejak 1999) sudah menyatakan bersedia beroperasi di luar wilayah kerjanya. Shirbrig-nya (standby highreadiness brigade) telah tersusun rapi. Brigade berkualitas komando dengan kekuatan 4.000 personel ini siap diterjunkan di kawasan mana pun di muka bumi ini, meski dengan embel-embel di bawah mandat PBB. Yang harus berperan paling besar bagi stabilitas dan perdamaian Asia Tenggara sebenarnya adalah Indonesia. Alasan gamblang: secara matematika, dua per tiga luas wilayah Asia Tenggara adalah wilayah yurisdiksi RI. Kepentingan nasional kita memelihara tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat dan bermartabat sebenarnya terkait erat dengan pemeliharaan keamanan regional. Keamanan seluruh perairan yurisdiksi nasional kita harus diartikan pula sebagai kontribusi positif menyangga stabilitas kawasan Samudra India dan Samudra Pasifik. Kita tidak perlu ragu-ragu menerapkan cara berpijak ini. Memang, faktanya komposisi keanggotaan ARF adalah 10 negara ASEAN berbanding 13 mitranya. Komposisi FPDA adalah dua negara ASEAN berbanding tiga sekutu ekstra-regionalnya. Tapi semua ini tak perlu menyurutkan Indonesia untuk merumuskan konsep stabilitas kawasan dan perdamaian sub-kawasan beserta mode operasionalnya secara gamblang dan terinci. Sebab, hal ini terkait langsung dengan kepentingan nasional Indonesia. Memadukan kepentingan tersebut ke dalam agenda sub-kawasan justru akan menjalin kerja sama semua pihak dan mencegah orang luar "mengail di air keruh". Daud Sinjal. Dari diskusi Aksara dengan Laksda TNI (Purn.) Robert Mangindaan dan Laksda TNI (Purn.) Joost Mengko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum